Sebutkan 3 faktor yang menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi

1. Status Terkini Kehati Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan beriklim tropis yang terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia serta dua samudera yaitu Samudra Hindia dan Pasifik dengan posisi 60 LU – 110 LS dan 950 BT – 1410 BT.   Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau, Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai keanekaragaman dan kekhasan ekosistem yang luar biasa dan masing-masing memiliki komunitas yang khusus dan mempunyai endemisitas tinggi.  Dari potensi sekitar 17 ribu pulau yang diperkirakan ada, saat ini baru 13.466 pulau yang sudah dikenali, diberi nama dan didaftarkan ke The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).  Letak geografis, luas kawasan dan banyaknya pulau-pulau ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman jenis hayati yang sangat tinggi, dan merupakan gabungan dari kehati Asia maupun Australia (Australasia) dan kawasan pertemuan kedua benua.

Luas daratan Indonesia adalah 1.919.440 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2 dengan garis pantai sepanjang 99.093 km (BIG, 2013). Secara geologi, Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan Mediterania di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah timur. Dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia banyak memiliki gunung api yang aktif sehingga sering disebut sebagai the pacific ring of fire.  Hal ini juga menyebabkan Indonesia menjadi kawasan yang rawan terhadap gempa bumi.

Sumber: Kious & Tilling (1996) dalam LIPI (2014)
Gambar 1  The ring of fire

Pembagian bioregion di Indonesia lebih didasarkan pada biogeografi flora dan fauna yang tersirat oleh adanya garis Wallace (Wallace, 1860), garis Weber (Weber, 1902), dan garis Lydekker.  Garis Wallace memisahkan wilayah geografi fauna (zoogeography) Asia dan Australasia. Alfred Russell Wallace menyadari adanya perbedaan pengelompokan fauna antara Borneo dan Sulawesi dan antara Bali dan Lombok. Garis ini telah dikonfirmasi dengan teori Antonio Pigafetta sehingga garis Wallace digeser ke arah timur menjadi garis Weber (Weber, 1902). Garis Lydekker merupakan garis biogeografi yang ditarik pada batasan Paparan Sahul yang terletak di bagian timur Indonesia (Hugh, 1992). Pembagian bioregion ini diperkuat oleh hasil penelitian terkini (Berg & Dasmann, 1977; Duffels, 1990; Maryanto & Higashi, 2011).

Gambar 2  Garis Wallacea, Weber, dan Lydekker (adaptasi dari S.J.Moss dan M.E.J.Wilson).

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka secara biogeografis, Indonesia ditetapkan menjadi 7 (tujuh) bioregion, yaitu: (i) Sumatra, (ii) Jawa dan Bali, (iii) Kalimantan, (iv) Sulawesi, (v) Kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda Island), (vi) Maluku, dan (vii) Papua.  Bioregion di Papua memiliki bentang alam luas serta kekayaan keanekaragaman jenis hayati dan endemisme  yang tinggi yang mempengaruhi fungsi ekosistemnya.

Status terkini kehati Indonesia menyajikan mengenai pemahaman kehati secara umum serta status ketersediaan data dan informasi terkini mengenai keanekaragaman ekosistem, jenis, dan genetik yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu disajikan mengenai flora dan fauna endemis berikut bentuk-bentuk ancaman kepunahannya. Pada bagian akhir dipaparkan terkait tantangan riset, pengelolaan data dan informasi, serta pelestarian habitat kehati.  Selengkapnya mengenai status terkini kehati Indonesia disajikan pada buku “Kekinian Kehati Indonesia” yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2015.

2. Pelestarian Kehati

Sesuai dengan mandat UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sistem pengelolaan kawasan lindung yang berfungsi sebagai upaya konservasi in-situ dan eks-situ. Sistem pengelolaan in-situ sangat diperlukan terutama untuk kehati yang ada dalam kelompok/bentuk ekosistem.  Pelestarian dalam bentuk in-situ terutama untuk ekosistem sangat penting karena: (i) Keberadaan kehati dalam ekosistem memiliki ciri khas pada letak geografis tertentu dan karakteristik alam tertentu.  Dalam kaitan ini, pelestarian in-situ sangat penting untuk melestarikan jenis endemis Indonesia; (ii) Jenis yang hidup di dalam ekosistem tertentu memiliki saling ketergantungan, baik antar berbagai jenis, maupun jenis tersebut dengan lingkungannya.  Secara bersama, ekosistem tersebut memiliki nilai bersama, yang sebagian sudah diketahui dan sebagian lagi belum, sehingga perlu dipelihara dalam bentuk dan tempat aslinya; (iii) Ekosistem secara bersama juga memiliki peran dan fungsi di dalam lingkungan makronya, yang sebagian juga belum diketahui, sehingga keberadaannya secara asli di alam penting untuk dijaga.

Sampai dengan tahun 2014, pemerintah telah menetapkan sebanyak 528 kawasan konservasi yang dikelola oleh unit teknis khusus/unit pengelola teknis (UPT).  Sampai saat ini di Indonesia terdapat 528 kawasan konservasi, baik yang berupa cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata, taman buru maupun taman hutan raya (Tabel 1. Luas dan jumlah kawasan konservasi di Indonesia).

Pengelolaan kehati di luar habitat (eks-situ) bisa dilakukan oleh lembaga konservasi yang diatur berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 199 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta Permenhut Nomor P.53/Menhut-II/2006 tentang Lembaga Konservasi.  Lembaga konservasi (LK) adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan/atau satwa liar di luar habitatnya (eks-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non-pemerintah.  Lembaga konservasi dapat berbentuk: (a) pusat penyelamatan satwa; (b) pusat latihan satwa khusus; (c) pusat rehabilitasi satwa; (d) kebun binatang; (e) taman safari; (f) taman satwa; (g) taman satwa khusus; (h) museum zoologi; (i) kebun botani; (j) taman tumbuhan khusus; serta (k) herbarium. Fungsi utama lembaga konservasi untuk pengembangbiakan terkontrol dan/atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.  Selain itu, lembaga konservasi juga mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan, penitipan sementara, sumber indukan dan cadangan genetik untuk mendukung populasi in-situ, sarana rekreasi yang sehat serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Konservasi eks-situ juga dilakukan dalam Kebun Raya berdasarkan  Perpres Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya.  Kebun Raya adalah kawasan konservasi tumbuhan secara eks-situ yang memiliki koleksi tumbuhan terdokumentasi dan ditata berdasarkan pola klasifikasi taksonomi, bioregion, tematik, atau kombinasi dari pola-pola tersebut untuk tujuan kegiatan konservasi, penelitian, pendidikan, wisata dan jasa lingkungan.  Saat ini Indonesia sudah memiliki total sekitar 4.051,5 ha kebun raya nasional dan daerah (Tabel 2)

Tabel  2  Kebun Raya Nasional dan Daerah

Kebun Raya Luas dan Cakupan Pengelolaan
Kebun Raya Nasional 451,5 ha
Kebun Raya Bogor
(sejak tahun 1817)
Mengelola tumbuhan dari dataran rendah basah
Kebun Raya Cibodas
(sejak tahun 1862)
Mengelola tumbuhan dataran tinggi basah
Kebun Raya Purwodadi-Pasuruan
(sejak tahun 1941)
Mengelola tumbuhan dataran rendah kering
Kebun Raya Ekakarya Bali
(sejak tahun 1959)
Mengelola tumbuhan dataran tinggi kering
Kebun Raya Daerah 3.600 ha

Jenis konservasi eks-situ lainnya dilakukan dalam Taman Keanekaragaman Hayati (Taman Kehati) yang telah diatur dalam Permen LH Nomor 03 Tahun 2012 tentang Taman Keanekaragaman Hayati.  Taman Kehati adalah suatu kawasan pencadangan sumber daya alam hayati lokal di luar kawasan hutan yang mempunyai fungsi konservasi in-situ dan/atau eks-situ. Pada saat ini terdapat sebanyak 78 Taman Kehati yang telah dibangun (KLHK, 2014), yaitu 9 (sembilan) Taman Kehati yang telah dibangun menggunakan dana APBN, 27 Taman Kehati di 15 Provinsi dibangun menggunakan dana DAK-LH, 29 Taman Kehati di 10 Provinsi menggunakan dana APBD, dan 9 Taman Kehati yang dibangun atas inisiatif swasta.  Selain itu terdapat 4 Taman Kehati di Provinsi Sulawesi Tenggara yang masih dalam proses pembangunan.

Salah satu ancaman terhadap kelestarian kehati adalah keberadaan jenis asing invasif (JAI). Pengaruh JAI terhadap suatu ekosistem sangat besar karena bisa mengubah ekosistem alami, dan menyebabkan terjadinya degradasi dan hilangnya suatu jenis bahkan habitat (Anonim 2000, dalam LIPI 2014). Berdasarkan penggalian informasi tentang JAI, diketahui ada 2.809 jenis asing dan/atau invasif, yaitu mulai dari jamur, bakteri, virus, arachnida, insekta, ikan, moluska, burung, dan mamalia serta tumbuhan (Arida et al., 2014, dalam LIPI, 2014).  Peraturan perundang-undangan yang sudah ada saat ini belum cukup mengatur, baik berkaitan dengan introduksi maupun penyebaran dan pengendaliannya Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang mempunyai kewenangan berkaitan dengan pengelolaan JAI. Selain itu, perlu pula disusun suatu acuan yang bersifat komprehensif bagi sektor terkait dan berskala nasional dalam bentuk Strategi Nasional serta Rencana Aksi Pengelolaan JAI. Dengan demikian diharapkan pengelolaan JAI ini akan dapat dilakukan secara lebih tepat, efektif dan efisien oleh masing-masing sektor sesuai dengan kewenangannya, namun tetap terkoordinasi dan terintegrasi secara nasional yang pada gilirannya akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan, kesehatan, sosial dan ekonomi, pada tingkat lokal maupun nasional.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA