Apakah sebutan bagi orang yang suka menelantarkan anak yatim

Ibu Ustadz yang selalu diberkahi Allah SWT., Saya memiliki saudara angkat yang telah ditinggal oleh ayahnya karena meninggal dunia akibat kecelakaan. Ibu saya dan ayah saya begitu mencintainya sepenuh hati begitu pula dengan saya. Saya sendiri juga memiliki anak, istri pun juga menyayangi anak yatim tersebut. Ibu saya tidak mengadopsi namun hanya merawat saja.. tapi ibu saya tidak berkenan jika anak yatim tersebut bertemu ibu kandungnya, dan selalu mengarahkan bahwa anak yatim tersebut adalah anak kandung ibu saya. Anak tersebut sekarang berusia 4 tahu. Perubahan pada anak angkat tersebut begitu menghawatirkan menurut saya antara lai, sikap pelit dengan teman sebaya, tidak menghargai ibu kandungnya sendiri dengan ungkapan "ah kalo di tempat si M rumahnya jelek ga ada AC" dsb…[ibu saya memberi sebutan ibu kandung anak angkat tersebut dengan nama langsung tanpa panggilan ibu], Sopan santun dan tata krama yang diajarkan sudah baik namun sering melawan kepada saya dan kakak serta adik kandung saya.. maksug hati memberikan pengarahan, tanpa kata kasar ataupun membentak, tapi itupun dinilai oleh ibu kandung saya sendiri sebagai Menghardik anak Yatim. Ibu saya bahkan pernah berucap kepada saya: "Anak yatim itu kesayangan ibu dan bapak, jadi kalau menyakiti dia berarti menyakiti ibu dan bapak". padahal awal kejadianya saya hanya mengingatkan " Dik, kalo ada adik bayi nangis jangan digodain ya nanti tambah nangis" anak tersebut menjawab "Ah pikirin amat, kenapa si ngurusin ?",, saya terkaget dan mengucapakan "Aduh kalo bicara yang baik ya dik… jangan kasar sama orang tua je…(dengan saya menatap mata anak tersebut".. dikemudian hari si anak ini begitu membenci saya dan begitu pula dengan bapak dan ibu kandung saya begitu benci dengan saya…. Mohon bantuan bagaimana saya harus bersikap.. sudahkah saya menghardik anak yatim tersebut.. Mohon definisinya.. dan tuntunannya. Terimakasih

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,

Bpk Heri yang dirahmati Allah, Semoga keberkahan selalu mengiringi keluarga Bapak sebagai buah kepedulian pada anak yatim. Kepedulian pada anak yatim sebagai salah satu bukti kita benar dalam beragama dan yang sebaliknya, yakni yang suka menelantarkan anak yatim sebagai pendusta agama. Allah swt. Mengawali firman-Nya dalam surat Al Ma’un dengan suatu pertanyaan. ” Tahukah kalian, siapakah pendusta agama?”, pertanyaan ini akan membuat hati terhenyak, bahwa dalam pandangan Allah swt. Ada sebagian yang mengaku beragama tapi dia berdusta; mengaku beragama tetapi menyimpan kedustaan dalam keimanannya tersebut. Siapakah mereka? Tiba-tiba kalimat dalam ayat itu disusul dengan jawaban ” Merekalah yang suka menghardik anak yatim… dst.” Semoga amal sholih orang tua maupun keluarga Anda dapat diterima dan diberi kesabaran selama proses merawat anak yatim tersebut. Amin.

Ujian keimanan kini menanti jawaban, sudah Anda alami bahwa semua itu ternyata tidak mudah, misalnya Anda yang melihat beberapa segi dari anak yatim tersebut yang masih perlu banyak bimbingan, apalagi anak yatim tersebut masih anak-anak. Pada usia 4 tahun pembentukan kepribadian belum selesai, justru sedang mulai. Oleh karena itu berkomunikasilah dengan Ibu tentang cara-cara mendidik anak yatim tersebut dan perkembangan sifat-sifatnya. Supaya tidak berkesan menggurui maka berilah beliau buku-buku yang sesuai. Bpk Heri, Andapun dapat menjadi pendidik anak yatim tersebut. Semua reaksi yang kita berikan pada anak, sejatinya adalah teladan yang akan diimitasi oleh anak. Oleh karena itu berilah reaksi-reaksi yang positif dan gunakan sentuhan spiritual pada anak tersebut, seperti mengajarkan kasih sayang pada yang lebih muda, menghormati yang tua, terutama Ibunya yang sudah menjanda, dll. Biasanya pada usia 3-4 tahun anak masih menunjuka egosentrisme yang tinggi, namun seiiring perkembangan kognitif dan moral, insya Allah akan lebih solider pada orang lain. Meskipun kini anak yatim tersebut terkecil, jauhkan dari pemanjaan yang tidak perlu. Justru menghadapkan pada berbagai tantangan akan menguatkan kepribadiannya ke depan.Tentang kesalahpahaman dengan Ibu juga perlu diselesaikan, mengkritisi dan mengarahkan perilaku yang salah pada anak agar lebih baik tidak berarti menghardik, namun justru merupakan esensi dari pendidikan itu sendiri. Kata-kata yang lembut semoga mencairkan ketegangan Anda dengan Ibu. Bicaralah dari hati ke hati, ya Pak. Semoga kesalahpahaman ini dapat segera diatasi. Amin.

Wallahu a’lam bisshawab, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Bu Urba

Ikuti update terbaru di Channel Telegram Eramuslim. Klik di Sini!!!

loading...

Surat Al Maa’uun adalah di antara surat Makkiyah (yang turun sebelum hijrah) atau surat Madaniyah (yang turun setelah hijrah). Surat ini berisi penjelasan mengenai orang-orang yang mendapat ancaman karena mendustakan hari pembalasan. Sifat mereka adalah tidak menyayangi anak yatim dan orang miskin, juga lalai dari shalat dan riya’ di dalamnya. Mereka pun enggan menolong orang lain dengan harta atau pun suatu manfaat.

Allah Ta’ala berfirman,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya’  dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mendustakan Hari Pembalasan

Dalam ayat pertama disebutkan,

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan?” (QS. Al Maa’uun: 1-7).

Mengenai kata “الدين” (ad diin) dalam ayat di atas, ada empat pendapat: (1) hukum Allah, (2) hari perhitungan, (3) hari pembalasan dan (4) Al Qur’an. Demikian kata Ibnul Jauzi dalam kitab tafsirnya, Zaadul Masiir (9: 244). Jadi ayat tersebut bisa bermakna orang yang mendustakan hukum Allah, hari perhitungan, hari pembalasan atau mendustakan Al Qur’an.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan ad diin adalah hari pembalasan, sehingga jika diartikan: “Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?” Dan beliau menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan pada mereka yang mengingkari hari kebangkitan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ , أَوَآَبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ

“Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan (kembali)? Dan apakah bapak-bapak kami yang telah terdahulu (akan dibangkitkan pula)”?” (QS. Ash Shofaat: 16-17).

مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ

“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin: 78). Mereka inilah yang mendustakan ‘yaumud diin’ yaitu hari pembalasan. (Lihat Tafsir Juz ‘Amma, hal. 274).

Baca Juga: Tidak Setiap Anak Yatim Berhak Mendapat Zakat

Tidak Menyayangi Anak Yatim dan Fakir Miskin

Setelah menyebutkan mengenai orang yang mendustakan hari pembelasan, lalu disebutkan ayat,

فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)

“Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”

Dalam dua ayat di atas digabungkan dua hal:

1. Tidak punya kasih sayang pada anak yatim. Padahal mereka itu orang yang patut dikasihi. Perlu diketahui, yatim adalah yang ditinggal mati orang tuanya sebelum ia baligh (dewasa). Dialah yang patut dikasihi karena mereka tidak lagi memiliki orang tua yang mengasihinya. Akan tetapi yang disebutkan dalam ayat ini adalah orang yang menghardik anak yatim. Yaitu ketika yatim tersebut datang, mereka menolaknya dengan sekeras-kerasnya atau meremehkannya.

2. Tidak mendorong untuk mengasihi yang lain, di antaranya fakir miskin. Padahal fakir dan miskin sangat butuh pada makanan. Orang yang disebutkan dalam ayat ini tidak mendorong untuk memberikan makan pada orang miskin karena hatinya memang telah keras. Jadi intinya, orang yang disebutkan dalam dua ayat di atas, hatinya benar-benar keras.

Ayat di atas semisal dengan ayat,

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ (17) وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (18)

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin” (QS. Al Fajr: 17-18). Orang fakir adalah yang kebutuhannya dan kecukupannya tidak bisa terpenuhi (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691).

Orang yang Lalai dari Shalatnya

Kemudian disebutkan mengenai sifat mereka lagi,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ , الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya”. Kata Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud di sini adalah orang-orang munafik yaitu yang mereka shalat di kala ada banyak orang, namun enggan shalat ketika sendirian. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691)

Dalam ayat disebutkan “لِلْمُصَلِّينَ”, bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang biasa shalat dan konsekuen dengannya, lalu mereka lalai. Yang dimaksud lalai dari shalat bisa mencakup beberapa pengertian:

1. Lalai dari mengerjakan shalat.

2. Lalai dari pengerjaannya dari waktu yang ditetapkan oleh syari’at, malah mengerjakannya di luar waktu yang ditetapkan.

3. Bisa juga makna lalai dari shalat adalah mengerjakannya selalu di akhir waktu selamanya atau umumnya.

4. Ada pula yang memaknakan lalai dari shalat adalah tidak memenuhi rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan.

5. Lalai dari shalat bisa bermakna tidak khusyu’ dan tidak merenungkan yang dibaca dalam shalat.

Lalai dari shalat mencakup semua pengertian di atas. Setiap orang yang memiliki sifat demikian, maka dialah yang disebut lalai dari shalat. Jika ia memiliki seluruh sifat tersebut, maka semakin sempurnalah kecelakaan untuknya dan semakin sempurna nifak ‘amali padanya (Lihat Shahih Tafsir Ibnu Katsir, 4: 691-692).

Mereka yang Cari Muka dalam Ibadah

Disebutkan dalam lanjutan ayat,

الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ

“Orang-orang yang berbuat riya’ ”. Riya’ adalah ingin amalannya nampak di hadapan orang lain, ibadahnya tidak ikhlas karena Allah, istilahnya ingin ‘cari muka’.

Berkaitan dengan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, “Barangsiapa yang –awalnya- melakukan amalan lillah (ikhlas karena Allah), kemudian amalan tersebut nampak di hadapan manusia lalu ia pun takjub, maka seperti itu tidak dianggap riya’.”

Di antara tanda orang yang riya’ dalam shalatnya adalah:

  1. Seringnya mengakhirkan waktu shalat tanpa ada udzur
  2. Melaksanakan ibadah dengan malas-malasan.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa’: 142). (Lihat bahasan Ta’thirul Anfas, hal. 533)

Wayamna’unal Maa’uun

Ayat terakhir,

وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ

“dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.

Jika lihat dari terjemahan Al Qur’an, yamna’unal maa’uun diterjemahkan dengan orang yang enggan menolong dengan barang berguna. Namun memang, para ulama tafsir berbeda pendapat dalam mendefinisikan yamna’unal maa’uun. Sebagian berkata bahwa al maa’uun bermakna orang yang enggan bayar zakat. Yang lain lagi mengatakan bahwa maksud al maa’uun adalah orang yang enggan taat. Yang lainnya lagi berkata sebagaimana yang kami maksudkan yaitu “يمنعون العارية”, mereka yang enggan meminjamkan barang kepada orang lain (di saat saudaranya butuh). Tafsiran terakhir ini sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Ali bin Abi Tholib, yaitu jika ada yang ingin meminjam timba, periuk atau kampaknya, maka ia enggan meminjamkannya.

Intinya, seluruh tafsiran di atas tepat. Semuanya kembali pada satu makna, yaitu yamna’unal maa’uun adalah enggan menolong orang lain dengan harta atau sesuatu yang bermanfaat. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 473).

Dalam sunan Abu Daud disebutkan riwayat dari ‘Abdullah, ia berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الْمَاعُونَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَارِيَةَ الدَّلْوِ وَالْقِدْرِ.

“Kami menganggap al maa’uun di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang berkaitan dengan ‘aariyah (yaitu barang yang dipinjam) berupa timba atau periuk.” (HR. Abu Daud no. 1657, hasan kata Syaikh Al Albani)

Padahal memberikan pinjaman pada orang lain bisa jadi dengan harta, bisa jadi dengan memberikan kemanfaatan dan ini semua termasuk sedekah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

“Setiap kebaikan (perbuatan ma’ruf) adalah sedekah”(HR. Bukhari no. 6021).

Semoga sajian tafsir ini bermanfaat. Semoga Allah memudahkan kita untuk giat merenungkan Al Qur’an dan kandungannya.

Wallahu waliyyut taufiq.

Baca Juga: Celakalah “Yamna’unal Maa’uun”, Orang yang Pelit

Referensi:

Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Darul Fawaid.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah.

Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun 1424 H.

Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, Dr. Sa’id bin Husain Al ‘Affani, terbitan Darul ‘Affani, 1421 H.

Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak-Panggang-GK, 8 Ramadhan 1433 H

www.rumaysho.com