Salah satu hal yang membuat harga kertas terus meningkat adalah

Tahukah Anda, penggunaan kertas dan tisu yang berlebihan ikut mendukung kerusakan hutan?

Perubahan gaya hidup dan jaman menyebabkan penggunaan kertas dan tisu terus meningkat. Misalnya kertas untuk kebutuhan tulis dan cetak juga tisu untuk membersihkan.

Peningkatan kebutuhan kertas dan tisu tentunya diiringi dengan peningkatan kebutuhan akan bahan baku dan bahan tambahan lainnya.

Kebutuhan kertas nasional sendiri diketahui sekitar 5,6 juta ton per tahun. Untuk membuatnya diperlukan bahan baku kayu dalam jumlah besar dan mahal.

Sebenarnya Hutan Tanaman Industri (HTI) Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan kertas dan tisu nasional ini. Tapi ironisnya di sekeliling kita banyak kertas dan tisu digunakan secara boros dan berlebihan.

Sementara itu, untuk memproduksi 1 rim kertas diperlukan 1 batang pohon usia sekitar 5 tahun, dan untuk menghasilkan 2 pack tisu berisi 40 sheet membutuhkan 1 batang pohon berumur 6 tahun. Padahal 1 batang pohon itu bisa menghidupkan sekitar 3 orang.

Selain itu, limbah yang dihasilkan dari proses produksi kertas dan tisu juga sangat besar. Baik secara kuantitatif dalam bentuk cair, gas dan padat maupun secara kualitatif.

Jika kita tidak mulai memperbaiki pola konsumsi kertas dan tisu sejak sekarang, maka akan terjadi kebiasaan dan menyebabkan pembabatan hutan terus menerus dan kurang diimbangi dengan penanaman kembali.

Dan jika hutan terus dibabat, keseimbangan ekosistem akan kacau dan menyebabkan apa yang sekarang kita kenal dengan global warming.

Sampai saat ini pun Indonesia sudah kehilangan sekitar 72 persen hutan aslinya dan semakin haripun kerusakan hutan masih tetap berlanjut. (berbagai/nia/ipg)

Teks Foto:
– Ilustrasi


JAKARTA - Pemerintah menargetkan produksi kertas tahun ini bisa mencapai 11 juta ton atau naik hampir 6% dari produksi 2014. Tahun lalu, produksi kertas nasional mencapai 10,40 juta ton dengan 4,50 juta ton di antaranya untuk pasar ekspor senilai US$ 2,38 miliar.

Sedangkan pada 2013, produksi mencapai 10,91 juta ton dengan 4,10 juta ton diekspor senilai US$ 3,7 miliar.

Kinerja industri kertas yang kurang begitu 'kinclong' itu salah satunya disebabkan oleh pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) untuk semua produk hasil hutan.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Pranata mengatakan, kapasitas terpasang industri kertas nasional mencapai 12,98 juta ton pada 2013 dan sempat menjadi 13,40 juta ton pada 2014. Untuk tahun ini, kapasitas terpasang industri tersebut tidak mengalami peningkatan atau cenderung stagnan. “Pada 2016, kapasitas terpasang baru akan bertambah dari hasil realisasi investasi berjalan, termasuk di Sumatera Selatan. Produksi tahun ini, kami kira masih bisa menyentuh 11 juta ton, harapannya begitu. Itu semua karena saat ini ada aturan soal SVLK, jadi industri kertas agak terganggu," kata Pranata usai rapat koordinasi Kemenperin tentang industri agro di Jakarta, pekan lalu.

Pranata mengatakan, aturan SVLK maupun pemberlakuan deklarasi ekspor (DE) menyebabkan gangguan pada kinerja industri kertas nasional, terutama dari sisi ekspor. Apalagi, aturan tersebut juga berlaku untuk produksi kertas yang menggunakan kertas bekas (waste paper) sebagai bahan baku. "Karena prosesnya harus ada inspeksi dan itu membutuhkan waktu jeda, jadi agak terganggu. Semoga saja tahun ini bisa naik," kata Pranata.

Padahal, lanjut Pranata, Kemenperin menargetkan peningkatan penggunaan waste paper sebagai bahan baku industri kertas. Karena itu, Kemenperin melalui dinas perindustrian di daerah ikut menggerakkan kegiatan pemisahan sampah kertas dari sampah lainnya, sehingga bisa dimanfaatkan industri. Kemenperin telah memberikan bantuan mesin ke Jawa Barat untuk pengolahan kertas sampah. "Targetnya sebanyak 60% dari produksi kertas nasional itu diserap pasar dalam negeri. Nah, 75% di antaranya bisa menjadi waste paper yang masih bisa dimanfaatkan industri. Artinya, ada sekitat 4,5 juta ton kebutuhan bahan baku berupa waste paper dipasok lokal. Jadi, bisa memangkas impor waste paper," kata Pranata.

Menurut Pranata, saat ini sebanyak 50% bahan baku industri kertas menggunakan waste paper. Dengan kebutuhan sekitar 7 juta ton, sekitar 4,5 juta ton di antaranya berasal dari pasar impor. "Untuk itu, kami pun mendorong penggunaan bahan baku lain. Seperti yang sudah dilakukan penelitiannya di Malaysia berupa kertas berbahan baku kayu kelapa sawit. Kalau bisa diterapkan, industri kertas bisa sinergi dengan sektor kelapa sawit," kata Pranata.

Dalam kesempatan itu, Pranata mengatakan, pengembangan industri bubur kertas (pulp) dan kertas di Tanah Air diharapkan terus meningkat dengan adanya dukungan ketersediaan bahan baku. Untuk itu, Kemenperin mengharapkan moratorium (penghentian sementara) perizinan di atas hutan alam (termasuk untuk hutan tanaman industri/HTI) tidak lagi diperpanjang. “Diharapkan moratorium itu tidak diperpanjang dalam rangka mendukung investasi baru pulp dan kertas," kata Pranata.

Direktur Ekesekutif Asosiasi Industri Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida menambahkan, regulasi pemerintah yang tidak kondusif dan belum disusun secara transparan menjadi tantangan bagi sektor pulp dan kertas nasional. Apalagi, waktu pemberlakuan aturan tersebut sangat singkat sehingga belum sempat disosialisasikan kepada pihak terkait. Hal itu memungkinkan perusahaan di sektor pulp dan kertas gulung tikar atau tutup. Khusus di hulu, saat ini juga terkendala masalah pengangkutan sehingga perlu adanya perbaikan infrastruktur.

“Perbaikan infrastruktur membuat pengangkutan lebih lancar dan tidak memakan biaya tinggi. Kendala lain adalah ketersediaan waste paper untuk bahan baku. Pemerintah masih mengklasifikasikan kertas bekas sebagai limbah non B3 yang diinspeksi secara ketat. Padahal, kertas bekas itu sendiri mempunya nilai jual yang cukup tinggi," kata Liana

Illegal logging adalah penebangan hutan secara liar (ilegal). Penebangan hutan secara liar dan sembarang biasanya tidak memerhatikan dampak kerusakan lingkungan. Hutan dapat memanfaatkan karbon dioksida di atmosfer untuk fotosintesis. Dengan begitu, kandungan karbon dioksida akan terkendali. Jika hutan makin berkurang, maka kandungan karbon dioksida di atmosfer akan meningkat. Meningkatnya kandungan karbon dioksida dapat berpengaruh pada efek rumah kaca, sebagai penyebab pemanasan global.

Dengan demikian, pilihan jawaban yang tepat adalah B.

koran.bisnis.com, JAKARTA — Harga kertas yang terus menanjak memberatkan industri pengguna kertas di dalam negeri. Ketua Ketua Dewan Per timbangan Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) Jimmy Juneanto mengatakan harga kertas naik 4%—5% pada awal April. Kenaikan tersebut ber dampak signfi kan pada akti vi tas pro duksi perusahaan percetakan yang 50%—60% biaya produksinya tersita untuk peng ada an kertas sebagai bahan baku utama. “Dampaknya beragam. Untuk undangan, misalnya, biaya pro duk si lainnya lebih besar. Na mun, bagi yang mencetak digi tal seperti buku pelajaran kenaikan 5% sangat terasa,” kata nya kepada Bisnis, Selasa (4/4). Jimmy mengaku tidak tahu secara pasti alasan harga ker tas naik tajam setelah cende rung stabil dalam periode yang panjang. Namun, dia memperkirakan kenaikan pada awal April ber kaitan dengan antisipasi per min taan tinggi pada awal tahun pelajaran. Perusahaan percetakan biasa nya mulai meningkatkan produk si pada Mei untuk mengejar pesanan pencetakan buku pelajaran sekolah yang permintaannya memuncak pada Juli. “Saya rasa ada antisipasi agar keuntungan mereka se ma kin besar. Ada juga permasalahan di India . Beberapa pabrik kertas kesulitan air, tetapi dampaknya apa sampai Indonesia,” kata Jimmy. TAMBAH BEBAN Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers, Ahmad Djauhar, mengatakan harga kertas yang di gunakan oleh industri media cetak sudah naik tiga kali dalam se tahun terakhir dengan besar ke naik an kumulatif mencapai 6,2%. Tekanan kenaikan harga kertas menambah beban perusahaan percetakan yang sudah terbebani oleh kenaikan upah minimum dan harga listrik yang sudah naik 8%—10%. “Beban untuk membuat produk yang mencerdaskan bangsa ini, praktis sama sekali tidak ada dukungan atau bantuan dari pemerintah,” kata Djauhar. Djauhar menilai tata niaga pulp dan kertas jus tru memberat kan industri peng guna kertas domestik. Dia memaparkan harga kertas yang dipasok ke produsen di Tanah Air terus menanjak, terutama setiap nilai tukar rupiah berfl uktuasi. Di sisi lain, produsen pulp dan kertas dalam negeri menjual kertas pada harga yang sangat murah kepada produsen pengguna kertas di China. “Kenapa produsen kertas nasional ngasih harga bagus ke China. Mungkin permintaan mereka tinggi, tetapi ini berarti mereka memperoleh subsidi,” kata Djauhar. Selisih harga kertas, lan jutnya, membuat beberapa perusahaan penerbitan memilih mengorder ke percetakan di China daripada menggunakan jasa percetakan lokal. Djauhar mengungkapkan sebuah perusahaan pernah men cetak buku di harga US$2 per unit atau sekitar Rp26.000, padahal ongkos cetak buku berkualitas serupa di percetakan lokal berkisar Rp50.000—Rp75.000. “Kertasnya padahal dari Indonesia. Kenapa yang justru menderita perusahaan grafi ka di Indonesia, negara yang merupakan salah satu produsen kertas terbesar dunia. Harus diatur skema agar iklim usahanya seimbang,” katanya. Djauhar menyarankan pemerintah menerapkan bea keluar agar industri pengguna kertas di China merasakan beban yang setara dengan industri pengguna kertas di Indonesia. Sementara itu, Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) Ariana Susanti mengatakan harga bahan baku kertas yang digunakan oleh industri pengemasan sudah naik nyaris 27% sejak awal 2017. Industri pengemasan, jelasnya, menggunakan kertas jenis corrugated atau kertas karton sebagai material kemasan utama atau pelengkap plastik. Kertas berkontribusi sekitar 30% dari total bahan baku yang digunakan oleh produsen kemasan. “Alasannya adalah pengurangan suplai dari China. Isu lingkungan membuat pro duk si kertas China merosot. Perusahaan perdagangan internasional jadi menaikkan harga

jual,” kata Ariana.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA