Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Ketika Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942 hingga 1945, sistem Belanda pun tergantikan. Kemudian, Jepang memberikan doktrin kepada para pengajar yaitu Hakko Ichiu (八紘一宇) yang memiliki arti delapan benang di bawah satu atap. 

Show

Semboyan tersebut merupakan ambisi dari Jepang supaya Asia Timur Raya bisa bersatu dalam satu kepemimpinan, yaitu di bawah Kaisar Jepang. Lantas, bagaimana isi semboyan Hakko Ichiu doktrin Jepang untuk Perang Dunia II tersebut? Simak selengkapnya disini, ya.

BACA JUGA: Gerakan 3a: Pengertian, Sejarah dan Tujuannya

1. Arti Hakko Ichiu

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah
Pinterest

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, makna dari semboyan ini adalah Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap. Ichiu sendiri mempunyai arti Dunia dalam Satu Keluarga. Berdasarkan sejarah, semboyan ini merupakan sebuah persaudaraan universal yang digunakan oleh negara Jepang supaya bisa menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. 

Semboyan atau slogan ini muncul supaya bisa mendukung program yang dimiliki Jepang dalam bidang pendidikan, yakni menciptakan sistem pembelajaran serta kurikulum sekolah yang bertujuan untuk kepentingan perang. Slogan ini juga bisa dibilang untuk membujuk berbagai negara yang lainnya supaya mau bekerjasama dengan Jepang saat Perang Dunia II berlangsung. Dengan kata lain, Jepang ingin semua negara yang ada di dunia merasa bahwa mereka merupakan satu nenek moyang atau satu keluarga.

Doktrin Hakko Ichiu dibangun dengan pandangan delapan penjuru dunia di bawah satu atap dan menjadi dasar atas perang yang dilancarkan oleh Jepang pada 7 Desember 1941. Sebelum itu, tepatnya pada 26 Juli 1940, Kabinet II Perdana Menteri Konoe Fumimaro menetapkan doktrin ini. Tujuan dasar dari doktrin ini adalah sebagai berikut:

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

“Mewujudkan perdamaian dunia sesuai dengan semangat agung pendirian negara, yakni delapan penjuru dunia di bawah satu atap sebagai kebijakan nasional Kekaisaran Jepang. Sebagai langkah awal, pertama, menjadikan Kekaisaran Jepang sebagai inti persatuan yang kuat antara Jepang-Manchuria-Tiongkok untuk pondasi pendirian tatanan baru Asia Timur Raya”.

Arti dalam Kamus Besar Bahasa Jepang

Dijelaskan dalam kamus besar bahasa Jepang zaman sekarang bahwa Hakko Ichiu adalah slogan yang dipakai untuk pembenaran agresi Jepang ke luar negeri saat Perang Dunia II berlangsung. 

Dalam bidang politik, tujuan Hakko Ichiu adalah sebagai suatu paham masyarakat yang berasal dari aliran Shinto. Makna yang terkandung dalam pengertian ini adalah dunia dalam satu keluarga dan Jepang menginginkan sebagai pemimpin dari semuanya. Akhirnya, paham ini menjadi suatu doktrin bagi militer Jepang yang kemudian mendorong mereka untuk melakukan perluasan wilayah di seluruh dunia dengan menjajahnya. 

Aliran Shinto merupakan agama asli dari negara Jepang yang memiliki akar kepercayaan animis kuno. Shinto berasal dari bahasa Tionghoa yaitu “shen” yang berarti roh, sedangkan “toa” jalannya dunia bumi dan langit. Dengan begitu, arti Shinto adalah perjalanan roh yang baik. Aliran ini menganggap bahwa titah dewa harus dilaksanakan.

Pelaksanaan Hakko Ichiu di Indonesia

Pada kala itu, Indonesia percaya dengan semboyan ini karena dulunya masyarakat mempercayai adanya Ratu Adil. Ratu adil sendiri adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat di Indonesia sejak dahulu. Istilah ini menyatakan bahwa setelah kesusahan, maka pasti ada sesuatu yang membahagiakan nantinya.

Bagi Indonesia, Jepang disebut sebagai Ratu Adil karena mereka datang setelah bangsa Belanda menjajah selama lebih dari 3 abad atau 300 tahun. Bangsa Indonesia melihat Jepang sebagai penyelamat mereka dari penjajahan Belanda. Awal mulanya, Jepang memang selalu bersikap baik dan lemah lembut terhadap Indonesia. Akan tetapi, setelah bangsa Indonesia terkena bujuk rayu, akhirnya Jepang mengeluarkan sifat aslinya yang tak kalah kejam dari Belanda.

Hal ini disebabkan karena Jepang pada saat itu mengikuti Perang Dunia II melawan blok sekutu. Sebagai daerah jajahan Jepang, tentunya Indonesia mendapatkan efeknya. Sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia terkuras habis karena digunakan Jepang untuk perang dunia tersebut. Sehingga, Bangsa Indonesia lebih tersiksa ketika dijajah oleh bangsa Jepang jika dibandingkan dengan Belanda.

BACA JUGA: Liberalisme: Sejarah, Ciri Ciri & Karakteristiknya

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah
Berita Jowo

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa semboyan Hakko Ichiu adalah menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Isi dari semboyan atau doktrin ini adalah Jepang sebagai pusat dunia dan kaisar sebagai pemimpinnya. Berikut adalah isi lengkapnya:

“Jepang adalah pusat dunia dan kaisar sebagai pemimpinnya. Kaisar adalah dewa di dunia yang mendapat kedewaannya dari amaterasu omikami langsung. Kami (dewa), melindungi jepang dengan segala kekuatannya hal ini menjadikan Jepang superior, lebih kuat, istimewa dibanding negara lain di dunia semua hal tersebut adalah dasar dari kodushugisa (jalan kekaisaran) sehingga jepang memiliki misi suci untuk menjadikan dunia sebagai satu keluarga dengan jepang sebagai pemimpin.”

Makna

Dikutip dari Karya Ilmiah Universitas Darma Persada, makna dari Hakko Ichiu adalah sebagai semangat Kaisar dalam mempersatukan Jepang, seperti yang dikatakan oleh Kaisar Jimmu dan diinterpretasikan oleh Tanaka Chigaku. Akan tetapi, hal tersebut disalahgunakan oleh pihak militer Jepang serta menggunakan dan memodernisasi isinya sesuai dengan kepentingan militer dalam mendukung ekspansi mereka.

3. Perkembangan Hakko Ichiu

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah
Savor Japan

Untuk menguasai negara lain selama Perang Dunia II berlangsung, Jepang menggunakan slogan ini. Pada tahun 1932, Jepang berhasil menguasai Manchuria dan mendirikan sebuah negara boneka di tempat tersebut bernama Manchukuo. 

Lanjut pada tahun 1937, Jepang berusaha menjajah dan menaklukkan China. Slogannya kemudian semakin dikenal ketika Perdana Menteri Jepang bernama Fumimaro Konoe sedang menyampaikannya dalam sebuah pidato pada 8 Januari 1940.

Lewat doktrin atau semboyan tersebut, rakyat Jepang menjadi semakin terdorong untuk melakukan ekspansi sampai ke negara lainnya. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Jepang bahkan berani dalam pertempuran dengan menyerang pelabuhan Amerika Serikat di Hawaii, Pearl Harbour di tahun 1942. Selain itu, Jepang juga berhasil menduduki wilayah Blok Sekutu, seperti Perancis di Indochina, Belanda di Indonesia, serta Inggris di Malaya.

Jepang ingin menjadikan Asia satu kepemimpinan

Jepang memiliki maksud untuk menjadikan Asia sebagai kesatuan wilayah di bawah kepemimpinannya jika berdasarkan kebijakan imperialis Hakko Ichiu. Sebagai salah satu negeri yang terdapat di kawasan Asia, Indonesia pun menjadi salah satu incaran Jepang. Untuk mencapai hal tersebut, Jepang kemudian membangun perasaan persaudaraan Asia. 

Jepang pun menyebut dirinya sebagai saudara tua di Indonesia, serta mempropagandakan Perang Pasifik sebagai Perang Asia Timur Raya. Selain itu, mereka juga mempropagandakan Gerakan Tiga A yaitu Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Pemimpin Asia.

Jepang sangat membutuhkan bahan mentah karena negara tersebut berkembang sebagai negara industri. Indonesia yang memiliki kekayaan sumber alamnya mampu memenuhi kebutuhan dari Jepang. Selain itu, sentimen terhadap imperialisme Barat di kawasan Asia turut mendorong Jepang untuk segera menduduki Indonesia yang pada saat itu sedang dikuasai Belanda. Setelah berhasil menjajah dan menguasainya, Jepang lalu memiliki maksud untuk membendung pengaruh imperialisme Barat pada Asia.

Bisa disimpulkan bahwa Jepang ingin menguasai wilayah Asia lewat adanya semboyan Hakko Ichiu. Hal itu tak luput dari negara jajahan Jepang yaitu Indonesia yang turut percaya adanya semboyan tersebut karena adanya Ratu Adil. Semoga bermanfaat!

Mau belanja bulanan nggak pakai ribet? Aplikasi Super solusinya! Mulai dari sembako hingga kebutuhan rumah tangga tersedia lengkap. Selain harganya murah, Sedulur juga bisa merasakan kemudahan belanja lewat handphone. Nggak perlu keluar rumah, belanjaan pun langsung diantar. Yuk, unduh aplikasinya di sini sekarang!

Bagi Sedulur yang punya toko kelontong atau warung, bisa juga lho belanja grosir atau kulakan lewat Aplikasi Super. Harga dijamin lebih murah dan bikin untung makin melimpah. Langsung restok isi tokomu di sini aja!

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Bendera Hakko Ichiu di pangkalan udara Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang. Slogan Hakko Ichiu digunakan sebagai "semangat pendirian negara" di kalangan para penerbang.

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Semasa Perang Dunia II, monumen batu dipersembahkan ke kuil Shinto. Dalam foto: monumen batu bertuliskan Hakko Ichiu (kiri) dan Buun Chōkyū (kanan), arti: Peruntungan Tidak berkesudahan dalam Peperangan, di halaman Kuil Susanoo, Fukuyama, Prefektur Hiroshima.

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Prangko peringatan bertuliskan Hakko Ichiu diterbitkan tahun 1940 sehubungan Peringatan Dua Ribu Enam Ratus Tahun Pendirian Negara.

Hakko Ichiu (八紘一宇, Hakkō Ichiu?, Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap) adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Slogan ini berasal dari kalimat "掩八紘而爲宇" dalam Nihon Shoki jilid 3 bab Kaisar Jimmu yang artiannya "seluruh negeri bagaikan sebuah rumah".

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia diadakan pelatihan guru di Jakarta untuk mengindoktrinasi mereka dengan Hakko Ichiu. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah/kabupaten.[1]

Hakko Ichiu digunakan Kekaisaran Jepang sebagai kebijakan nasional mulai dari Perang Sino-Jepang Kedua hingga Perang Dunia II. Pada 26 Juli 1940, Kabinet II Perdana Menteri Konoe Fumimaro menetapkan Doktrin Kebijakan Dasar Nasional (Kihon Kokusaku Yōkō) yang benar pokoknya keputusan mendirikan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Tujuan dasar dari Doktrin Kebijakan Dasar Nasional adalah "Mewujudkan perdamaian dunia sesuai dengan semangat luhur pendirian negara, yakni delapan penjuru dunia di bawah satu atap sebagai kebijakan nasional Kekaisaran Jepang, dan sebagai langkah awal, pertama, menjadikan Kekaisaran Jepang sebagai inti persatuan yang kuat selang Jepang-Manchuria-Cina untuk fondasi pendirian tatanan baru Asia Timur Raya."

Di beragam kawasan di Jepang, Hakko Ichiu digunakan sebagai salah satu slogan untuk mewujudkan tatanan baru Asia Timur. Di Tokyo diwujudkan Chōkoku Hōkōtai (Perkumpulan Abdi Pendirian Negara) sebagai organisasi pelatihan dan penyuluhan pemikiran Hakko Ichiu, dan struktur pemerintah kota diisikan ke dalam struktur militer.

Sesudah Kapitulasi Jepang, Jepang berada di bawah pendudukan Komandan Tertinggi Sekutu. Berdasarkan memorandum yang dikeluarkan Komandan Tertinggi Sekutu tentang "penghapusan sponsor pemerintah, dukungan, pelestarian, pengawasan, dan penyebaran Shinto agama negara", slogan-slogan yang berkaitan dengan nasionalisme radikal, militerisme, dan Shinto agama negara dilarang untuk digunakan lagi.[2]

Dalam kamus luhur bahasa Jepang zaman sekarang, Hakko Ichiu diterangkan sebagai "slogan yang digunakan untuk pembenaran serangan Jepang ke luar negeri selama Perang Dunia II."[3][4][5] Heibonsha World Encyclopedia menjelaskannya sebagai "stereotipe ultranasionalisme berupa doktrin bangsa sendiri sebagai ras tertinggi dan doktrin supremasi untuk memperagakan opresi dan aneksasi terhadap bangsa lain yang diperluas hingga serangan oleh negara dan militer untuk mencapai tujuan tersebut, serta gerakan/ide untuk peng-ortodoks-an, penyatuan, dan mobilisasi rakyat."[6]

Rujukan

  1. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. hlm. 91. 
  2. ^ 国家神道、神社神道に対する政府の保証、支援、保全、監督並に弘布の廃止に関する件(神道指令), 連合国最高司令部日本国政府宛覚書, 1945-12-15, diakses 2010-12-11 
  3. ^ 大辞林. 三省堂. 
  4. ^ 広辞苑. 岩波書店. 
  5. ^ 大辞泉. 小学館. 
  6. ^ "超国家主義", 世界大百科事典 (平凡社) 

Tautan luar

  • (Jepang) Mengenai Monumen Hakko Ichiu

edunitas.com


Page 2

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Bendera Hakko Ichiu di pangkalan udara Tingkatan Darat Kekaisaran Jepang. Slogan Hakko Ichiu digunakan sebagai "semangat pendirian negara" di kalangan para penerbang.

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Semasa Perang Dunia II, monumen batu dipersembahkan ke kuil Shinto. Dalam foto: monumen batu bertuliskan Hakko Ichiu (kiri) dan Buun Chōkyū (kanan), arti: Peruntungan Tidak berkesudahan dalam Peperangan, di halaman Kuil Susanoo, Fukuyama, Prefektur Hiroshima.

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Prangko peringatan bertuliskan Hakko Ichiu diterbitkan tahun 1940 sehubungan Peringatan Dua Ribu Enam Ratus Tahun Pendirian Negara.

Hakko Ichiu (八紘一宇, Hakkō Ichiu?, Delapan Penjuru Dunia Di Bawah Satu Atap) adalah slogan persaudaraan universal yang digunakan Jepang untuk menciptakan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dalam Perang Dunia II. Slogan ini berasal dari kalimat "掩八紘而爲宇" dalam Nihon Shoki jilid 3 bab Kaisar Jimmu yang artiannya "seluruh negeri bagaikan sebuah rumah".

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia diadakan pelatihan guru di Jakarta untuk mengindoktrinasi mereka dengan Hakko Ichiu. Para peserta pelatihan diambil dari tiap-tiap daerah/kabupaten.[1]

Hakko Ichiu digunakan Kekaisaran Jepang sebagai kebijakan nasional mulai dari Perang Sino-Jepang Kedua hingga Perang Dunia II. Pada 26 Juli 1940, Kabinet II Perdana Menteri Konoe Fumimaro menetapkan Doktrin Kebijakan Dasar Nasional (Kihon Kokusaku Yōkō) yang benar pokoknya keputusan mendirikan Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Tujuan dasar dari Doktrin Kebijakan Dasar Nasional adalah "Mewujudkan perdamaian dunia sesuai dengan semangat luhur pendirian negara, yakni delapan penjuru dunia di bawah satu atap sebagai kebijakan nasional Kekaisaran Jepang, dan sebagai langkah awal, pertama, menjadikan Kekaisaran Jepang sebagai inti persatuan yang kuat selang Jepang-Manchuria-Cina untuk fondasi pendirian tatanan baru Asia Timur Raya."

Di beragam kawasan di Jepang, Hakko Ichiu digunakan sebagai salah satu slogan untuk mewujudkan tatanan baru Asia Timur. Di Tokyo diwujudkan Chōkoku Hōkōtai (Perkumpulan Abdi Pendirian Negara) sebagai organisasi pelatihan dan penyuluhan pemikiran Hakko Ichiu, dan struktur pemerintah kota diisikan ke dalam struktur militer.

Sesudah Kapitulasi Jepang, Jepang berada di bawah pendudukan Komandan Tertinggi Sekutu. Berdasarkan memorandum yang dikeluarkan Komandan Tertinggi Sekutu tentang "penghapusan sponsor pemerintah, dukungan, pelestarian, pengawasan, dan penyebaran Shinto agama negara", slogan-slogan yang berkaitan dengan nasionalisme radikal, militerisme, dan Shinto agama negara dilarang untuk digunakan lagi.[2]

Dalam kamus luhur bahasa Jepang zaman sekarang, Hakko Ichiu diterangkan sebagai "slogan yang digunakan untuk pembenaran serangan Jepang ke luar negeri selama Perang Dunia II."[3][4][5] Heibonsha World Encyclopedia menjelaskannya sebagai "stereotipe ultranasionalisme berupa doktrin bangsa sendiri sebagai ras tertinggi dan doktrin supremasi untuk memperagakan opresi dan aneksasi terhadap bangsa lain yang diperluas hingga serangan oleh negara dan militer untuk mencapai tujuan tersebut, serta gerakan/ide untuk peng-ortodoks-an, penyatuan, dan mobilisasi rakyat."[6]

Rujukan

  1. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. hlm. 91. 
  2. ^ 国家神道、神社神道に対する政府の保証、支援、保全、監督並に弘布の廃止に関する件(神道指令), 連合国最高司令部日本国政府宛覚書, 1945-12-15, diakses 2010-12-11 
  3. ^ 大辞林. 三省堂. 
  4. ^ 広辞苑. 岩波書店. 
  5. ^ 大辞泉. 小学館. 
  6. ^ "超国家主義", 世界大百科事典 (平凡社) 

Tautan luar

  • (Jepang) Mengenai Monumen Hakko Ichiu

edunitas.com


Page 3

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Hamdan Zoelva saat menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi

Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (lahir di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, 21 Juni 1962) yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia periode 2013-2016, menggantikan Akil Mochtar yang di berhentikan sebab terlibat kasus suap sengketa pilkada Kabupaten Lebak, Banten[2]. Selain itu beliau pernah menjabat sbg salah satu pengurus di Partai Bulan Bintang.

Pendidikan

Sarjana Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar (Jurusan Hukum Internasional), 1986, Magister Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2004 (Hukum Pidana), dan Magister Hukum Universitas Pelita Hasrat Jakarta, (Hukum Bidang usaha – tidak tamat). Doktor Pengetahuan Hukum, program Doktor Universitas Pajajaran Bandung, 2010. Disertasi "Pemakzulan Presiden di Indonesia". Pendidikan Penunjang Profesi Hukum Pasar Modal, 1994, Departemen Keuangan RI.

Profesi

Sejak tahun 1987 menjalankan praktik sbg pengacara di Jakarta. Pada 1989 diangkatkan sbg pengacara di Jakarta, pada 1995 diangkatkan sbg Advokat oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Terdafat sbg Konsultan Hukum di Pasar Modal di BAPEPAM, dan menjadi Advokat PERADI, No. Anggota : B.94. 10223, anggota Dewan Penasihat Asosiasi Advokat Indonesia.

Sejak tahun 2010, beliau menjadi Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Indonesia.

Ringkasan Pengalaman Profesional

Periode 1986-1987

Dosen luar biasa (Pandai Madya) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan mengajar mata kuliah Pengantar Hukum Internasional, Hukum Akad International, Hukum Laut Internasional dan dosen luar biasa pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Makassar dan Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar untuk mata kuliah Hukum Internasional.

Periode 1987 – 1990

Menjadi Asisten Pengacara & Konsultan Hukum pada Law Office OC. Kaligis & Associates Jakarta, yang secara khusus menangani anggota Non Litigasi, pembuatan kontrak & akad - akad dagang, investasi PMA, perburuhan, negosiasi dan lain-lainnya. Menangani perkara perdata litigasi anggota bidang usaha dan perbankan. Menangani beragam perkara yang memberikan pengalaman dan pemahaman mendalam untuk menyelesaikan masalah hukum dalam praktik terutama di anggota bidang usaha dan investasi. Pada tahun 1989, diangkatkan dan dilantik sbg pengacara dalam sekitar yang terkait Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Periode 1990 – 1997

Ikut mendirikan dan sbg partner pada Law Firm SPJH & J (Sri Haryanti Akadijati, Poltak Hutajulu, Juniver Girsang, Hamdan Zoelva & Januardi S. Haribowo SH) menangani bermacam kasus penting dalam anggota bidang usaha, korporasi dan perbankan tidak sewenang-wenang untuk Litigasi & Non Litigasi. Tahun 1994, diangkatkan dan dilantik sbg advokat oleh Menteri Kehakiman RI, dan mendapat izin antaraku anggota Profesi Penunjang Pasar Modal sbg Konsultan Hukum di Bapepam.

Periode 1997 – 2004

Mendirikan dan sbg Managing Partner pada Hamdan, Sudjana, Januardi & Patners (HSJ & Partners) yang jumlah menangani perkara-perkara bidang usaha, perbankan, investasi dan korporasi tidak sewenang-wenang dalam anggota Litigasi maupun Non Litigasi, termasuk urusan kredit Sindikasi.

Periode 2004 - 2009

Mendirikan dan Managing Partner Law Firm Zoelva & Januardi di Jakarta

Periode 2009 - 2010

Mendirikan dan sbg Managing Partner Law Firm Zoelva&Partners di Jakarta

Periode 2010 - Sekarang

7. Januari 2010 - sekarang Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

2011 - sekarang.Profesor tamu di China University of Political Science and Law

Posisi Pemerintahan

Periode 1999 – 2004

Menjadi anggota DPR – RI, Wakil Ketua Komisi II yang membidangi urusan Hukum, Pengadilan, Politik Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. melakukan Fit & Proper test bagi pengangkatan Hakim Luhur, Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Anggota Komnas HAM, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, serta Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Luhur Republik Indonesia.

Selama menjadi anggota DPR RI, menjadi Tim Monitoring penyelesaian kasus BLBI serta kasus Pertamina. Ketua Panitia Kerja RUU anggota HAKI (Hak Kekayaaan Intelektual), RUU Perubahan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Money Laundering, dan menjadi anggota Panitia Khusus bermacam RUU lainnya serta menjadi Ketua Tim Kecil Seleksi Pimpinan KPK.

Periode 1999 - 2004

Anggota Panitia Ad Hoc, Amandemen UUD 1945, Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan keempat

Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sejak 6 Januari 2010

Selama 4 (empat) tahun sbg anggota Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945, melakukan studi banding mengenai hukum dan konstitusi, yaitu :

Periode 2013-2016

Hakim ketua dari Mahkamah Konstitusi Indonesia Periode 2013-2016 didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Beliau mengalahkan Arief Hidayat lewat 2 putaran. Pada 31 Oktober 2013, Hamdan terpilih sbg Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013-2016 menggantikan Akil Mochtar.[3]

Lawatan kerja luar negeri

  • Belanda-Italia tahun 2000 Studi banding Konstitusi
  • Inggris tahun 2001 Studi banding masalah Keamanan Dalam Negeri
  • Jepang tahun 2001 studi banding PEMILU
  • Amerika Serikat tahun 2002 studi banding Politik dan Hukum (1 bulan)
  • Australia tahun 2003 studi banding Money Laundering
  • Belanda tahun 2002 studi banding Komisi Yudisial
  • Bangkok tahun 2001 Delegasi Indonesia dalam Sidang AIPO
  • Jenewa tahun 2004 Delegasi Indonesia dalam Sidang IPU
  • Iran tahun 2003
  • (Singapore), 2006, meninjau pulau-pulai terluar Indonesia yang bersamaan batasannya dengan Singapura
  • ( Arab Saudi ), 2006, meninjau masalah yang dihadapi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi
  • ( Jerman - Austria), 2010, meninjau Mahkamah Konstitusi Jerman dan Austria.

Programa Sosial Politik Kemasyarakatan

  • Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang periode 2005 – 2010
  • Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang tahun 2000 – 2005
  • Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang tahun 1999 – 2000
  • Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Bulan Bintang periode 1998 – 2005
  • Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia periode 1998 - 2000
  • Vice Chairman ASEAN Moeslem Youth Secretariat.
  • Ketua Umum Partai Bintang Bulan 2005 - sekarang
  • Ketua Dewan Direktur The Regional Autonomy Center 2006- sekarang

Rujukan

Pranala luar


edunitas.com


Page 4

Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah matang bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau adalah putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah ingatan.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhir-akhirnya mampu ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah kepada siapa saja yang sukses merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir kepada VOC seharga 20.000 real kepada melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya adalah Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V tidak berat sebelah dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang yang belakang sekali menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang selang Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada kesudahan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian mempunyai dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa mengatakannya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada kelebihan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak gagasan dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan daya bersenjata kepada mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya adalah Raden Mas Said.Yang belakang sekali suatu peristiwa kekalahan yang telak Mangkubumi yang belakang sekali menemui VOC menawarkan kepada bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi kepada bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhir-akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diganti Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real kepada dirinya Mangkubumi dan 10.000 real kepada Pakubuwono III.

Akhir-akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 diterapkan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah dihasilkan bentuk sebagai dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bidang.Akad Giyanti ini juga adalah akad persekutuan baru selang pemberontak golongan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC dihasilkan bentuk sebagai persekutuan kepada melenyapkan pemberontak golongan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram dihasilkan bentuk sebagai Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini mampu dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung mampu dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap mampu dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Membangun Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua. Pakubuwana III tetap dihasilkan bentuk sebagai raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dihasilkan bentuk sebagai raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan dihasilkan bentuk sebagai Raja maka tinggal kerajaan tempat kepada memerintah belum dimilikinya.Kepada membangun Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC waktu itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan kepada membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidang kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah mempunyai pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan waktu mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidangnya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlangsungnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya dihasilkan bentuk sebagai bertambah populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I yang belakang sekali bertambah terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Luhur dihasilkan bentuk sebagai utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit dibentuk, lagi pula masih mempunyai daya ketiga adalah Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau adalah raja yang jauh bertambah cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran Mangkubumi, hal yang mengakibatkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang membuka bisa mengakibatkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak bersedia mencabut nama "Mangkubumi" kepada saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini mampu dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama kepada awal mulanya sejak zaman pemberontakan dahulu. Mereka bersama VOC bangung mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang menciptakan khawatir VOC. Pakubuwana IV akhir-akhirnya menyerah kepada membiarkan penasehat penasehat spiritualnya ditiadakan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam keperluan yang sama adalah mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang adalah ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berusaha supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan sasaran kepada bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang adalah waris dari Paku Buwono III lahir kepada menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta ditukarkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja paling akbar dari keluarga Mataram sejak Sultan Luhur. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan bertambah akbar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja pandai yang pakar dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan dihasilkan bentuk sebagai pakar kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda mandek damai namun bukan berarti beliau mandek membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda kepada membangun sebuah benteng di bidang yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC kepada turut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini yang belakang sekali diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebih-lebih jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Referensi

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Pengetahuan

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 5

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 6

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 7

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 8

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 9

Sri Sultan Hamengkubuwana I (kelahiran di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) yaitu pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya yaitu Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau yaitu putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa mendirikan istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut kemudiannya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses menguasai tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang sukses menguasai kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir untuk VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis yaitu keturunan Brawijaya V patut dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada dikenal namun dari pihak ibundanya sedang sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung kemudian berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Kemudian Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang kemudian punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang sela Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 dianggarkan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada pengahabisan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah tidak jauh. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh untuk VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tak terbagi.Dalam jajak argumen dan pemungutan suara dukungan untuk Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan untuk Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi memakai daya bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said.Dampak kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said kemudiannya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara yaitu Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi berjumpa Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi memperoleh setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.

Kemudiannya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Akad Giyanti ini juga yaitu akad persekutuan baru sela pemberontak kumpulan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kumpulan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III yaitu permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi mau membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Mendirikan Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi untuk VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlanjutnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya melebihi populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian semakin terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I walaupun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Akbar menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, lebih-lebih sedang benar daya ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau yaitu raja yang jauh semakin bicara daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesesuaian dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga tak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka dapat menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini dapat dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa dapat terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali memperagakan pekerjaan sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC memperagakan usaha mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV kemudiannya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dihentikan oleh VOC.Ini yaitu kerja sama dalam kebutuhan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang yaitu ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang yaitu waris dari Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I berpulang tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta dialihkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I yaitu peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Akbar. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan semakin akbar daripada banyak tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tak hanya seorang raja bijaksana yang berbakat dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental yaitu Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang warga negara Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi berbakat kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Walaupun permusuhannya dengan Belanda habis damai namun bukan berfaedah beliau beristirahat membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat hasrat Belanda untuk mendirikan suatu benteng di bagian yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi yaitu perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan untuk Hamengkubuwana II, raja kemudian. Maka, tidaklah amat sangat bila pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Pustaka

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 10

Sri Sultan Hamengkubuwana I (kelahiran di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) yaitu pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya yaitu Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau yaitu putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa mendirikan istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut kemudiannya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses menguasai tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang sukses menguasai kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir untuk VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis yaitu keturunan Brawijaya V patut dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada dikenal namun dari pihak ibundanya sedang sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung kemudian berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Kemudian Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang kemudian punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang sela Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 dianggarkan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada pengahabisan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah tidak jauh. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh untuk VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tak terbagi.Dalam jajak argumen dan pemungutan suara dukungan untuk Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan untuk Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi memakai daya bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said.Dampak kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said kemudiannya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara yaitu Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi berjumpa Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi memperoleh setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.

Kemudiannya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Akad Giyanti ini juga yaitu akad persekutuan baru sela pemberontak kumpulan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kumpulan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III yaitu permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi mau membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Mendirikan Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi untuk VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlanjutnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya melebihi populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian semakin terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I walaupun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Akbar menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, lebih-lebih sedang benar daya ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau yaitu raja yang jauh semakin bicara daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesesuaian dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga tak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka dapat menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini dapat dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa dapat terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali memperagakan pekerjaan sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC memperagakan usaha mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV kemudiannya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dihentikan oleh VOC.Ini yaitu kerja sama dalam kebutuhan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang yaitu ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berupaya supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang yaitu waris dari Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I berpulang tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta dialihkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I yaitu peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Akbar. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan semakin akbar daripada banyak tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tak hanya seorang raja bijaksana yang berbakat dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental yaitu Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang warga negara Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi berbakat kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Walaupun permusuhannya dengan Belanda habis damai namun bukan berfaedah beliau beristirahat membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat hasrat Belanda untuk mendirikan suatu benteng di bagian yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi yaitu perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan untuk Hamengkubuwana II, raja kemudian. Maka, tidaklah amat sangat bila pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Pustaka

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 11

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 12

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 13

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 14

Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) merupakan raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.[2]

Riwayat Masa Muda

Nama aslinya merupakan Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 ketika ayahnya sedang menjadi Pangeran Mangkubumi dan melaksanakan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam kontrak Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui kepada Raja muda Anom.

Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dampak mitos kesudahan zaman, bahwa akan berada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang mempunyai pokoknya ramalan bahwa mitos kesudahan zaman akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut hingga ketika ini dikeramatkan kepada salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.

Pemerintahan Periode Pertama

Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta kepada Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan ditukar pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I ditukar dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berlainan dengan rajanya.

Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam situasi bangkrut dan bobrok. Organisasi ini selesai ditiadakan oleh pemerintah negeri Belanda kesudahan tahun 1799.

Semenjak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC merupakan Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia melaksanakan aturan baru mengenai sikap yang seharusnya diterapkan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru kepada residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu keinginan bahwa Belanda akan menolong Surakarta menaklukkan Yogyakarta.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang tidak jauh dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Yang belakang sekali Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I merupakan juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya merupakan saudara kandung yang lebih muda KPR Prawirodirjo bapak mereka merupakan Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).

Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan selang kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.

Pemerintahan Periode Kedua

Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara ditinggali oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II kepada kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III kepada putra mahkota kembali.

Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.

Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II supaya berani memerangi Inggris. Surat-menyurat selang kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas beberapa wilayahnya.

Hamengkubuwana III kembali diangkatkan kepada raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkatkan kepada Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.

Pemerintahan Periode Ketiga

Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa semenjak tahun 1816). Ketika itu raja yang bertakhta di Yogyakarta merupakan Hamengkubuwana V.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro kepada raja mereka.

Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil kepada Sultan Sepuh) selesai meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.

Referensi

  • Soekanto, Dr., Lebih kurang Jogjakarta, Djakarta:Mahabarata-Amsterdam, 1952

  1. ^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III
  2. ^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali


edunitas.com


Page 15

Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah matang bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau adalah putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah ingatan.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhir-akhirnya mampu ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah kepada siapa saja yang sukses merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir kepada VOC seharga 20.000 real kepada melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya adalah Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V tidak berat sebelah dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum telah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang yang belakang sekali menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang selang Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada kesudahan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya telah dekat. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian mempunyai dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa mengatakannya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada kelebihan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak gagasan dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan daya bersenjata kepada mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya adalah Raden Mas Said.Yang belakang sekali suatu peristiwa kekalahan yang telak Mangkubumi yang belakang sekali menemui VOC menawarkan kepada bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi kepada bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhir-akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diganti Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real kepada dirinya Mangkubumi dan 10.000 real kepada Pakubuwono III.

Akhir-akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 diterapkan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah dihasilkan bentuk sebagai dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bidang.Akad Giyanti ini juga adalah akad persekutuan baru selang pemberontak golongan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC dihasilkan bentuk sebagai persekutuan kepada melenyapkan pemberontak golongan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram dihasilkan bentuk sebagai Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini mampu dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung mampu dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap mampu dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Membangun Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua. Pakubuwana III tetap dihasilkan bentuk sebagai raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dihasilkan bentuk sebagai raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang telah memiliki kekuasaan dan dihasilkan bentuk sebagai Raja maka tinggal kerajaan tempat kepada memerintah belum dimilikinya.Kepada membangun Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC waktu itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan kepada membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidang kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah mempunyai pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan waktu mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidangnya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlangsungnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya dihasilkan bentuk sebagai bertambah populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I yang belakang sekali bertambah terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Luhur dihasilkan bentuk sebagai utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit dibentuk, lagi pula masih mempunyai daya ketiga adalah Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau adalah raja yang jauh bertambah cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran Mangkubumi, hal yang mengakibatkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang membuka bisa mengakibatkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak bersedia mencabut nama "Mangkubumi" kepada saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini mampu dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama kepada awal mulanya sejak zaman pemberontakan dahulu. Mereka bersama VOC bangung mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang menciptakan khawatir VOC. Pakubuwana IV akhir-akhirnya menyerah kepada membiarkan penasehat penasehat spiritualnya ditiadakan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam keperluan yang sama adalah mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang adalah ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berusaha supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan sasaran kepada bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang adalah waris dari Paku Buwono III lahir kepada menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta ditukarkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja paling akbar dari keluarga Mataram sejak Sultan Luhur. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan bertambah akbar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja pandai yang pakar dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan dihasilkan bentuk sebagai pakar kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda mandek damai namun bukan berarti beliau mandek membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda kepada membangun sebuah benteng di bidang yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC kepada turut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini yang belakang sekali diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebih-lebih jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Referensi

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Pengetahuan

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 16

Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah matang bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau adalah putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah ingatan.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhir-akhirnya mampu ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah kepada siapa saja yang sukses merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir kepada VOC seharga 20.000 real kepada melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya adalah Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V tidak berat sebelah dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum telah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang yang belakang sekali menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang selang Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada kesudahan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya telah dekat. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian mempunyai dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa mengatakannya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada kelebihan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak gagasan dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan daya bersenjata kepada mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya adalah Raden Mas Said.Yang belakang sekali suatu peristiwa kekalahan yang telak Mangkubumi yang belakang sekali menemui VOC menawarkan kepada bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi kepada bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhir-akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diganti Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real kepada dirinya Mangkubumi dan 10.000 real kepada Pakubuwono III.

Akhir-akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 diterapkan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah dihasilkan bentuk sebagai dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bidang.Akad Giyanti ini juga adalah akad persekutuan baru selang pemberontak golongan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC dihasilkan bentuk sebagai persekutuan kepada melenyapkan pemberontak golongan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram dihasilkan bentuk sebagai Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini mampu dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung mampu dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap mampu dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Membangun Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua. Pakubuwana III tetap dihasilkan bentuk sebagai raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dihasilkan bentuk sebagai raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang telah memiliki kekuasaan dan dihasilkan bentuk sebagai Raja maka tinggal kerajaan tempat kepada memerintah belum dimilikinya.Kepada membangun Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC waktu itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan kepada membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidang kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah mempunyai pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan waktu mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidangnya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlangsungnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya dihasilkan bentuk sebagai bertambah populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I yang belakang sekali bertambah terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Luhur dihasilkan bentuk sebagai utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit dibentuk, lagi pula masih mempunyai daya ketiga adalah Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau adalah raja yang jauh bertambah cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran Mangkubumi, hal yang mengakibatkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang membuka bisa mengakibatkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak bersedia mencabut nama "Mangkubumi" kepada saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini mampu dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama kepada awal mulanya sejak zaman pemberontakan dahulu. Mereka bersama VOC bangung mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang menciptakan khawatir VOC. Pakubuwana IV akhir-akhirnya menyerah kepada membiarkan penasehat penasehat spiritualnya ditiadakan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam keperluan yang sama adalah mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang adalah ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berusaha supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan sasaran kepada bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang adalah waris dari Paku Buwono III lahir kepada menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta ditukarkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja paling akbar dari keluarga Mataram sejak Sultan Luhur. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan bertambah akbar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja pandai yang pakar dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan dihasilkan bentuk sebagai pakar kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda mandek damai namun bukan berarti beliau mandek membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda kepada membangun sebuah benteng di bidang yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC kepada turut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini yang belakang sekali diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebih-lebih jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Referensi

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Pengetahuan

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 17

Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792

Asal-Usul

Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah matang bergelar Pangeran Mangkubumi. Beliau adalah putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.

Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah ingatan.

Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhir-akhirnya mampu ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) sukses merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah kepada siapa saja yang sukses merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan sukses mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun beliau dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan akad sayembara.

Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Beliau mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan kawasan pesisir kepada VOC seharga 20.000 real kepada melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.

Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sbg pemberontak.Sbg ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya adalah Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.

Geneologis Hamengku Buwana I

Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V tidak berat sebelah dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah ke atas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang yang belakang sekali menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan dia berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah. Selanjutnya Kyai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I.

Perang Tahta Jawa Ketiga

Perang selang Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sbg Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan daya Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.

Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada kesudahan tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Beliau pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sbg pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.

Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sbg raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sbg Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian mempunyai dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di kawasan Mataram.

Perang kembali berlanjut. Pertempuran akbar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa mengatakannya Kapten Klerek.

Berbagi Wilayah Kekuasaan

Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada kelebihan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak gagasan dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan daya bersenjata kepada mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam daya bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya adalah Raden Mas Said.Yang belakang sekali suatu peristiwa kekalahan yang telak Mangkubumi yang belakang sekali menemui VOC menawarkan kepada bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.

Tawaran Mangkubumi kepada bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhir-akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diganti Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sbg perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.

Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan beliau merelakan kawasan pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real kepada dirinya Mangkubumi dan 10.000 real kepada Pakubuwono III.

Akhir-akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 diterapkan penandatanganan naskah Akad Giyanti yang mengakui Mangkubumi sbg Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah dihasilkan bentuk sebagai dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bidang.Akad Giyanti ini juga adalah akad persekutuan baru selang pemberontak golongan Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC dihasilkan bentuk sebagai persekutuan kepada melenyapkan pemberontak golongan Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram dihasilkan bentuk sebagai Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini mampu dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung mampu dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap mampu dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram.

Membangun Yogyakarta

Sejak Akad Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi dihasilkan bentuk sebagai dua. Pakubuwana III tetap dihasilkan bentuk sebagai raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I dihasilkan bentuk sebagai raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan dihasilkan bentuk sebagai Raja maka tinggal kerajaan tempat kepada memerintah belum dimilikinya.Kepada membangun Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC waktu itu belum memiliki yang dimohon oleh Mangkubumi.

Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan kepada membuka Hutan Pabringan sbg ibu kota Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidang kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah mempunyai pesanggrahan bernama Ngayogya sbg tempat peristirahatan waktu mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang dihasilkan bentuk sebagai bidangnya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.

Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berlangsungnya waktu nama Yogyakarta sbg ibu kota kerajaannya dihasilkan bentuk sebagai bertambah populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I yang belakang sekali bertambah terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.

Usaha Menaklukkan Surakarta

Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha berhasrat mengembalikan kerajaan warisan Sultan Luhur dihasilkan bentuk sebagai utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit dibentuk, lagi pula masih mempunyai daya ketiga adalah Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.

Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Beliau adalah raja yang jauh bertambah cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sbg penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga berhasrat mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran Mangkubumi, hal yang mengakibatkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya dihasilkan bentuk sebagai Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang membuka bisa mengakibatkan keuangan VOC terkuras kembali.

Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak bersedia mencabut nama "Mangkubumi" kepada saudaranya.Memang dalam Akad Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini mampu dipahami bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.

Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama kepada awal mulanya sejak zaman pemberontakan dahulu. Mereka bersama VOC bangung mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang menciptakan khawatir VOC. Pakubuwana IV akhir-akhirnya menyerah kepada membiarkan penasehat penasehat spiritualnya ditiadakan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam keperluan yang sama adalah mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang adalah ancaman potensial pemberontakan kembali.

Hamengkubuwana I pernah berusaha supaya putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan sasaran kepada bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang adalah waris dari Paku Buwono III lahir kepada menggantikan ayahnya.

Sbg Pahlawan Nasional

Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Posisinya sbg raja Yogyakarta ditukarkan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.

Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Beliau dianggap sbg raja paling akbar dari keluarga Mataram sejak Sultan Luhur. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah sukses mengungguli Surakarta. Tingkatan perangnya bahkan bertambah akbar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.

Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja pandai yang pakar dalam strategi bertempur, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan dihasilkan bentuk sebagai pakar kontruksi Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.

Meskipun permusuhannya dengan Belanda mandek damai namun bukan berarti beliau mandek membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda kepada membangun sebuah benteng di bidang yang terkait keraton Yogyakarta. Beliau juga berusaha keras menghalangi pihak VOC kepada turut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).

Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini yang belakang sekali diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebih-lebih jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sbg pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta. [1]

Referensi

  1. ^ Profil Sembilan Orang Pahlawan Nasional, 10 November 2006

Kepustakaan

  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Pengetahuan

Pranala luar

  • Salah satu sumber artikel ini

edunitas.com


Page 18

Tags (tagged): pasar, muara bungo, bungo, unkris, kepadatan, 2, 425 jiwa km, desa kelurahan, 5, pasar muara bungo, kota muara, batas batasnya antara, lain sebelah, barat, kecamatan paling padat, kabupaten bungo, kecamatan, muara bungo kabupaten, bungo jambi, kelurahan, batang bungo, pusat, ilmu pengetahuan, bathin, vii pelepat pelepat, ilir rantau, pandan, tanah pasar muara, pasar muara, program kuliah, pegawai, kelas weekend, pusat ilmu pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa indonesia, ensiklopedia


Page 19

Tags (tagged): pasar, muara bungo, bungo, unkris, perda, no, 12 tahun 25, tentang perubahan, nama, kecamatan, sebelah selatan, kecamatan rimbo, tengah, sebelah timur, pula aktivitas, perekonomian, kabupaten bungo, jambi, kelurahan batang bungo, pusat, ilmu, pengetahuan muara bungo, rimbo tengah, muko, muko bathin vii, pelepat pelepat, pusat ilmu, pengetahuan, pasar muara bungo, bungo unkris, pasar muara, program kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 20

Tags (tagged): market, muara bungo, bungo, unkris, perda, no, 12 tahun 25, tentang perubahan, nama, kecamatan, sebelah selatan, kecamatan rimbo, tengah, sebelah timur, pula aktivitas, perekonomian, kabupaten bungo, jambi, kelurahan batang bungo, center, of, studies muara bungo, rimbo tengah, muko, muko bathin vii, pelepat pelepat, center of, studies, market muara bungo, bungo unkris, market muara, program kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 21

Tags (tagged): market, muara bungo, bungo, unkris, kepadatan, 2, 425 jiwa km, desa kelurahan, 5, pasar muara bungo, kota muara, batas batasnya antara, lain sebelah, barat, kecamatan paling padat, kabupaten bungo, kecamatan, muara bungo kabupaten, bungo jambi, kelurahan, batang bungo, center, of studies, bathin, vii pelepat pelepat, ilir rantau, pandan, tanah market muara, market muara, program kuliah, pegawai, kelas weekend, center of studies, kelas, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 22

Tags (tagged): pasar, rebo, east, jakarta, unkris, terletak, timur, nama, kecamatan, cakung, barat, rawa, bali, mester, kampung, melayu, bidaracina, cipinang, cempedak, meriam, kebon, manggis, pekayon, gedong, center, of, studies, pusat, selatan, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 23

Tindakan Jepang berikut ini yang mencerminkan doktrin Hakko Ichiu adalah

Pasar Senen pada tahun 1970an

Pasar Snees atau yang sekarang bertambah dikenal dengan nama Pasar Senen merupakan pasar tertua yang benar di Jakarta. Dinamai Pasar Snees karena pedagangan di pasar ini yang awal mulanya berlanjut setiap hari Senin dan didominasi oleh warga etnis Cina. Dalam perjalannya nama pasar ini berubah dijadikan Vink passer (merujuk untuk arsitek pengembangnya Yustinus Vinck).

Waktu pembangunan Pasar Senen bersamaan dengan waktu pembangunan Pasar Tanah Kakak laki-laki, yakni pada 30 Agustus 1735 oleh seorang tuan tanah yang juga seorang arsitek bernama Yustinus Vinck dari lahan milik anggota Dewan Hindia bernama Corrnelis Chastelein. Walaupun awal mulanya pasar ini hanya dibuka pada hari Senin, namun pada tahun 1766, pasar yang ramai dikunjungi ini hasilnya dibuka untuk hari selain hari Senin.

Dalam perkembangannya wajah pasar Senen serta kawasan disekelilingnya senantiasa berubah. Selama bertambah dari 274 tahun kawasan pasar ini menyimpan jumlah kisah dan sejarah terjadi didalamnya. Di era pra kemerdekaan(1930an), kawasan sekitar pasar Senen merupakan kawasan bersama-sama dijadikan satu golongannya para intelektual muda serta para pejuang bawah tanah dari Stovia. Beberapa pemimpin pergerakan seperti Chairul Saleh, Adam Malik, juga Soekarno dan Mohammad Hatta, acap menggelar pertemuan di kawasan ini.

Di zaman penjajahan Jepang (1942) hingga tahun 1950an, kawasan sekitar Pasar Senen dijadikan tempat favorit bersama-sama dijadikan satu golongannya para seniman dari era pujangga baru. Mereka dijuluki Seniman Senen. Nama-nama seperti Ajip Rosidi, Sukarno M. Noor, Wim Umboh, dan HB Yasin, muncul dari Senen.

Memasuki era 1970-1990an, nama kawasan Pasar Senen makin membesar dan tumbuh sebagai pusat ekonomi dan hiburan. Bahkan saat pertunjukan film bioskop mulai dikenalkan di Jakarta, Senen tak ketinggalan. Dua gedung Bioskop “Rex” dan “Grand” dibangun artian memenuhi keinginan warga akan hiburan.

Fenomena kehebohan kawasan Pasar Senen sebagai pusat perekonomian dan hiburan makin dijadikan saat Gubernur Ali Sadikin mencanangkan pembangunan “Proyek Senen” yang dilengkapi fasilitas gedung parkir melingkar. Itulah lokasi gedung parkir pertama yang benar di Jakarta.

Sayangnya sejak peristiwa kerusuhan massal tahun 1998, pamor kawasan Pasar Senen mulai redup. Beragam penjarahan dan pelecehan terhadap sebanyak wanita keturunan Tionghoa berlanjut disini menyebabkan jumlahnya pemodal yang umumnya warga keturunan Tionghoa lari dari Senen itu untuk mencari lokasi yang bertambah lepas sama sekali dari bahaya.

Kini, kawasan Pasar Senen mulai dihindarkan. Kemegahan dan kemewahannya perlahan memudar. Kios-kios luhur kini digantikan oleh para pedagang kaki lima yang menggelar barang-barang yang dijualnya hingga tepi jalan. Kawasan pasar bersejarah itupun mulai dijadikan kumuh dan tidak terawat.

Rujukan


edunitas.com


Page 24

Tags (tagged): tanah abang market, unkris, tanah, abang, market, abang market, itu pasar disebut, pasar sabtu, pasar, mampu, terdiri dari, dinding bambu, papan, atap, atas bangunan, pasar mirip, kandang, burung pelataran parkir, tanah abang, semakin, berkembang setelah dibangunnya, stasiun, center, of, studies kiosnya ada, 4 351, buah, 3 016 pedagang, referensi tanah, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, center of, studies, kelas, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 25

Tags (tagged): tanah abang market, unkris, tanah, abang, market, abang market, itu pasar disebut, pasar sabtu, pasar, mampu, terdiri dari, dinding bambu, papan, atap, atas bangunan, pasar mirip, kandang, burung pelataran parkir, tanah abang, semakin, berkembang setelah dibangunnya, stasiun, center, of, studies kiosnya ada, 4 351, buah, 3 016 pedagang, referensi tanah, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, center of, studies, kelas, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 26

Tags (tagged): pasar tanah abang, unkris, pasar, tanah, abang, tanah abang, itu pasar disebut, pasar sabtu, mampu, terdiri dari, dinding bambu, papan, atap, atas bangunan, pasar mirip, kandang, burung pelataran parkir, semakin, berkembang setelah dibangunnya, stasiun, pusat, ilmu, pengetahuan kiosnya ada, 4 351, buah, 3 016 pedagang, referensi pasar, pasar tanah, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, pusat ilmu, pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa indonesia, ensiklopedia