Bagaimana bentuk perpaduan budaya yang terdapat pada arsitektur masjid katangka?

Minggu (18/4) siang, Masjid Tua Al Hilal Katangka, atau lebih sering hanya disebut dengan Masjid Katangka, Gowa, Sulawesi Selatan terlihat lengang. Di emper masjid bawah beduk, terlihat seorang bapak sedang tertidur lelap. Dan di dalam masjid ada beberapa jemaah dan pengurut masjid sedang mengobrol.

Masjid itu tidak banyak berubah. Hanya ada penambahan teras dan serambi di bagian belakang. Yang katanya difungsikan untuk kegiatan pertemuan pengurus atau kegiatan lainnya di masjid itu.

Masjid yang bagian depan dan belakangnya terdapat makam raja dan keluarga Kerajaan Gowa itu, adalah salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid itu menyimpan banyak cerita peninggalan masa lampau kejaan Islam di Sulsel yang dibangun pada tahun 1903 silam.

Harun Daeng Mangella, pengurus Masjid Tua Katangka yang ditemui saat sedang berincang dengan pengurus masjid lainnya bercerita, jika sejarah dan makna filosofis hingga keaslian bangunan masjid yang masih terjaga hingga saat ini. Kendati pernah direhabilitasi pada tahun 1978 hingga 1980 dan diresmikan kembali tahun 1981 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI kala itu.

Masjid Katangka bisa menampung hingga 240 orang di dalam masjid. Tapi jika dihitung mulai serambi tengah, pendopo depan dan samping, maka bisa menampung 1.000 orang. Tapi karena pandemi covid-19, jemaah dibatasi, dan diberi tanda-tanda penyekat saf untuk menerapkan protokol kesehatan.

Sejak didirikan, masjid ini sudah pernah dipugar sebanyak 6 kali tapi tetap mempertahankan bentuk dan keasliannya. Misalnya, ketika ada bagian bangunan yang rusak, maka akan diganti dengan bahan dan ukuran sama, kecuali pada bagian lantai, yang awalnya terbuat dari tanah liat. Tapi saat ini, sudah berlantai ubin keramik.

Masjid yang berlokasi di Jalan Syech Yusuf Nomor 57, Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulsel ini menjadi saksi sejarah penyebaran Islam, khususnya di Gowa.

Bagaimana bentuk perpaduan budaya yang terdapat pada arsitektur masjid katangka?

MI/Lina Herlina

Karena didirikan di masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin atau I Manggarangi Daeng Manrabbia, tepatnya pada abad XVII. Saat itu, Kerajaan Gowa kedatangan rombongan ulama yang berasal dari Yaman. Mereka bermaksud untuk mengajak Raja Gowa masuk Islam.

"Saat itu, hari Jumat, maka rombongan ulama itu melaksanakan salat Jumat di tempat tersebut, tepatnya di bawah pohon katangka. Setelah mereka melaksanakan salat Jumat, barulah mereka menuju ke istana kerajaan untuk menawarkan Islam. Tempat ini dulu banyak ditumbuhi pohon katangka," Harun berkisah.

Tidak lama berselang, pedagang dari bangsa lain, seperti Portugis, Cina, dan Inggirs mulai berdatangan, dan membawa serta penyebar agamanya masing-masing. Pada saat itulah pedagang-pedagang muslim mengutus tiga orang ulama yang berasal dari Minangkabau.

Mereka adalah Datuk Fatimah, Datuk Ri Bandang, dan Datuk Di Tiro. Mereka diutus sebab pedagang-pedagang muslim itu beranggapan bahwa Raja Gowa kemungkinan menerima agama selain Islam. Dan yang berhasil mengislamkan Raja Gowa pada saat itu adalah Datuk Ri Bandang punya nama lengkapnya Abdul Makmur Datuk Ri Bandang yang dijuluki sebagai khatib tunggal.

"Ketika Islam diterima Sultan Alauddin, maka ditunjuklah tempat ini, untuk mendirikan masjid. Tempat di mana para pedagang muslim pertama kali melaksanakan salat Jumat di bawah pohon katangka," lanjut Harun dengan antusias bercerita.

Dan dalam sejarah pun dijelaskan, jika Masjid Katangka, tidak hanya digunakan sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai benteng pertahanan terakhir. Itulah sebabnya dinding masjid ini dibuat sangat tebal, sekitar satu meter.

Arsitektur Masjid Katangka juga memiliki daya tarik tersendiri. Arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh beberapa budaya. Ada pengaruh budaya Cina yang terlihat jelas pada bentuk mimbarnya. Pada bentuk dinding dan tiang masjid, ada pengaruh budaya Eropa yakni Portugis. Ukiran yang memakai huruf Arab jelas merupakan pengaruh Timur Tengah. Bentuk keseluruhan masjid merupakan perpaduan antara budaya Jawa dan budaya lokal.

Masjid Katangka, juga memiliki banyak makan filosofi pada tiap bagian bangunannya. Empat tiang besar penyangga masjid melambangkan sahabat Rasulullah yang terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib da Usman bin Affan.

Jendelanya ada enam melambangkan rukun iman. Pintunya ada lima, jadi ada dua di luar dan tiga di dalam melambangkan rukun Islam. Sementara bentuk atapnya bersusun dua melambangkan dua kalimat syahadat.

Keunikan juga terdapat pada mimbar, di bagian pintu naik ke mimbar, terdapat ukiran sebuah kalimat yang menggunakan huruf Arab tetapi dalam bahasa Makassar. "Arti kalimat tulisan itu, mimbar ini dibuat pada hari Jumat tanggal 2 Muharram 1303 Hijriah yang diukir oleh Karaeng Katangka bersama dengan Tumailalalloloa. Dan pada barisa paling bawah punya nakna, apabila khatib sudah berada di atas mimbar, maka kita tidak diperkenankan lagi berbicara masalah dunia," Harun menguraikan.

Ada juga dua buah tombak yang mengapit mimbar di sisi kiri dan kanan. Menurut Harun, pada awal masuknya Islam di Kerajaan Gowa, posisi tombak sebenarnya tidak seperti itu melainkan dipegang oleh dua orang prajurit di sisi kiri dan kanan, yang tujuannya menghalau jemaah yang punya keyakinan salah atau keliru.

Dia juga bercerita, jika pada awal Islam masuk di Kerajaan Gowa, orang tua dulu masih mencampuradukkan kebiasaan yang bersifat animisme. "Jadi, jika ibadah salat Jumat dilaksanakan, maka khatib membawakan khutbah yang konsep khotbah dituliskan di atas daun lontar yang memanjang ke bawah. Lalu pada penghujung khutbah itu, sebagian jemaah akan berdiri dan berlomba menggingit daun lontar itu," seru Harun.

Alasannya, karena mereka yakin, jika berhasil menggigit ujung daun lontar tersebut maka tidak ada ujung senjata tajam yang bisa menembus kulitnya alias kebal. "Itu keyakinan sebagiab orang tua kita dahulu. Kalau seperti ini dibiarkan, bisa mengganggu jalannya ibadah salat Jumat. Itulah, disiapkan dua orang prajurit untuk menghalau orang-orang yang berkeyakinan seperti itu," Harun menambahkan.

Di tombak itu, terdapat masing-masing bendera berwarna hijau dengan huruf Arab berwarna kuning yang nyaris menyerupai bendera Arab. Pemasangan bendera itu disebut menjadi penanda Islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Gowa kala itu. (OL-4)