Apakah bisa Bank Indonesia langsung saja mencetak uang

Lihat Foto

KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG

Ilustrasi rupiah

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan Bank Indonesia tidak akan pernah mencetak uang untuk dibagikan langsung kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.

Hal itu tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang prudent dan lazim. Pencetakan uang hanya dilakukan sesuai kaidah dan koordinasi antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan.

"Sekarang kita dengar ada sejumlah pandangan di masyarakat, BI cetak uang saja. Mohon maaf, nih. Betul-betul mohon maaf. Enggak ada proses pengedaran uang yang dicetak BI di kasih ke masyarakat. Enggak Ada," tegas Perry dalam konferensi video, Rabu (6/5/2020).

Baca juga: Berkaca dari Zimbabwe, Ini Sederet Risiko Jika RI Cetak Uang Terlalu Banyak

Perry menyebut, perencanaan pencetakan uang kertas dan logam sebelumnya harus dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Jumlahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan poses pencetakan dan pemusnahan diukur dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Selain itu, ada mekanisme pengedaran uang antara Bank Indonesia, perbankan, dan masyarakat. Keseluruhan proses ini selalu menggunakan kaidah tata kelola yang baik, dan selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Enggak ada proses pengedaran di luar itu. Semua itu prosesnya diaudit oleh BPK. Pemahaman itu bukan praktik yang lazim. Tidak akan dilakukan di BI," ungkap Perry.

Lebih lanjut Perry menuturkan, proses penyetoran dan pengambilan uang perbankan sama seperti proses di masyarakat. Perbankan bisa menyetor uang ke BI bila terdapat kelebihan uang di khazanah.

Begitupun dengan masyarakat yang bisa menyetor uang ke perbankan dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.

"Nah kemudian bagaimana proses pengedaran uang? Sesuai kebutuhan masyarakat. Misal kita butuh uang kertas dan logam untuk makan dan bayar taksi, ambil uang di ATM. Demikian kalau kelebihan, bisa disetor. Perbankan kemudian melayani masyarakat," pungkas Perry.

Jakarta -

Salah satu hak negara adalah mencetak uang. Negara adalah satu-satunya lembaga yang berhak mencetak uang, hal ini akan dilakukan oleh bank sentral di setiap negara, demikian dikutip dari buku berjudul 'Keuangan Negara' oleh Pandapotan Ritonga, S.E., M.Si.

Contoh lembaga yang berhak mencetak uang di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI), melalui perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri). Mencetak uang adalah salah satu sumber pembiayaan negara.

Detikers, apakah kalian pernah bertanya-tanya kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak mungkin agar warganya bisa kaya dan bebas dari utang? Jawabanya adalah negara tidak bisa sembarangan mencetak uang sebanyak-banyaknya.

Apa yang terjadi jika uang terlalu banyak dicetak? Simak jawaban berikut:

Nilai Uang Akan Turun

Ketika pemerintah mencetak yang dalam jumlah besar, nilai uang itu sendiri akan turun, demikian dikutip dari buku 'Pengantar Ekonomi' oleh Roeskani Sinaga, dkk.

Banyaknya uang yang beredar, yang tidak diikuti dengan semakin banyaknya barang di pasar, maka akan membuat harga barang tersebut akan menjadi mahal. Sehingga, barang tersebut akan langka dicari. Hal ini akan membuat nilai uang yang sudah dicetak banyak, justru malah turun bahkan jadi tidak bernilai lagi (tidak berarti).

Menyebabkan Inflasi

Banyaknya uang yang beredar di suatu negara akan memunculkan inflasi. Pengertian inflasi adalah kenaikan harga barang atau jasa, yang menyebabkan daya beli uang menurun.

Jika pemerintah terlalu banyak mencetak uang maka harga produk akan semakin cepat naik. Kenaikan harga ini terjadi pada sebagian besar barang dan jasa, secara terus menerus atau dalam kurun waktu tertentu. Sama halnya dengan uang, peredaran jumlah uang dan barang yang beredar haruslah seimbang.

Muncul Utang Negara

Berapa besar jumlah uang yang dicetak, akan mempertimbangkan jumlah uang yang beredar di masyarakat. Uang yang dicetak tidak ditopang komoditas, maka pertambahan aset pemerintah justru tidak bertambah. Sebab, pemerintah tidak punya apa-apa untuk membayar utang tersebut.

Begitu pula dengan mencetak uang, mencetak uang tidak boleh untuk kebutuhan membayar utang negara saja.

Itu tadi jawaban penyebab kenapa negara tidak mencetak uang sebanyak-banyaknya. Bukannya malah terbebas dari kemiskinan, pencetakan uang yang banyak dan tak terkendali, justru membuat utang negara bertambah hingga terjadinya inflasi.

Simak juga video 'Sri Mulyani Ungkap Utang Negara Tahun ini Naik Rp 1.177 T':

(fdl/fdl)

20 May 2020, 20:31 WIB - Oleh: Hadijah Alaydrus

Antara Foto/Muhammad Adimaja Petugas memasukan uang pecahan rupiah ke dalam mobil untuk didistribusikan dari Cash Center Mandiri, Jakarta, Senin (11/5/2020).

Bisnis.com, JAKARTA – Berulang kali, legislator di DPR, pebisnis dan berbagai pihak menyerukan agar Bank Indonesia (BI) melakukan cetak uang.

Ketua Banggar DPR Said Abdullah telah merekomendasikan kepada Bank Indonesia (BI) untukmencetak uang sekitar Rp400 triliun - Rp600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan.

Kebijakan tersebut bisa meningkatkan inflasi, namun Banggar melihat BI bisa memitigasi melalui berbagai instrumen, seperti BI 7-Day Reverse Repo Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM).

Baca Juga : Kronologis Munculnya Desakan agar BI Cetak Uang Besar-besaran

Cetak uang dengan arti BI menyalurkan uang secara langsung atau ‘dibagi-bagikan’ kepada masyarakat atau pihak yang terkait ditolak mentah-mentah.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kebijakan mencetak uang kemudian disalurkan kepada masyarakat tidak sesuai dengan kebijakan moneter di dalam negeri.

"Ini mohon maaf, pandangan itu tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang prudent. Mohon maaf nih, betul-betul mohon maaf. Jangan membingungkan masyarakat," tegas Perry, Kamis (6/5/2020).

Baca Juga : Mohon Maaf! Bos BI Menolak Cetak Uang

Asisten Gubernur BI bidang Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial Juda Agung meluruskan kembali hal tersebut.

Menurutnya, cetak uang atau printing money tidak selalu dikaitan dengan kegiatan fisik. Uang ada berbagai jenis, ada uang kartal, yakni uang rupiah yang kita pegang dan uang giral serta uang kuasi.

Bentuk uang giral yaitu cek, giro, kartu kredit dan telegraphic transfer. Sementara itu, uang kuasi yaitu surat berharga seperti deposito jangka panjang dan rekening valas.

Untuk uang kartal, Juda mengungkapkan jumlah yang beredar memang tidak banyak, hanya 8-10 persen.

“Yang banyak itu uang giral dan uang kuasi dalam bentuk tabungan deposito dan dalam bentuk giro dan sebagainya,” ujarnya dalam kuliah umum yang diadakan BI dan Universitas Padjajaran secara online, Rabu (20/5/2020).

Uang kartal hanya dicetak ketika ada peningkatan kebutuhan secara natural dari masyarakat, misalnya saat Lebaran.  Biasanya BI mencetak lebih banyak karena ada kebutuhan untuk zakat, sadaqah, THR dan lain sebagainya.

Namun, dia menegaskan uang giral dan uang kuasi yang beredar didalam sistem perbankan juga sebenarnya hasil ‘cetak uang’ yang dilakukan BI melalui operasi moneter melalui pembelian SBN.

Tidak hanya dihasilkan melalui pembelian SBN, kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang dilakukan BI bagi perbankan juga otomatis menambah pasokan uang di dalam sistem perbankan.

 “Itu otomatis ada money supply atau money creation. Kalau GWM diturunkan multiplier-nya meningkat, bank create money sendiri.”

Menurutnya, proses ini adalah proses money creation atau ‘cetak uang’ juga yang dikenal dengan istilah quantitative easing. Saat ini, total quantitative easing melalui injeksi likuiditas ke perbankan telah mencapai Rp503,8 triliun.

Alhasil, dia menuturkan likuiditas perbankan saat ini sangat ‘ample’. Bahkan, Juda mengungkapkan jumlah surat berharap yang dipegang perbankan mencapai lebih dari Rp900 triliun hingga saat ini.

Oleh sebab itu, dia menekankan cetak uang tidak hanya dilakukan secara fisik. ‘Cetak uang’ ala BI bisa dilakukan dengan cara pelonggaran makroprudensial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini : bank indonesia, quantitative easing, uang beredar

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk ketiga kalinya Menteri BUMN periode 2011-2014 era Presiden SBY, Dahlan Iskan, mengulas soal wacana cetak uang. Secara beruntun mantan bos PT PLN (Persero) itu menulis gagasan di blog pribadinya, Disway, dengan tiga judul soal cetak uang ini, yakni "Uang Besar", "Uang Alot," dan pada Kamis ini (14/5/2020), Dahlan menulis "Uang Mengalir".Wacana agar Bank Indonesia (BI) mencetak uang sebanyak Rp 600 triliun guna menangani pandemi virus corona (Covid-19) di Tanah Air sebetulnya bermula ketika para wakil rakyat yang tergabung dalam Badan Anggaran (Banggar) DPR mengusulkan rencana tersebut.

"Kalau nyetak uang Rp 600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI nyetak Rp 600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp 600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%? Dari mana hitungannya," kata Ketua Banggar DPR RI dari Fraksi PDIP Said Abdullah, Said dikutip detik.com, Kamis (7/5/2020).

Namun BI menegaskan bahwa pencetakan uang untuk menambah likuiditas tidak tepat dilakukan. Adapun metode pencetakan uang oleh bank sentral disebut dengan Modern Monetary Theory (MMT). Saat ini, bank sentral AS atau The Fed juga didorong untuk melakukan MMT demi menambal defisit fiskal.


"Pandangan-pandangan itu tidak sejalan dengan praktek kebijakan yang lazim, bukan praktik kebijakan moneter lazim, dan tidak akan dilakukan di BI," tegas Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam media briefing, Rabu (6/5/2020).Dahlan mengatakan BI tidak bisa cetak uang begitu saja. "Bank Indonesia itu diadakan dengan tugas khusus yang tunggal: menjaga nilai mata uang rupiah," tegas mantan bos Jawa Pos ini.

"Tidak ada lagi tugas lain dari BI. Tugas lamanya yang satu itu --sebagai Stasiun Balapan, lender of the last resort-- sudah dihapus. BI tidak boleh lagi jadi sandaran akhir bank-bank pelaksana. Tidak ada lagi sumber dana yang dulu disebut "Bantuan Likuiditas Bank Indonesia" itu. Bank yang mengalami kesulitan uang sudah punya tempat sendiri untuk meminjam," kata Dahlan.

Berikut lengkapnya:


"Uang Mengalir"
Mungkin ada yang berpendapat begini: tidak peduli utang atau cetak uang, yang penting uangnya dibagi untuk kita-kita.Seperti juga prinsip "amplop merah itu tidak penting, yang penting isinya".Maka utang atau pun cetak uang, yang penting uangnya akan dialirkan ke mana?Kalau utang, yang akan terima uang adalah kementerian keuangan. Masuk APBN. Dari sini uang hasil utang bisa dialirkan ke mana saja --sesuai dengan program pemerintah.Kalau cetak uang, hasil cetak uang itu menjadi milik bank sentral --Bank Indonesia.Maka, kalau keputusannya nanti cetak uang, dari mana pemerintah dapat uang? Pinjam ke BI? Kan tidak ada pintunya?Berarti pemerintah memang benar-benar sulit --harus lebih banyak kita doakan. Mau cari utang, sulit. Tidak mudah cari utangan di situasi sekarang --semua negara mau utang. Mau cetak uang, uangnya menjadi milik Bank Indonesia.Sekarang sudah berbeda dengan zaman tahun 1956. Ketika itu pemerintah bisa memerintahkan cetak uang. Sekarang tidak bisa lagi. Bank Indonesia itu independen.Bahkan Bank Indonesia sendiri tidak bisa cetak uang begitu saja. Bank Indonesia itu diadakan dengan tugas khusus yang tunggal: menjaga nilai mata uang rupiah.Tidak ada lagi tugas lain dari BI. Tugas lamanya yang satu itu --sebagai Stasiun Balapan, lender of the last resort-- sudah dihapus.BI tidak boleh lagi jadi sandaran akhir bank-bank pelaksana. Tidak ada lagi sumber dana yang dulu disebut "Bantuan Likuiditas Bank Indonesia" itu. Bank yang mengalami kesulitan uang sudah punya tempat sendiri untuk meminjam.Itulah sebabnya tidak mudah bagi BI didesak untuk cetak uang. Setiap cetak uang pasti akan memerosotkan nilai mata uang rupiah --inflasi.Kalau sampai itu terjadi berarti BI telah gagal melakukan tugas satu-satunya.Tapi tanpa cetak uang BI kan juga gagal menjaga nilai mata uang? Bulan lalu? Sampai satu dolar menjadi Rp 16.000?Orang seperti Mukhamad Misbakhun akan menggunakan lubang seperti itu untuk berargumentasi. "Harus saya akui Misbakhun sangat pintar," ujar Prof. Didik Rachbini dari INDEF kepada saya kemarin.Prof Didik, Misbakhun, dan saya memang jadi pembicara dalam Webinar Sabtu lalu. Soal ekonomi pasca Covid-19. Yang diadakan oleh Pengurus Pusat KB PII --organisasi alumnus Pelajar Islam Indonesia.Di situlah Misbakhun menjelaskan konsep pemikirannya untuk cetak uang. Yang kemudian menjadi sikap DPR. Sedang Prof Didik Rachbini menjelaskan bahayanya cetak uang.Di forum KB PII itu, sikap Misbakhun jelas: BI harus cetak uang."Ia pinter. Ia tidak menyebut cetak uang. Ia menamakannya quantitative easing," ujar Prof. Didik. "Seperti di Amerika saja," tambahnya.Menurut Misbakhun, hasil cetak uang itu disalurkan ke bank-bank pelaksana. Dipinjamkan ke bank. Sebagai pinjaman khusus. Dengan bunga khusus --yang sangat murah. Bahkan harus 0 persen --karena BI tidak boleh berbisnis.Lantas bank meminjamkan dana itu ke pengusaha. Dengan bunga sangat murah. Misalnya 2 persen.Pengusaha lantas menggunakannya untuk menggerakkan perusahaan --menciptakan lapangan kerja.Ekonomi pun bergerak.Sampai di sini akan terjadi perdebatan yang panjang: pengusaha mana yang bisa mendapat kredit khusus dengan bunga khusus itu.Untuk UKM? Perusahaan umum? Perusahaan besar? Atau siapa saja yang selama ini punya pinjaman ke bank yang tidak bisa membayar --karena Covid-19?Bagaimana dengan perusahaan yang sebelum ada Covid-19 pun sudah sempoyongan?Belum lagi: berapa sebenarnya kebutuhan uang semua pengusaha besar dan kecil itu? Agar cetak uangnya cukup?Lalu: siapa yang akan menghitung kebutuhan uang itu? Lewat mekanisme apa? Mekanisme bank?Kalau ternyata kebutuhan itu, misalnya, mencapai 2.000 triliun rupiah, apakah BI akan cetak uang sebanyak itu?Pasti rupiah langsung terjun bebas.Maka Prof. Didik menawarkan jalan kompromi: cetak uangnya sedikit dulu. "Kalau harus cetak uang, haruslah bertahap. Sedikit-sedikit dulu," ujar Prof Didik.Misbakhun pun setuju dengan usul itu. Ternyata Misbakhun juga bisa mendengarkan ide dari Prof. Didik itu.Belum selesai. Persoalan pun timbul. Tidak kalah krusialnya. Siapa yang mendapat prioritas mendapatkan uang yang "sedikit" itu?Kalau cetak uangnya sedikit, untuk UKM pun tidak cukup. Apalagi menjangkau yang besar.Kalau hanya sebagian kecil UKM yang bisa mendapatkannya: siapa yang sedikit itu? Siapa yang menentukan?Rasanya cetak uang pun ternyata akan menemukan jalan buntu --di tingkat pelaksanaan. Kecuali, tidak usah mempertimbangkan fair atau tidak, adil atau tidak.Menteri Keuangan Sri Mulyani pun rupanya sudah membayangkan kesulitan di tingkat detail seperti itu.Tapi lantas apa?Sudah jelas, mencari pinjaman juga sulit. Mengeluarkan obligasi tidak lagi laku.Kementerian Keuangan pun memutuskan untuk cari jalan lain: menjual obligasi ke Bank Indonesia. Menurut Prof. Didik nilai obligasi itu mencapai Rp 150 triliun.Apakah boleh pemerintah menjual obligasi dan menugaskan BI agar membelinya?Sebenarnya itu sama saja dengan Kementerian Keuangan memerintahkan BI untuk mencetak uang. Sebanyak Rp 150 triliun itu.Tentu BI akan menolak permintaan seperti itu. Selama ini BI berpegang pada UU yang mengatur dirinya. Yang melarang perbuatan seperti itu.Tapi pemerintah kini menerobos aturan itu. Dengan cara yang kita semua sudah tahu: lewat Perppu baru, yang disahkan kemarin itu.Ups... Serba sulit.Berarti tidak lagi hanya politisi (DPR) yang berhadapan dengan teknokrat di pemerintahan. Teknokrat yang di kementerian pun harus berhadapan dengan teknokrat yang ada di Bank Indonesia.Belum ada jalan keluar.
Bagi kita, ternyata lebih enak kalau Tung Desem saja yang kembali beraksi: menyebar uang kontan dari udara. (Dahlan Iskan)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT


[Gambas:Video CNBC]


(tas/hps)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA