Apakah akibatnya jika kita sering menggunjingkan orang lain

Nasehat Dhuha Kamis, 2 Desember 2022 | 26 Rabiul Akhir 1443 H | Oleh : Ustadz M Reza Prima, ME

Klikbmi, Tangerang – Tema kita hari ini adalah bagaimana kita menghindari bahayanya menggunjing, khususnya menggunjing teman kerja. Menggunjing atau ghibah adalah dosa yang sering dilakukan namun tidak pernah dirasakan sebagai dosa. Hampir setiap kita pernah jatuh ke dalam dosa ini. Anehnya, dosa ini dianggap biasa, dianggap sepele. Padahal Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman :

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” [Q.S. Al-Hujurat/49: 12]

Pesan Al-Qur`an ini, merupakan jawaban atas fenomena yang kita lihat saat ini, yakni agar kita terhindar dari perbuatan ghibah (menggunjing), mencari-cari kesalahan orang lain, khususnya teman-teman kerja kita yang sering berinteraksi dengan kita. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :

 وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [Q.S. Al-Hujurat/49: 12]

Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga istilah, yang semuanya disebutkan Al-Qur`an. Yaitu : ghibah, ifku dan buhtan. Apabila yang engkau sebutkan, gunjingkan tentang saudara engkau itu memang ada padanya, maka inilah ghibah.

Apabila engkau menyampaikan semua yang engkau dengar, maka ini adalah ifku. Dan apabila yang engkau sebutkan tidak ada pada diri saudaramu, maka ini adalah buhtan. Ghibah (menggunjing) adalah, apa saja yang dapat dipahami dengan maksud penghinaan, baik berupa perkataan, isyarat atau tulisan. Ghibah ini, juga bisa berupa penghinaan terhadap seseorang tentang agama, kondisi fisik, akhlak, harta dan keturunannya.

Barangsiapa yang mencela ciptaan Allah, berarti ia telah mencela penciptanya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menyeru pelaku perbuatan ini dengan sabdanya:

 يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, namun keimanan itu belum masuk ke dalam hatinya! Janganlah kalian mengghibah (menggunjing) kaum Muslimin. Jangan pula mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, (maka) Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah mencari-cari aibnya, niscaya Allah akan membeberkan aibnya, meskipun dia di dalam rumahnya.” [H.R. Abu Dawud dari sahabat Abu Barzakh Al-Aslami. Syaikh Albani menyatakan hadis ini shahih]

Tentang bahaya menggunjing ini, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Ghibah, demi Allah, lebih cepat merusakkan agama seseorang daripada ulat yang memakan tubuh mayit”.

Maka sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai orang yang beriman, ternyata ia melakukan perbuatan ghibah (menggunjing), sedangkan dia mengetahui akibat buruk perbuatan tersebut. Firman Allah Ta’ala mengingatkan hal ini :

 أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?” [Q.S. Al-Hujarat/49: 12]

Wahai pelaku ghibah, gunjingan! Setiap orang pasti dicintai dan dibenci, diridhai dan dimarahi, disukai dan dimusuhi. Orang yang berakal, dalam mencintai kekasihnya, ia tidak akan berbuat secara berlebihan; sebab, mungkin suatu hari orang yang dikasihinya tersebut akan dibencinya. Sebaliknya, manakala seorang muslim harus membenci, maka dia pun bersikap sewajarnya; sebab, mungkin suatu hari orang yang dibencinya akan menjadi kekasihnya. Oleh karena itu, jadilah orang yang selalu menegakkan kebenaran dan bersikap adil.

Dengan pergunjingan antar teman kerja maka kondisi perusahaan atau lembaga akan menjadi tidak kondusif dan dimungkinkan akan timbul sakwa prasangka antar sesama karyawan. Oleh karena itu sepatutnya kita hindari menggunjing rekan kerja.

Mari terus ber-ZISWAF (Zakat,Infaq,Sedekah dan Wakaf) melalui rekening ZISWAF Kopsyah BMI 7 2003 2017 1 (BSI eks BNI Syariah) a/n Benteng Mikro Indonesia atau menggunakan Simpanan Sukarela : 000020112016 atau bisa juga melalui DO IT BMI : 0000000888. (Sularto/Klikbmi)

Islam mengingatkan menghindari membicarakan keburukan orang lain.

Islam mengingatkan menghindari membicarakan keburukan orang lain.Bisikan gaib (Ilustrasi)

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa dorongan ingin menggunjing dan membicarakan keburukan sesama muncul dalam kehidupan sehari-hari? 

Baca Juga

Sering kali bahkan dilakukan secara sengaja. Tak memandang umur, jabatan, dan kedudukan seseorang. Ghibah seolah dianggap lumrah. 

Jawaban atas pertanyaan mengapa inilah yang hendak diungkap Imam Zainuddin al-Juba'i al-Amili as-Syami (w 965 H) dalam karyanya yang cukup langka dan fenomenal berjudul Kasyf ar- Raibah 'An Ahkam al-Ghibah. 

Al-Juba'i mengatakan, ada 10 hal yang bisa memicu perbuatan menggunjing keburukan orang lain. Pertama adalah timbulnya kemarahan dalam diri pelaku ghibah terhadap si objek. 

Amarah terhadap seseorang mendorong pelaku membeberkan aib yang bersangkutan. Terlebih jika ruh keagamaan dan sikap wara' hilang dari mereka yang tengah dirundung amarah.

Jika amarah tersebut tak tersalurkan atau ternetralisasi dengan permintaan maaf atau jiwa besar mengikhlaskan, yang akan terjadi selanjutnya adalah amarah itu mengendap dan semakin mengeras dalam batinnya.

Amarah itu menjelma menjadi dendam kesumat, selamanya akan mengingat dan menyebutkan keburukan si fulan. Berhati-hatilah, kata al-Juba'I, amarah dan dendam pemicu dominan ghibah.

Kedua, solidaritas yang salah tempat. Berkumpul dalam perkumpulan, yang mungkin tujuan awalnya baik, ternyata di tengah-tengah perbincangan tersebut pelaku ghibah mengawali melontarkan isu, gosip, dan kabar burung tentang seseorang, lalu mengajak kita benar-benar ikut dalam pusaran ghibah.

Dalam kondisi demikian, kita kerap menyadari larangan berghibah, tetapi karena menjaga perasaan dan solidaritas salah tempat tadi, akhirnya kita turut menjerumuskan diri bersama-sama si pelaku ghibah.

Ketiga, mendegradasi kredibilitas si objek ghibah. Ini bisa jadi muncul karena misal faktor persaingan tak sehat atau untuk tujuan mereduksi kredibilitas seseorang dalam hal persaksian. Pelaku dalam kondisi semacam ini melakukan serangan lebih awal untuk menjatuhkan lawannya itu di depan publik.

Faktor pemicu ghibah yang keempat dalam pandangan al-Juba'i ialah cuci tangan atas perbuatan yang sama-sama pernah dilakukan dengan si objek ghibah. Ia ingin mencitrakan diri seolah-olah bersih dan sepenuhnya tak terlibat, padahal fakta tidak demikian. Pelaku ghibah akan menguak aib yang sebenarnya, ia juga melakukannya. Ia berbohong untuk dirinya sendiri, tetapi ia jujur menguliti keburukan orang lain.

Al-Jubai melanjutkan, pemicu ghibah yang kelima ialah keinginan mengangkat status pelaku dan menjatuhkan martabat si objek dengan merendahkan dan atau menyebarkan kekurangan intelektualitasnya, misal, kepada orang lain.

Seperti tudingan bahwa si fulan itu bodoh, tak pandai bicara, dan minim wawasan. Tujuannya hanya satu, meninggikan derajat dan nilai si pelaku di mata orang.

Pemicu ghibah selanjutnya yang keenam, menurut al-Juba'I, ialah dengki. Ia tak ingin saudaranya mendapat nikmat. Jika publik memuji lawannya, kedengkian si pelaku akan membakar hatinya dan menggerakkannya melakukan ghibah.

Bagaimana agar publik berhenti memuji saingannya itu. Caranya sangat tak santun dan tak beretika. Ia akan membuka aib orang tersebut di depan khalayak. Harapannya, rangkaian pujian demi pujian yang selama ini tertuju pada si objek akan terhenti.

Apakah akibatnya jika kita sering menggunjingkan orang lain

Berdoa Ilustrasi - (Antara)

Faktor yang ketujuh, al-Juba'i, mengingatkan kita, hendaknya mengindari menggunakan kekurangan dan aib seseorang sebagai bahan candaan. 

Sadar atau tidak, candaan tak pantas kita terhadap si fulan di belakangnya bermuatan ghibah. Meski sekadar ingin mencairkan suasana, memancing gelak tawa, ketahuilah hal itu sama sekali tak pantas.

Al-Juba'i menjelaskan, faktor kedelapan tak jauh berbeda dengan pemicu sebelumnya, yaitu keinginan merendahkan dan menghina si fulan. 

Menurut al-Juba'i, sekalipun pembeberan keburukan itu dilakukan di hadapannya dan ia mengetahui dan mendengar, itu pun bisa dikategorikan sebagai ghibah. Sebab, ia tak menutupi aib, malah membuka dan menjadikannya bahaan ejekan.

Sementara, pemicu ghibah kesembilan, menurut al-Juba'i, sangatlah tipis dan halus muatannya. Ini terkadang terjadi di kalangan orang-orang terdidik. Seperti perkataan demikian, Kasihan si fulan. Saya ikut prihatin. Tak ada yang salah dengan kalimat ini. Hal yang keliru ialah biasanya kalimat ini disusul dengan membeberkan kekurangan-kekurangan si fulan yang melatarbelakangi mengapa si pelaku ghibah prihatin.

Dan, penyulut ghibah yang terakhir, dalam pandangan al-Juba'i adalah kemurkaan karena Allah SWT. Kok bisa? Ya, ini lagi-lagi kerap menghinggapi mereka yang terdidik dan kalangan khusus seperti ulama. Seseorang bisa saja marah karena si fulan bermaksiat, melanggar larangan-larangan-Nya. Tetapi, secara spontan ia justru kerap membuka aib si fulan tersebut di hadapan orang lain.

Apakah akibatnya jika kita sering menggunjingkan orang lain

sumber : Harian Republika