Tuliskan ayat alquran dengan artinya tentang perintah mengatakan perkataan yang benar

Kejujuran merupakan perilaku yang sangat mulia. Oleh karena itu, semua agama pasti mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat jujur dalam setiap perkataan maupun perbuatan. Jujur berarti berkata yang benar dan sesuai antara lisan maupun hati kita. Secara bahasa, jujur dapat berarti perkataan yang sesuai dengan realita dan keadaan sebenarnya.

Dalam agama Islam sendiri, Allah Ta'ala telah memerintahkan umat-Nya untuk berlaku jujur. Selain itu, Rasulullah SAW juga menekankan bahwa kejujuran dapat membawa kebaikan dan memberikan ketenangan jiwa. Nah, berikut beberapa dalil dalam Alquran dan Hadits tentang kejujuran yang menunjukkan betapa pentingnya berperilaku jujur serta menjauhi sifat dusta.

1. Perintah Allah untuk dekat dengan orang jujur

Unsplash.com/Hasan Almasi

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصّٰدِقِينَ

Yaaa ayyuhallaziina aamanuttaqulloha wa kuunuu ma'ash-shoodiqiin.

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar (jujur)." (QS. At-Taubah: 119)

2. Kewajiban berbicara jujur dan memenuhi janji

Unsplash.com/Ramiz Dedakovic

ۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰى ۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْا ۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Wa izaa qultum fa'diluu walau kaana zaa qurbaa, wa bi'ahdillaahi aufuu, zaalikum washshookum bihii la'allakum tazakkaruun.

Artinya: "Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat." (QS. Al-An'am: 152)

3. Kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan surga

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Artinya: “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim no. 2607)

4. Kejujuran memberikan ketenangan dan dusta membawa kegelisahan

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ

Artinya: “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200)

5. Perintah jujur dalam berbisnis

Unsplash.com/Michel Preuss

إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ

Artinya: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik, dan berlaku jujur.” (HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146)

6. Kejujuran akan menuai berbagai keberkahan

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Artinya: “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532)

7. Orang yang tidak jujur termasuk golongan munafik

Freepik.com/Azerbaijan_stockers

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Artinya: “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji, dan khianat terhadap amanah.” (HR Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59)

Itulah kumpulan dalil dari Alquran dan hadits tentang kejujuran. Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa kejujuran dapat membawa pada keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran, baik saat masih di dunia maupun di akhirat. Semoga kita semua selalu menjaga perilaku jujur dan dijauhi dari sikap dusta, ya.

Baca Juga: 7 Cara Mengetahui Seseorang Berkata Jujur atau Tidak Kepadamu

Baca Juga: Ini Alasan Kenapa Kamu Harus Terbiasa Jujur

Baca Juga: Simak 3 Caranya untuk Jujur dengan Sahabatmu Saat Ada Sesuatu yang Mengganggu

Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (1977: 50) menyebut manusia Indonesia tukang menggerutu. Hanya saja, katanya, mereka tidak berani melakukannya secara terbuka, beraninya di dalam rumah atau bersama kawan-kawannya yang sepaham atau seperasaan dengannya.

Namun, naga-naganya tesis tersebut hari ini mulai terbantahkan. Pasalnya, adanya media sosial saat ini membuat mereka dapat menggerutu secara terbuka. Setidaknya, mereka dapat menyindir dengan tanpa menyebutkan nama orang yang dimaksudnya.


Kita dalam hal ini perlu ingat bahwa media sosial memberikan pengawasan terhadap diri kita masing-masing yang dilakukan oleh pengguna lain. Karenanya, kita harus berhati-hati dalam bersikap dan mengunggah sesuatu. Setiap berkomentar atau mengunggah sesuatu, pastikan bahwa kata-kata yang kita pilih adalah yang terbaik, tidak menyinggung perasaan orang lain dan merugikannya.


Dalam hal ini, Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 83.

… وَ قُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا …

“… dan berkatalah kalian semua kepada manusia dengan perkataan yang baik…”


Dalam Tafsir al-Jalalain Juz Awal, Imam Jalaluddin al-Suyuthi menafsirkan kata husna sebagai suatu bentuk masdar dan sifat dari kata yang terbuang berupa masdar dari kata kerja perintah sebelumnya, yakni qaula. Kata tersebut, lanjutnya, bermakna mubalaghah, kelipatan atau kesungguhan. Hal serupa juga disampaikan Al-Baidhawi dalam kitab tafsirnya.


Artinya, perintah untuk berkata kepada manusia dengan baik itu sungguh-sungguh harus dilaksanakan. Apalagi Allah swt. dalam kalimat tersebut menggunakan kata perintah (fiil amar). Dalam kajian Ushul Fiqih, perintah itu menunjukkan kewajiban pelaksanaannya.


Menambahkan keterangan al-Suyuthi, Imam Ahmad al-Shawi dalam Hasyiyah Al-Shawi menjelaskan bahwa kata manusia di situ berlaku umum, tidak saja kepada orang dengan agama atau bangsa tertentu. Ayat tersebut juga, katanya, senada dengan sebuah hadis wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin, bersikap kepada manusia dengan akhlak yang baik.


Sementara itu, Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzhim Juz Awal menjelaskan maksud ayat tersebut adalah berbicara dengan baik dan bersikap rendah hati kepada mereka. Pun dalam mengingatkan orang lain untuk berlaku baik dan mencegah diri dari kemungkaran juga harus dilakukan dengan baik, bukan dengan kekerasan.


Berbeda dengan Imam Ibnu Katsir, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani menjelaskan dalam kitab tafsirnya yang berjudul Marah Labid Juz Awal (tt: 22), maksud dari qulu li al-nasi husna adalah perkataan yang dapat menghasilkan manfaat. Artinya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial haruslah menghasilkan manfaat. Sebab, jika tidak bermanfaat, unggahan kita sia-sia atau justru merugikan orang lain. Hal ini yang membuat medsos menjadi berbahaya bagi kita.


Kita tidak seenaknya dapat mengunggah, menggerutu, atau malah membicarakan orang lain di media sosial. Pasalnya, kita diperintah Allah swt. untuk selalu menjaga perkataan kita dengan ucapan atau tulisan di media sosial yang baik.

Selain itu, Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Dia di Mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena (2004: 213) mengingatkan bahwa apapun yang sudah keluar dari lisan atau jemari kita di media sosial itu menawan kita sendiri. Hal ini berkaitan juga dengan ayat Al-Qur’an pada Surat Qaf (50) ayat 18.

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (Q.S. Qaf [50]: 18).


Oleh karena itu, kita harus mawas diri, sebetulnya, selain diawasi oleh netizen, Raqib dan Atid juga selalu menyaksikan setiap gerak-gerik kita. Dengan mengingat itu, kita segan untuk berlaku dan berkata yang tidak elok, meskipun di media sosial. Jika warganet, termasuk artis yang diceritakan di atas, mengingat hal ini, tentu peristiwa yang tidak diinginkan tersebut tidak akan terjadi.


Selanjutnya, setiap kali kita mengunggah sesuatu di media sosial janganlah sampai sia-sia. Terkait hal ini, saya jadi ingat sebuah syair yang saya dengar saat masih berseragam putih abu-abu pada upacara Bendera Merah Putih setiap Senin. Kepala Madrasah dalam amanatnya mengutip sebait syair bermetrum basith yang dibuat seorang kiai yang juga penyair, yakni KH Akyas Abdul Jamil Buntet Pesantren Cirebon.

Tushawwitu tang ting tung wa tot tet wa tot wa laa * tubali bi jironin faqauluka dlai’un (kamu bersuara tang ting tung dan tot tet tot sedangkan tidak peduli dengan tetangga, maka ucapanmu sia-sia belaka).


Syair yang berbentuk talmi’, campuran bahasa Arab dan bahasa ‘ajam (Jawa), itu memiliki makna yang mendalam. Muqaddam Tarekat Tijaniyah itu sebetulnya mengingatkan kita untuk tidak bersikap sia-sia dengan berkata macam-macam, tetapi tidak peduli terhadap keadaan tetangga di sekitar.


Maksudnya, kita mengunggah banyak hal di media sosial, memerkan sesuatu, menunjukkan pribadi, tetapi tidak memiliki kepedulian terhadap sesuatu yang lain, perbuatan tadi hanyalah sia-sia, tidak memiliki arti sama sekali. Mafhum mukhalafah dari peringatan Kiai Akyas melalui syairnya itu, kita sebetulnya harus memberikan manfaat bagi orang lain. Jangan hanya sesumbar, mengatakan pelbagai macam hal, tetapi tidak berbentuk laku sama sekali.


Rasa-rasanya, dalam hal ini, Mochtar Lubis (1977: 53) benar, bahwa ciri manusia Indonesia adalah kurang perduli dengan nasib orang, selama tidak menimpa dirinya atau kerabatnya. Padahal, kita juga perlu mengingat bahwa Rasulullah saw. bersabda bahwa orang Muslim sebetulnya adalah dia yang mampu menjaga keselamatan muslim lain dari lisan dan tangannya.


Lebih dari itu, ada peribahasa yang menyebut bahwa memang dasar lidah tak bertulang. Banyak manusia yang terpeleset karenanya. Tak ayal, ada pepatah yang menyebut bahwa keselamatan manusia terletak pada penjagaannya terhadap lisan.


Oleh karena itu, mari kita jaga lisan dengan mengucapkan atau mengunggah hal-hal baik saja di media sosial, yakni yang dapat melahirkan manfaat kepada manusia lainnya. Sebab, sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.

Muhammad Syakir NF, pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) dan mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)

*) Artikel ini terbit atas kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI TAGS: Moderasi Beragama Islam Moderat Moderasi Islam

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA