Salah seorang tokoh awal/pendahulu muhammadiyah yang dikenal dalam politik di indonesia, adalah …

PERANAN K.H MAS MANSUR SEBAGAI TOKOH MUHAMMADIYAH

PADA MASA PERGERAKKAN NASIONAL (1915-1942)

Ira Pramudawardhani

Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Univet Sukoharjo

ABSTRAK

Tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui latar belakang kehidupan K.H Mas Mansur dan keluarga, peran dalam Organisasi Muhammadiyah dan perjuangan politik K.H Mas Mansur pada masa Pergerakan Nasional Indonesia. Sedangkan manfaat dalam penulisan ini adalah dapat memberikan tambahan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan topik: Peranan K.H Mas Mansur Sebagai Tokoh Muhammadiyah Pada Masa Pergerakan Nasional (1915-1942), dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya dan bermanfaat bagi penelitian-penelitian selanjutnya terutama dalam kajian tentang K.H Mas Mansur. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa K.H Mas Mansur lahir 25 Juni 1896 di Surabaya besar dalam keluarga yang tinggal di pondok pesantren. Pribadi yang sederhana dan religius membuatnya mencapai kemajuan ilmu yang lebih tinggi dengan belajar ke Timur Tengah. K.H Mas Mansur terjun dalam dunia keagamaan maupun politik, dalam bidang agama K.H Mas Mansur terjun dalam Organisasi Muhammadiyah dan puncaknya menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Sebagai langkah awalnya K.H Mas Mansur mencetuskan 12 Langkah Muhammadiyah. Dalam dunia politik K.H Mas Mansur memulainya dengan bergabung dalam Sarekat Islam, namun karena ada kebijaksanaan disiplin K.H Mas Mansur bergabung ke PII yang lebih kooperatif. Bersama Ir.Soekarno, Moh. Hatta dan Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansur tergabung dalam organisasi bentukan Jepang yakni PUTERA dengan tujuan sebagai alat menuju Indonesia merdeka, namun karena dirasa lebih menguntungkan bagi Indonesia maka di gantilah dengan Jawa Hokokai. K.H Mas Mansur hanya duduk sebagai anggota sedangkan Ir. Soekarno sebagai ketua.

Kata Kunci: K.H Mas Mansur, Muhammadiyah, PUTERA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta adalah organisasi yang berdiri sebagai alternative berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad ke-19 an awal abad ke-20. Pergerakan Muhammadiyah ini sejalan dengan berdirinya Budi Utomo sebagai organisasi pertama dalam pergerakan nasional yang muncul akibat adanya politik kolonial Belanda (Pringgodigdo, 2000 hlm: 21).

Keadaan Islam yang lemah dan bersikap bertahan terus menerus berlangsung hingga abad ke-19. Namun pada abad ke-19 ini merupakan awal kesadaran dan kebangkitan Islam tersebut, yaitu agama dan politik. Faktor yang bersifat keagamaan lahir dari keprihatinan terhadap merosotnya rasa keimanan rakyat, yaitu agama Islam yang meluruskan ajaran Islam yang sebenarnya. Penyebab kemunduran ini dikarenakan sifat jumud (keadaan yang tak ada perubahan) dari kalangan umat islam sendiri, yaitu umat Islam yang telah berpegang teguh pada tradisi sehingga Islam yang sebenarnya jauh dari yang sebenarnya (Nasution, 1991, hlm: 62).

K.H Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah mulanya mengubah arah orang yang bersembahyang pada kiblat yang sebenarnya. Perubahan ini walapun di zaman sekarang mungkin sangat kecil artinya memperlihatkan kesadaran K.H Ahmad Dahlan tentang membuang kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik dan yang menurut pendapatnya tidak sesuai dengan Islam. Namun K.H Ahmad Dahlan gagal dalam merealisasikan arah kiblat di Masjid Sultan Agung Yogyakarta. Maka Ia dibangunkan Langgar dan dijamin keamanannya dalam menyebarkan dan mengajarkan ilmu-ilmu agama menurut keyakinannya.

Tahun 1909 K.H Ahmad Dahlan masuk ke Organisasi Budi Utomo dengan tujuan memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini Ia berharap dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, sebab anggota-anggotanya pada umumnya bekerja di sekolah yang didirikan oleh pemerintah. K.H Ahmad Dahlan mempunyai harapan agar guru-guru sekolah yang K.H Ahmad Dahlan ajarinya dapat meneruskan pelajarannya kepada murid-murid mereka.

Pelajaran yang diberikan oleh K.H Ahmad Dahlan memenuhi harapan dan keperluan anggota Budi Utomo, dengan bukti untuk mendirikan sekolah sendiri dengan organisasi yang bersifat permanen dan untuk menghindari nasib kebanyakan pesantren tradisional yang semakin berkurang santrinya karena kyainya meninggal, hal ini disebabkan pengajaran pesantren belum menggunakan kurikulum dan kharisma dari kyai sebelumnya yang masih melekat dihati para santri mengakibatkan kurang kepercayaan dengan pengganti kyai sebelumnya.

Demikianlah Muhammadiyah didirikan dan mempunyai maksud menyebarkan pengajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.

Pada tahun 1917 Budi Utomo mengadakan kongres ke- 9 yang bertempat di rumah K.H Ahmad Dahlan, atas permintaan pengurus Muhammadiyah maka didirikan cabang-cabang Muhammadiyah di berbagai tempat di Jawa. Hal ini sesuai surat persetujuan Pemerintah Belanda pada 22 Agustus 1914, meskipun demikian pengaruh Muhammadiyah sudah menyebar di tanah Jawa. Konsistensi K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pemikiran keislaman yang bercorak pembaharuan (modernisasi pemikiran) dibarengi sikap egaliternya serta kemampuannya menyapa berbagai pihak sebagai implementasi sikap hidup berbangsa telah menyemai sambutan hangat dari berbagai kalangan.

Ketika K.H Ahmad Dahlan wafat pada tahun 1923 Organisasi Muhammadiyah telah berjalan menjadi lebih birokratis. Pemimpin Muhammadiyah dipilih dalam Muktamar yang diadakan setiap tahun (1912-1940), sedang dalam masa revolusi dilakukan dua kali ( 1940 dan 1950), dan setelah itu diadakan setiap tahunnya.

Dalam dunia Muhammadiyah telah timbul dan tenggelam Lima Matahari yaitu lima pemimpin ialah: K.H Ahmad Dahlan, K.H Ibrahim, K.H Fakhrodin, K.H Hisyam dan K.H Mas Mansur. Matahari adalah pemimpin, dia mengikat, membimbing dan memberi daya serta cahaya. Dari beberapa pucuk pimpinan Muhammadiyah yang menonjol adalah K.H Mas Mansur. Beliau terpilih sebagai Pimpinan Besar Muhammadiyah pada kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada bulan Oktober 1937.

Pada masa kepemimpinan K.H Mas Mansur , Indonesia masih dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dengan sistem pemerintahan yang menekankan pada kekuasaan yang otoriter, dimana pemerintah kolonial Belanda melakukan berbagai penindasan terhadap rakyat Indonesia. Hal ini menyebabkan K.H Mas Mansur yang menjabat sebagai ketua umum merasa prihatin dengan nasib yang dialami oleh rakyat, sehingga rasa nasionalisme yang ada pada jiwa K.H Mas Mansur menggerakkan hatinya untuk membebaskan derita yang ada pada rakyat dengan cara mengeluarkan ide-ide dan pemikiran tentang perjuangan mencapai kemerdekaan. Ide tersebut selain dikeluarkan kepada bawahannya didalam struktur organisasi Muhammadiyah, juga dikeluarkan pada tokoh Organisasi Islam yang lain yang ada pada saat itu. Hal ini terlihat dalam keterlibatan K.H Mas Mansur dalam melahirkan organisasi yang bersifat federasi antar berbagai Organisasi Islam, yang dikenal dengan nama Majelis Islam A’la Indonesia ( MIAI ), yang lahir pada tahun 1937. Sekalipun K.H Mas Mansur telah sarat dengan berbagai tugas yang diembannya, namun karena tuntutan umatnya akhirnya K.H Mas Mansur masih jugan mengemban amanat umat dalam wujud kesediaan beliau ikut serta memegang kendali pimpinan Partai Islam Indonesia ( PII ).

Pada tahun 1926, K.H Mas Mansur menjadi utusan atau delegasi dari Indonesia dalam Muktamar umat Islam seluruh dunia di Mekkah, Arab Saudi, yang diselenggarakan Raja Ibnu Saud. Delegasi dari Indonesia yang dikirimkan pada saat itu selain K.H Mas Mansur yang merupakan wakil dari Organisasi Muhammadiyah, juga berangkat pula H.O.S Cokroaminoto yang merupakan wakil dari Organisasi Sarekat Islam. Sewaktu Jepang berkuasa di Indonesia, K.H Mas Mansur termasuk dalam empat serangkai, yaitu Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hajar Dewantara memimpin organisasi PUTERA. Bagi Jepang PUTERA digunakan untuk mencapai kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, namun bagi K.H Mas Mansur hal ini digunakan untuk membangkitkan kesadaran dan kesiapan mental rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan.

Dari pemaparan diatas penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Peranan K.H Mas Mansur Sebagai Tokoh Muhammadiyah Pada Masa Pergerakan Nasional (1915-1942)”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, antara lain:

  1. Bagaimana latar kehidupan K.H Mas Mansur ?
  2. Bagaimana peran K.H Mas Mansur dalam Muhammadiyah ?
  3. Bagaimana Perjuangan K.H Mas Mansur pada masa Pergerakan Nasional Indonesia?

Tujuan Penelitian

Dalam hubungannya dengan rumusan masalah yang dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan:

  1. Mengetahui secara mendalam tentang Latar Belakang Kehidupan K.H Mas Mansur.
  2. Mengetahui lebih dalam peran K.H Mas Mansur dalam Muhammadiyah.
  3. Mengetahui secara mendalam perjuangan K.H Mas Mansur pada masa Pergerakan Nasional Indonesia.

Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

  1. Dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan tentang latar belakang kehidupan K.H Mas Mansur.
  2. Dapat memberikan tambahan pengetahuan yang berkaitan dengan peran K.H Mas Mansur dalam Muhammadiyah.
  3. Memberikan tambahan pengetahuan dan tentang perjuangan K.H Mas Mansur pada masa Pergerakan Nasional Indonesia.

Manfaat Praktis

  1. Agar bermanfaat bagi Pembaca dari kalangan masyarakat,lingkup mahasiswa
  2. Dan berguna khususnya mahasiswa program studi sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo agar digunakan sebagai bahan awal untuk meneliti berbagai kajian yang sama.

Strategi Perjuangan K.H Mas Mansur pada Masa Pergerakan Nasional

Peran K.H Mas Mansur dalam Organisasi Politik

Perjuangan K.H Mas Mansur dalam bidang politik dimulai sejak memasuki Syarekat Islam. Pada waktu itu Syarekat Islam merupakan satu- satunya partai yang terkemuka, dan dikenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner berdasarkan Islam, dimana pada waktu itu pucuk pimpinannya dipegang oleh H.O.S Cokroaminoto. Karena loyalitas dan dedikasinya yang tinggi terhadap organisasi, pada akhirnya K.H Mas Mansur diangkat menjadi penasehat Pengurus Besar partai tersebut (Saleh Said, t.th: 6).

Sejak tahun 1925 dikalangan para pemimpin Islam yang bergabung dalam tubuh Syarekat Islam mulai timbul benih perpecahan. Disebabkan karena adanya perbedaan pandangan antara Syarekat Islam dan Muhammadiyah mengenai

masalah khilafah, dan ditambah lagi dengan munculnya terjemahan tafsir Al-Qur’an Ahmadiyah yang diterjemahkan oleh H.O.S Cokroaminoto dari bahasa Inggris kedalam bahasa Indonesia, semua itu mendorong timbulnya perpecahan yang terjadi antara Syarekat Islam dengan kelompok-kelompok Islam lainnya semakin melebar, sebab para pemimpin Islam terutama dari kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama sangat menentang masuknya ajaran-ajaran Ahmadiyah di Indonesia (Harry J. Benda, 1980: 78).

Akhirnya pada tahun 1927 Syarekat Islam mengeluarkan suatu kebijaksanaan disiplin partai terhadap Muhammadiyah, dengan mengharuskan para anggota Muhammadiyah memilih salah satu antara Syarekat Islam dan Muhammadiyah sebagai ajang perjuangannya (Soebagijo, 1982: 22). Akibat dari kebijaksanaan ini banyak para pemimpin Muhammadiyah yang semula menempati kedudukan penting dalam Syarekat Islam terpaksa harus meninggalkannya dan memilih Muhammadiyah, termasuk K.H Mas Mansur yang pada saat itu menjabat sebagai penasehat partai.

Dengan demikian keberadaan Syarekat Islam sebagai satu-satunya partai yang terbesar pada waktu itu dan sekaligus sebagai penyalur aspirasi umat Islam, kedudukannya semakin menurun dan semakin lemah (Pringgodigdo, 1977: 131). Sehingga dalam tahun 1930 para pemimpin Islam yang terdiri dari Dr. Sukiman, Wali Al Fatah, K.H Mas Mansur dan lain-lainya menyampaikan saran-sarannya kepada para pemimpin Syarekat Islam yang antara lain berisi:

  1. Agar Syarekat Islam mau melepaskan asas politik hijrahnya, Menurut pendapat mereka politik hijrah janganlah dijadikan asas perjuangan partai, akan tetapi hanyalah merupakan suatu langkah tak-tik perjuangan partai.
  2. Mereka menyarankan agar Syarekat Islam membatasi diri dari kegiatannya dalam bidang politik saja, sedangkan lapangan kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan hendaklah diserahkan kepada organisasi lain yang memang sengaja dibentuk dan didirikan untuk menangani bidang tersebut.
  3. Selanjutnya mereka juga menyarankan agar disiplin partai yang dilakukan terhadap Muhammadiyah segera dicabut.

Namun semua usul yang diajukan oleh tokoh-tokoh Islam tersebut tidak mendapat perhatian dari para pemimpin Syarekat Islam. Untuk menyalurkan aspirasinya mula-mula mereka memasuki kelompok diskusi “Islam Study Club” yang didirikan oleh Ahmad Kasmat di Yogyakarta. Akan tetapi karena sifat akademis dari Islam Study Club tersebut telah membatasi gerak dan langkah mereka, maka mereka mulai berfikir adanya suatu kemungkinan untuk mendirikan suatu partai politik baru (Deliar Noer, 1980: 176). Itulah sebabnya mereka memutuskan pada tanggal 4 Desember 1938 didirikanlah Partai Islam Indonesia (PII), dengan ketua Raden Wiwoho bekas ketua Jong Islamieten Wiwoho sebagai ketua baru partai dan belum pernah terlibat dalam persengketaan-persengketaan pada tahun-tahun yang telah lalu (Djarnawi Hadikusumo, t.th: 56). Sedangkan K.H Mas Mansur dalam kepengurusan tersebut menjabat sebagai anggota.

Partisipasi K.H Mas Mansur dalam PII yang ketika itu menjabat sebagai ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, sempat mengudang perdebatan dikalangan warga Muhammadiyah. Sebagian ada yang lebih suka Muhammadiyah bebas terhadap pertikaian politik dengan mengambil sikap netral terhadap partai politik dan sebagian yang lain menilai bahwa hal itu terserah dengan K.H Mas Mansur, sehingga walaupun dalam sidang Tanwir Muhammadiyah yang diadakan tahun 1939 telah mengizinkan K.H Mas Mansur duduk dalam kepengurusan PII (Deliar Noer, 1980: 176). Akan tetapi dalam perkembangan partai PII selanjutnya K.H Mas Mansur duduk sebagai penasehat, suatu kedudukan yang tidak secara langsung mempunyai tanggungjawab terhadap partai apabila terjadi pertikaian di dalam partai tersebut.

Hal ini dimaksudkan agar Muhammadiyah sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial tidak terlibat dalam pergolakan politik, meskipun para anggotanya banyak yang terjun dalam pergolakan politik. Dengan kata lain hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara kelangsungan hidup organisasi Muhammadiyah. Sebab saat itu kedudukan organisasi politik oleh pihak pemerintah kolonial selalu diawasi dengan ketat, bahkan tidak jarang para pemimpinnya ditangkap dan dibuang ke daerah yang jauh, sehingga kegiatannya macet dan beku sama sekali.

Adapun dasar perjuangan PII adalah bersifat kooperatif dengan pihak pemerintah kolonial, sebagai bukti dalam kongres partai ke 11 di Solo yang diadakan pada tanggal 25-27 Juli 1941 secara resmi PII mengemukakan kesediaannya untuk duduk dalam Dewan Perwakilan yang ada, serta menyokong tuntutan GAPPI agar Indonesia berparlemen (Deliar Noer, 1980: 178).

Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPPI), dibentuk untuk menyamakan langkah semua partai-partai politik seluruh Indonesia guna menuntut Indonesia berparlemen. Pada rapat pertama pembentukan GAPPI yang diadakan pada tanggal 12 Mei 1939 di Jakarta, K.H Mas Mansur juga ikut hadir bersama-sama para pemimpin yang lain. Yang mula-mula menjadi anggota GAPPI adalah: PSII, Gorindo, PII, Pasundan, Persatuan Minahasa, dan Parindra (Saleh Said, t.th: 14).

Pada tanggal 13-14 September 1941 di Yogyakarta diadakanlah konferensi para pemimpin partai, baik dari organisasi politik, organisasi sosial maupun perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dalam bidang yang lain. Konferensi ini diprakarsai oleh GAPPI, dalam konferensi tersebut dihadiri oleh tiga partai federasi besar, masing-masing GAPPI diwakili oleh Abikusno Cokrosuyoso, Sukarjo Wiryopranoto, Otto Iskandardinata, Sartono dan I.J Kasimo. Sedangkan dari MIAI diwakili oleh K.H.A Wahid Hasyim, Wondoamiseno, Sukiman, K.H Mas Mansur dan Umar Hubeis. Adapun dari PVPN diwakili oleh Panji Surono, Atik Suardi, Hindromartono, Rooslan Wongsokusumo, dan Driyo Wongso. Dalam konferensi tersebut berhasil diputuskan membentuk “Majelis Rakyat Indonesia” MRI, sebagai pengganti dari Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang bertujuan mengadakan aksi bersama guna menuntut Indonesia berparlemen (Pringgodigdo, 1977: 145).

Kembali pada MIAI, sebenarnya tidak hanya dibidani oleh Muhammadiyah, tetapi juga oleh NU dan PSII. Hanya saja, mengutip Haji Abu Bakar Aceh, peran Muhammadiyah sangat besar melalui Ketuanya K.H Mas Mansur yang berinisiatif mengadakan pertemuan dengan K.H Wahab Hasbullah (NU), Wondoamiseno (PSII) dan beberapa tokoh lainnya di Surabaya pada tanggal 18-21 September 1937, yang kemudian melahirkan MIAI. MIAI merupakan federasi dari organisasi sosial politik Islam se-Indonesia. Tujuan dari MIAI adalah:

  1. Mempersatukan seluruh organisai Islam bagi kepentingan bersama.
  2. Menyelesaikan segala perselisihan antara organisasi-organisasi Islam melalui perdamaian.
  3. Mempererat persaudaraan antara muslim Indonesia dan muslim di luar Indonesia.
  4. Bekerja bagi keselamatan dan perlindungan Islam dan pemeluk-pemeluknya.
  5. Melaksanakan kongres masyarakat muslim Indonesia (Kongres Islam Seluruh Indonesia).

MIAI yang dalam tahun 1941 mengklaim beranggotakan 410.363 orang ditulang-punggungi terutama oleh Muhammadiyah, NU, dan PSII. Baik Muhammadiyah maupun NU mengklaim anggotanya berjumlah sekitar 100.000 orang. Di dalam MIAI terlihat jelas bahwa peran organisasi muslim modernis seperti Muhammadiyah, PSII, PII, AL-Irsyad, dan lain-lain lebih besar daripada peran para ulama tradisional yang tergabung dalam NU dan organisasi lainnya. Lantaran Muhammadiyah merupakan organisasi muslim modernis terbesar, dengan sendirinya pengaruh Muhammadiyah paling besar baik di MIAI maupun di PII (Alfian, 1989: 34).

Demikianlah berbagai pergolakan politik yang telah diikuti oleh K.H Mas Mansur pada masa penjajahan Belanda, dan untuk selanjutnya pada masa kedudukan Jepang bentuk dan variasi kegiatannya berbeda. Hal ini disebabkan karena sikap Jepang membekukan semua aktifitas organisasi yang ada, kecuali organisai yng berbeda dibawah pegawasan pemerintah Jepang.

Pada tanggal 8 Desember 1941 tiba-tiba Jepang menyerang dan membom Pearl Harbour, yakni pangkalan angkatan laut Amerika yang terbesar di Pasifik. Lima jam kemudian Gubernur Jendral Hindia Belanda Carda Van Starkenborgh Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang, pada tanggal 10 Januari 1942 tentaranya telah sampai di Tarakan, tiga hari kemudian pulau tersebut ditaklukkan. Berikutnya secara berturut-turut Balikpapan, Pontianak, dan Martapura dapat dikuasai dengan mudah oleh Jepang, tanpa ada perlawanan yang berarti dari pihak Pemerintah Hindia Belanda. Dua bulan kemudian Jepang telah dapat menguasai sebagian besar kepulauan Indonesia, sehingga tepatnya tanggal 8 Maret 1942 tentara Hindia Belanda dibawah pimpinan Jenderal Carda Van Starkenborgh Stachouwer dan didampingi oleh Jenderal Ter Poorten menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Jepang yang dipimpin oleh Jenderal Imamura. Dengan demikian berakhirlah sudah riwayat penjajahan Belanda di Indonesia, dan secara resmi ditegakkan kekuasaan militer Jepang di persada bumi Indonesia (Sartono Kartodirjo. 1984: 6).

Usaha-usaha Jepang dalam rangka menegakkan kekuasaannya di Indonesia dengan berusaha merangkul dan menarik simpati para pemimpin Indonesia yang cukup berpengaruh. Hal ini telah dimulai sejak tanggal 8 November 1942, yakni dengan jalan membentuk suatu komisi guna menyelidiki adat istiadat dan tata negara Indonesia, dengan anggota komisi tersebut terdiri dari 13 orang Jepang dan dibantu oleh beberapa orang bangsa Indonesia yakni Drs. Moh. Hatta, Sutarjo Kartohadikusumo, Abikusno Cokrosuyoso, K.H Mas Mansur, Ki Hajar Dewantara, Prof. Husein Jayadiningrat, Dr. R. Ng Purbacaraka, dan Prof Dr. Supomo. Dari tokoh-tokoh tersebut dipilih empat orang yang dianggap terkemuka yakni Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K.H Mas Mansur dan Ki Hajar Dewantara untuk memimpin suatu organisasi yanng berada dibawah pengawasan Jepang bernama “Pusat Tenaga Rakyat” PUTERA, mereka kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Menurut suatu dugaan pembentukan PUTERA tersebut didasarkan atas usul kaum Nasionalis yang diwakili oleh Ir. Soekarno (Sartono Kartodirjo, 1984: 7).

Semula K.H Mas Mansur menolak untuk tampil sebagai pemimpin PUTERA, karena pada saat itu sedang menjabat Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, akan tetapi karena desakan Ir. Soekarno yang terus menerus pada akhirnya dia mau menerima ajakan Ir. Soekarno untuk duduk bersama-sama memimpin PUTERA (Saleh Said, t.th: 21).

K.H Mas Mansur terpaksa memenuhi ajakan untuk bekerja sama dengan Jepang, hal ini walapun berat namun tetap diemban dengan baik oleh K.H Mas Mansur demi negara tercinta. Namun yang jelas ialah dengan kesediaan K.H Mas Mansur keinginan Jepang untuk memanfaatkan pengaruh dan wibawanya yang luas guna memobilisir rakyat Hindia Belanda yang berpenduduk mayoritas muslim untuk mendukung kepentingan Jepang mencapai kemenangan akhir akan segera terpenuhi.

PUTERA baru mulai berjalan mulai tanggal 16 April 1943, gerakan yang bermarkas besar di jalan Sunda 18 (kini Jalan Gereja Theresia) memiliki tiga departemen yaitu: Departemen Perencanaan dan Perhubungan di bawah Bung Hatta, Departemen Kebudayaan di bawah Ki Hajar Dewantara, dan Departemen Kesejahteraan Masyarakat, dibawah K.H Mas Mansur. PUTERA didirikan Jepang dengan maksud untuk memberikan kepuasan bangsa Indonesia di bidang politik, sekaligus sebagai alat untuk mengeksploitir kekayaan Indonesia bagi keperluan Perang Asia Timur.

Perhatian dan minat masyarakat terhadap PUTERA untuk mencari berbagai bantuan dan keterangan ternyata diluar dugaan. Markas besar PUTERA yang mulai bekerja dengan kapasitas penuh tanggal 17 April 1942 sampai kewalahan. Semua itu menunjukkan betapa tinggi harapan rakyat pada PUTERA.

Sebagai seorang pemimpin yang taat dan memegang teguh aqidah Islam, K.H Mas Mansur tidak rela manakala terdapat unsur-unsur lain yang hendak menggerogoti kemurnian aqidah yang telah berjalan mapan di kalangan masyarakat Islam. Oleh sebab itu sekalipun bekerja sama dengan Jepang dia menentang kebijaksanaan Jepang yang mengharuskan bangsa Indonesia untuk mengikuti konsep Saekeirei Jepang. Sikap ini ditunjukkan K.H Mas Mansur dalam acara diskusi yang dihadiri oleh para pemimpin Islam dan wakil-wakil Jepang di Jakarta.

Posisi Jepang semakin menurun, akibat peperangan yang terus menerus dengan sekutu, angkatan perangnya lemah karena kekurangan tenaga manusia. Untuk itu dibentuklah Jawa Hokkokai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) yang bertujuan menghimpun segenap kekuatan di Jawa untuk mempercepat kemenangan akhir sesuai dengan amanat Panglima tertinggi Saiko Sikikan, dan Jepang merasa bahwa PUTERA lebih menguntungkan pihak Indonesia. Terbentuknya Jawa Hokkokai membuat empat serangkai mengumumkan peleburan PUTERA kedalam badan baru itu, dan menyatakan berakhirlah sejarah dari organisasi PUTERA. Bung Karno kembali dilantik untuk menjadi ketua pada organisasi tersebut, sedangkan K.H Mas Mansur sebagai salah seorang anggota pengurus umum wakil dari Masyumi.

Pemikiran dan Perjuangan K.H Mas Mansur

K.H Mas Mansur selain aktif dalam berbagai organisasi politik, juga aktif dalam masyarakat dan peduli terhadap nasib umat Islam di Nusantara. Ranah perjuangannya kemudian bisa dibagi dalam tiga cakupan, yakni perjuangan dalam membangkitkan rasa kebangsaan, perubahan sosial keagamaan dan dalam ranah jurnalistik.

Perjuangan K.H Mas Mansur dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan tampak sejak ia dalam SI, dan kemudian membentuk Taswirul Afkar pada 1916 di Surabaya bersama beberapa kyai muda, seperti K.H Abdul Wahab Hasbullah dan K.H Ahmad Dahlan Ahyat. Kelompok diskusi ini bertujuan ingin memajukan umat Islam, terutama kaum mudanya dengan memancing mereka untuk menambah pengetahuan melalui perdebatan-perdebatan.Tumbuh dari serangkaian diskusi itu kemudian memunculkan gagasan untuk mendirikan sebuah madrasah yang bertujuan menanamkan serta membangkitkan semangat patriotrisme dan nasionalisme, madrasah ini diberi nama Madrasah Nadhlatul Wathan. Dalam lembaga yang terakhir K.H Mas Mansur banyak berperan dalam menebarkan benih-benih nasionalisme di kalangan kaum muda Islam serta anak didiknya yang kelak akan meneruskan perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Nadhlatul Wathan yang dalam bahasa Indonesia berarti “Kebangkitan Tanah Air” memberi kesan betapa kuatnya semangat cinta tanah air dan kebangsaan kaum santri.

Dalam bidang sosial keagamaan, pertemuan K.H Mas Mansur beberapa kali dengan K.H Ahmad Dahlan memberikan pengaruh yang besar dalam pemikirannya di bidang keagamaan, K.H Ahmad Dahlan saat itu memberikan pencerahan dan kesadaran dalam dirinya tentang perlunya suatu metode pendekatan dalam upaya membina suatu masyarakat yang sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Metode yang dianjurkan adalah melakukan pengkajian dan pengamalan isi Al-Qur’an dengan menggunakan otak dan mata hati hingga tersingkap rahasia alam yang memang diciptakan Tuhan untuk semua makhluknya, termasuk manusia. Pengaruh dan pemikiran K.H Ahmad Dahlan ini yang kemudian mempertebal keyakinan dan semangatnya dalam memurnikan ajaran Islam dan memajukan bangsa-bangsanya dengan melakukan perubahan di bidang sosial keagamaan.

K.H Mas Mansur juga tertarik dalam bidang jurnalistik yang dimanfaatkannya sebagai alat untuk menyebarluaskan berbagai gagasan dan pemikirannya kepada masyarakat di dalam upaya mewujudkan cita-citanya. Media komunikasi pertama yang diterbitkan K.H Mas Mansur adalah Le Jinem pada tahun 1920 di Surabaya. Kemudian ia menerbitkan Suara Santri (1921), serta Jurnal Etude dan prietair, semua majalah itu membawakan suara kaum santri Surabaya.

Le Jinem maupun Suara Santri dijadikan K.H Mas Mansur sebagai tempat untuk menumpahkan segenap isi hati dan cita-citanya berkenaan dengan perbaikan nasib umat dan bangsa. Bahasanya yang singkat, padat dan mudah dipahami membuat ia mempunyai reputasi yang tinggi dalam bidang jurnalistik, K.H Mas Mansur sempat menjadi redaktur dalam majalah Kawan Kita Yang Tulus di Surabaya, ia juga sempat menjadi pemimpin umum Suara Muslimin Idonesia saat Masyumi terbentuk akhir 1943.

K.H Mas Mansur selain menerbitkan dan memimpin media sendiri, juga aktif menulis di berbagai media lain, seperti Hindia Timur, dan menjadi penyumbang tulisan untuk majalah-majalah siaran dan Kentongan (Surabaya), Penganjur dan Islam Bergerak (Yogyakarta), Panji Islam dan Pedoman Masyarakat (Medan), Adil (Surakarta), dan Suara MIAI (Jakarta).

DAFTAR PUSTAKA

Darul Aqsha. K,H Mas Mansur (1896-1946) Perjuangan dan Pemikirannya, Jakarta: Erlangga, 2005.

Djanarwi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah: Dari K.H.A. DahlanSampai Dengan K.H. Mas Mansur, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.

Cahyo Budi Utomo. (1995). Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. IKIP Semarang Press.

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah: Dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Amir Hamzah Wiryosukarto, ed, Kyai Haji Mas Mansur Kumpulan Karangan Tersebar, Jakarta: Persatuan, 1992.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.

Rosihan Anwar, Pergerakan Islam dan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kartika Tama, 1971.

Mustafa Kamal Pasha, Chusnan Yusuf. 1975. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta. Persatuan.

Nugroho Notosuman, 1971. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen pertahanan dan Keamanan Pusat Sejarah ABRI.

Koentjaraningrat, 1983. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Pringgodigdo AK.1977. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta. Dian Rakyat

Sartono Kartodirjo.1976. Pendidikan di Indonesia 1900-1974. Jakarta. Balai Pustaka

Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 6. Jakarta. Depdikbud

Syaifullah. 1997. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakrta: Pustaka Sinar Harapan.

Mas Mansur, Tafsir Langkah Muhammadiyah, Yogyakarta: H.B. Muhammadiyah Madjilis Taman Pustaka, 1939.

Saleh Said, Kiyai Mas Mansur, Membuka dan Menutup Sejarahnya, Surabaya: Budi, [t,t]

PP Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1990.

Soebagijo I.N., K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA