Raja Persia yang mengangkat diri sendiri pada peradaban ybs

sumber sejarah perang diponegoro​

dampak dari preman pensiun episode 6 adalah ​

Tolong di bantu ya..besok di kumpulkan

Mengapa infak sangat dianjurkan dalam islam ?Tolong bantu jawab ya

Perisai yang ditambahkan oleh satu elemen struktur atap pada rumah panggung adalah ... A. Srondoyan B. Kaso C. Jurai D. reng

jelaskan proses bergabungnya kerajaan perlak dan samudra pasai​

11. Keadaan sosial ekonomi masyarakat Arab sangat dipengaruhi oleh kondisi dan letak geografisnya. Bagian tengah Jazirah Arab terdiri dari tanah pegun … ungan yang tandus. Oleh sebab itu, menjadikan masyarakat dengan mata pencahariannya beternak. Dengan kondisi geografis yang demikian, membentuk pola hidup masyarakat yang .... a. nomaden (hidupnya tidak me-netap atau berpindah-pindah) b. berhuma (hidupnya menetap) c. teratur dari segi sosial d. modern e. makmur dan kaya​

tokoh yang menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah adalah...a. Harun ar-Rasyid b. Abu Abbas as-Saffah c. Abu Ja'far al-Mansurd. Al Mahdi​

Diketahui A = {0, 1, 2, 3, 4, 5). Jika Adinyatakan dengan kata-kata adalah....a. bilangan asli kurang dari 10b.bilangan cacah kurang dari 5c. bilangan … cacah kurang dari 6d. bilangan asli kurang dari tolong ya pliis besok mau dikumpulkan ​

siapa penemu mesin uap??tolong bantu cepat trimss..​

Kekaisaran Persia Akhaimenia
Parsā
 

 

 


sek. 550 SM–336 SM


Lambang Koresh Luhur

Wilayah terluas Kekaisaran Akhaimenia di bawah Darius I.

Ibu kotaPasargadae, Ekbatana, Persepolis, Susa, Babilon
BahasaBahasa Persia Lama (bahasa asli)
bahasa Aram Imperial (Bahasa resmi dan lingua franca)[1]
bahasa Elam
bahasa Akakdia[2]
AgamaZoroastrianisme
PemerintahanMonarki
Syah 
 - 559–529 SM (pertama)Koresh Luhur
 - 336–330 SM (terakhir)Darius III
Era sejarahKuno
 - Dibangun550 SM (Koresh Luhur menggulingkan Astages dari Media)
 - Pembangunan dimulai di Persepolis515 SM
 - Penaklukan Mesir oleh Kambises II525 SM
 - Perang Yunani-Persia498–448 SM
 - Penaklukan ulang Mesir oleh Artaxerxes III343SM
 - Ditaklukkan pada Perang Aleksander Luhur336 SM (Aleksander Luhur menaklukkan Persia)
 - Darius III dibunuh oleh Bessos330 SM
Luas
 - 480 SM8.000.000 km² (3.088.817 mil²)
Mata uangDarik dan Siglos
Kini bidang dari

Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah /əˈkmənɪd/; bahasa Persia Lama: Parsā, nama dinasti yang berkuasa: Haxāmanišiya) (sek. 550–330 SM), dikenal pula sebagai Kekaisaran Persia Pertama, adalah kekaisaran Persia (Iran) di Asia Selatan dan Barat Daya yang dibangun pada zaman ke-6 SM oleh Koresh Luhur, yang menggulingkan konfederasi Medes. Kekaisaran ini meluas hingga pada akhir-akhirnya menguasai wilayah yang amat akbar di dunia kuno dan pada tahun 500 SM membentang dari Lembah Indus di timur, hingga ke Thrakia dan Makedonia di perbatasan timur laut Yunani. Tidak berada kekaisaran lain sebelum masa itu yang lebih akbar daripada Kekaisaran Akhaimenia.[4] Kekaisaran Akhaimenia pada akhir-akhirnya menguasai Mesir juga. Kekaisaran ini dipimpin oleh serangkaian raja yang menyatukan suku-suku dan bangsa-bangsanya yang terpisah-pisah dengan mendirikan jaringan jalan yang melilit.

Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada akhir-akhirnya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan untuk penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil.

Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas lebih kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, beberapa Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, beberapa akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno hingga ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6]

Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat luas dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada akhir-akhirnya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada akhir-akhirnya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus menghentikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, mudah untuk dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada akhir-akhirnya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran sekitar tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap berkembang dan pada akhir-akhirnya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4]

Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme hingga ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran luas ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani untuk turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara keseluruhan dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia lebih dari 3000 tahun dan memiliki panjang lebih dari 44 mil (71 km.)[13]

Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa sekitar 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau sekitar 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan jumlah penduduk paling banyak.[16]

Asal usul

Nama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]

Bangsa Persia terdiri atas sejumlah suku seperti terdaftar di sini. [...]: suku Pasargadai, Maraphii, dan Maspii, kepada mereka semua suku lainnya bergantung, Pasargadai adalah yang paling terkemuka; mereka memiliki klan Akhaimenid yang melahirkan raja-raja Perseid. Suku-suku lainnya adalah Panthialaei, Derusiaei, Germanii, kesemuanya hidup menetap, sisanya -Dai, Mardi, Dropici, Sagarti, merupakan suku nomaden.

Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia bidang dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu sekitar tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal.

Perluasan

Pada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, beberapa Yunani, Libya, bidang utara Jazirah Arab serta India barat laut.

Perang Yunani-Persia

Setelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi untuk menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah untuk meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, baik dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu akhir-akhirnya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana untuk memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih untuk menghasut negara-negara kota Ionia untuk memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia untuk memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga diikuti oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia.

Konflik tersebut berlanjut hingga tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang lebih akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum akhir-akhirnya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat untuk kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang.

Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada akhir-akhirnya dapat melanjutkan invasi.

Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada akhir-akhirnya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur beberapa akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia.

Fase kebudayaan

Xerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut.

Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia.

Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk untuk menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada akhir-akhirnya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius untuk menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak.

Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis turut campur sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan untuk melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes akhir-akhirnya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang akhir-akhirnya dengan kematian Koresh.

Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama sekitar 45 tahun, hingga tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes.

Keruntuhan

Artaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, untuk mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai bidang dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena karena yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena karena alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22]

Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Lebih jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya.

Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung.

Agama

Kuil, walaupun berfungsi untuk tujuan keagamaan, namun berguna juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23]

Daftar raja wangsa Akhemeniyah

Belum terbukti

  • Akhaimenes atau Akhemenes (leluhur wangsa Akhemeniyah)
Bukti epigrafi raja-raja ini tidak dapat dipastikan dan dianggap rekaan raja Darius I
  • Ariaramnes, putra Teispes dan memerintah bersama Koresh I (Cyrus I).
  • Arsames, putra Ariaramnes dan memerintah bersama Kambises I

Sudah terbukti

Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.

Keterangan

  1. ^ Pada dua masa tidak sama, Persia menguasai Mesir walaupun dua kali Mesir sukses meraih kemerdekaan sementara dari Persia. Setelah praktik Manetho, Sejarawan Mesir menyebut periode kekuasaan Persia di Mesir sebagai dinasti kedua puluh tujuh Mesir, berlanjut pada tahun 525–404 SM, hingag kematian II, dan dinasti ketiga puluh satu Mesir, berlanjut pada tahun 343–332 SM, yang dimulai setelah Nektanebo II dikalahkan oleh Artaxerxes III.

Catatan kaki

  1. ^ Josef Wiesehöfer, Ancient Persia, (I.B. Tauris Ltd, 2007), 119.
  2. ^ Harald Kittel, Juliane House, Brigitte Schultze (2007). Traduction: encyclopédie internationale de la recherche sur la traduction. Walter de Gruyter. hlm. 1194–5. ISBN 978-3-11-017145-7. 
  3. ^ Security and Territoriality in the Persian Gulf: A Maritime Political Geography by Pirouz Mojtahed-Zadeh, page 119
  4. ^ a b c d e f David Sacks, Oswyn Murray, Lisa R. Brody (2005). Encyclopedia of the ancient Greek world. Infobase Publishing. hlm. 256 (at the right portion of the page). ISBN 978-0-8160-5722-1. 
  5. ^ Aedeen Cremin (2007). Archaeologica: The World's Most Significant Sites and Cultural Treasures. Global Book Publishing Pty Ltd. hlm. 224. ISBN 978-0-7112-2822-1. 
  6. ^ Schmitt Achaemenid dynasty (i. The clan and dynasty)
  7. ^ Pierre Briant (2006). From Cyrus to Alexander: A History of the Persian Empire. Eisenbrauns. hlm. 1–3. ISBN 978-1-57506-120-7. 
  8. ^ Ulrich Wilcken (1967). Alexander the Great. W. W. Norton & Company. hlm. 146. ISBN 978-0-393-00381-9. 
  9. ^ Margaret Christina Miller (2004). Athens and Persia in the Fifth Century B.C.: A Study in Cultural Receptivity. Cambridge University Press. hlm. 243. ISBN 978-0-521-60758-2. 
  10. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 11
  11. ^ Plutarch, Alexander, 45
  12. ^ Vesta Sarkhosh Curtis, Sarah Stewart (2005). Birth of the Persian Empire. I.B.Tauris. hlm. 7. ISBN 978-1-84511-062-8. 
  13. ^ p. 4 of Mays, L. (30 August 2010). Ancient Water Technologies. Springer. ISBN 978-90-481-8631-0. 
  14. ^ Yarshater (1996, p. 47)
  15. ^ While estimates for the Achaemenid Empire range from 10-80+ million, most prefer 50 million. Prevas (2009, p. 14) estimates 10 million. Strauss (2004, p. 37) estimates about 20 million. Ward (2009, p. 16) estimates at 20 million. Scheidel (2009, p. 99) estimates 35 million. Daniel (2001, p. 41) estimates at 50 million. Meyer and Andreades (2004, p. 58) estimates to 50 million. Jones (2004, p. 8) estimates over 50 million. Richard (2008, p. 34) estimates nearly 70 million. Hanson (2001, p. 32) estimates almost 75 million. Cowley (1999 and 2001, p. 17) estimates possibly 80 million.
  16. ^ See //www.census.gov/population/international/data/idb/worldhis.php
  17. ^ a b Jamie Stokes (2009). Encyclopedia of the Peoples of Africa and the Middle East, Volume 1. Infobase Publishing. hlm. 2–3. ISBN 978-0-8160-7158-6. 
  18. ^ Herodotos, Historia 1.101 & 125
  19. ^ Mallory, J.P. (1989), In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology, and Myth, London: Thames & Hudson.
  20. ^ Willis Mason West (1904). The ancient world from the earliest times to 800 A.D.. Allyn and Bacon. hlm. 137. 
  21. ^ Hoschander, Jacob. "The Book of Esther in the Light of History: Chapter IV", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 10, No. 1 (Jul., 1919), pp. 87–88
  22. ^ Chr. Walker, "Achaemenid Chronology and the Babylonian Sources," in: John Curtis (ed.), Mesopotamia and Iran in the Persian Period: Conquest and Imperialism, 539-331 B.C. (London 1997), page 22.
  23. ^ Dandamaev & Lukonin, 1989:361–362


Sumber :
id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.

Page 2

Kekaisaran Persia Akhaimenia
Parsā
 

 

 


sek. 550 SM–336 SM


Lambang Koresh Luhur

Wilayah terluas Kekaisaran Akhaimenia di bawah Darius I.

Ibu kotaPasargadae, Ekbatana, Persepolis, Susa, Babilon
BahasaBahasa Persia Lama (bahasa asli)
bahasa Aram Imperial (Bahasa resmi dan lingua franca)[1]
bahasa Elam
bahasa Akakdia[2]
AgamaZoroastrianisme
PemerintahanMonarki
Syah 
 - 559–529 SM (pertama)Koresh Luhur
 - 336–330 SM (terakhir)Darius III
Era sejarahKuno
 - Dibangun550 SM (Koresh Luhur menggulingkan Astages dari Media)
 - Pembangunan dimulai di Persepolis515 SM
 - Penaklukan Mesir oleh Kambises II525 SM
 - Perang Yunani-Persia498–448 SM
 - Penaklukan ulang Mesir oleh Artaxerxes III343SM
 - Ditaklukkan pada Perang Aleksander Luhur336 SM (Aleksander Luhur menaklukkan Persia)
 - Darius III dibunuh oleh Bessos330 SM
Lapang
 - 480 SM8.000.000 km² (3.088.817 mil²)
Mata uangDarik dan Siglos
Kini segi dari

Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah /əˈkmənɪd/; bahasa Persia Lama: Parsā, nama dinasti yang berkuasa: Haxāmanišiya) (sek. 550–330 SM), diketahui pula sebagai Kekaisaran Persia Pertama, adalah kekaisaran Persia (Iran) di Asia Selatan dan Barat Daya yang dibangun pada zaman ke-6 SM oleh Koresh Luhur, yang menggulingkan konfederasi Medes. Kekaisaran ini bertambah lapang sampai pada yang belakang sekalinya menguasai wilayah yang amat akbar di dunia kuno dan pada tahun 500 SM membentang dari Lembah Indus di timur, sampai ke Thrakia dan Makedonia di perbatasan timur laut Yunani. Tidak berada kekaisaran lain sebelum masa itu yang bertambah akbar daripada Kekaisaran Akhaimenia.[4] Kekaisaran Akhaimenia pada yang belakang sekalinya menguasai Mesir juga. Kekaisaran ini dipimpin oleh serangkaian raja yang menyatukan suku-suku dan bangsa-bangsanya yang terpisah-pisah dengan mendirikan jaringan jalan yang melilit.

Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil.

Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas bertambah kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, beberapa Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, beberapa akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6]

Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat lapang dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus membubarkan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, gampang bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran bertambah kurang tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4]

Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran lapang ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia bertambah dari 3000 tahun dan memiliki panjang bertambah dari 44 mil (71 km.)[13]

Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa bertambah kurang 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau bertambah kurang 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan banyak penduduk paling banyak.[16]

Asal usul

Nama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]

Bangsa Persia terdiri atas sejumlah suku seperti terdaftar di sini. [...]: suku Pasargadai, Maraphii, dan Maspii, kepada mereka semua suku lainnya bergantung, Pasargadai adalah yang paling terkemuka; mereka memiliki klan Akhaimenid yang melahirkan raja-raja Perseid. Suku-suku lainnya adalah Panthialaei, Derusiaei, Germanii, kesemuanya hidup menetap, sisanya -Dai, Mardi, Dropici, Sagarti, merupakan suku nomaden.

Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu bertambah kurang tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal.

Perluasan

Pada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, beberapa Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut.

Perang Yunani-Persia

Setelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu yang belakang sekalinya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia.

Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang bertambah akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang.

Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya dapat melanjutkan invasi.

Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur beberapa akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia.

Fase kebudayaan

Xerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut.

Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia.

Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak.

Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang yang belakang sekalinya dengan kematian Koresh.

Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama bertambah kurang 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes.

Keruntuhan

Artaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22]

Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Bertambah jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya.

Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung.

Agama

Kuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23]

Daftar raja wangsa Akhemeniyah

Belum terbukti

  • Akhaimenes atau Akhemenes (leluhur wangsa Akhemeniyah)
Bukti epigrafi raja-raja ini tidak dapat dipastikan dan dianggap rekaan raja Darius I
  • Ariaramnes, putra Teispes dan memerintah bersama Koresh I (Cyrus I).
  • Arsames, putra Ariaramnes dan memerintah bersama Kambises I

Sudah terbukti

Raja-raja AnshanRajaMemerintah (SM)PermaisuriKeterangan
Teispeszaman ke-7 putra Akhemenes, raja Anshan
Koresh IYang belakang sekali zaman ke-7/awal zaman ke-6 putra Teispes, raja Anshan
Cambyses Iawal zaman ke-6Mandana dari Mediaputra KoreshI, raja Anshan
Koresh II~550-530Kassandane dari Persiaputra Kambises I dan Mandana – menguasai Media 550 SM; raja Media, Babilonia, Lydia, Persia, Anshan, dan Sumeria. Mendirikan Kekaisaran Persia Akhemeniyah.

Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.

Raja-raja Persia (358–330 SM); Dinasi ke-31 Mesir (342–332 SM)RajaMemerintah (SM)PermaisuriKeterangan
Artaxerxes III Ochus358-338 putra Artaxerxes II dan Stateira
Artaxerxes IV Arses338-336 putra Artaxerxes III dan Atossa
Darius III dari Persia336-330Stateira Icicit Darius II
dikalahkan oleh Alexander Luhur

Keterangan

  1. ^ Pada dua masa tidak sama, Persia menguasai Mesir walaupun dua kali Mesir sukses meraih kemerdekaan sementara dari Persia. Setelah praktik Manetho, Sejarawan Mesir menyebut periode kekuasaan Persia di Mesir sebagai dinasti kedua puluh tujuh Mesir, berlanjut pada tahun 525–404 SM, hingag kematian II, dan dinasti ketiga puluh satu Mesir, berlanjut pada tahun 343–332 SM, yang dimulai setelah Nektanebo II dikalahkan oleh Artaxerxes III.

Catatan kaki

  1. ^ Josef Wiesehöfer, Ancient Persia, (I.B. Tauris Ltd, 2007), 119.
  2. ^ Harald Kittel, Juliane House, Brigitte Schultze (2007). Traduction: encyclopédie internationale de la recherche sur la traduction. Walter de Gruyter. hlm. 1194–5. ISBN 978-3-11-017145-7. 
  3. ^ Security and Territoriality in the Persian Gulf: A Maritime Political Geography by Pirouz Mojtahed-Zadeh, page 119
  4. ^ a b c d e f David Sacks, Oswyn Murray, Lisa R. Brody (2005). Encyclopedia of the ancient Greek world. Infobase Publishing. hlm. 256 (at the right portion of the page). ISBN 978-0-8160-5722-1. 
  5. ^ Aedeen Cremin (2007). Archaeologica: The World's Most Significant Sites and Cultural Treasures. Global Book Publishing Pty Ltd. hlm. 224. ISBN 978-0-7112-2822-1. 
  6. ^ Schmitt Achaemenid dynasty (i. The clan and dynasty)
  7. ^ Pierre Briant (2006). From Cyrus to Alexander: A History of the Persian Empire. Eisenbrauns. hlm. 1–3. ISBN 978-1-57506-120-7. 
  8. ^ Ulrich Wilcken (1967). Alexander the Great. W. W. Norton & Company. hlm. 146. ISBN 978-0-393-00381-9. 
  9. ^ Margaret Christina Miller (2004). Athens and Persia in the Fifth Century B.C.: A Study in Cultural Receptivity. Cambridge University Press. hlm. 243. ISBN 978-0-521-60758-2. 
  10. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 11
  11. ^ Plutarch, Alexander, 45
  12. ^ Vesta Sarkhosh Curtis, Sarah Stewart (2005). Birth of the Persian Empire. I.B.Tauris. hlm. 7. ISBN 978-1-84511-062-8. 
  13. ^ p. 4 of Mays, L. (30 August 2010). Ancient Water Technologies. Springer. ISBN 978-90-481-8631-0. 
  14. ^ Yarshater (1996, p. 47)
  15. ^ While estimates for the Achaemenid Empire range from 10-80+ million, most prefer 50 million. Prevas (2009, p. 14) estimates 10 million. Strauss (2004, p. 37) estimates about 20 million. Ward (2009, p. 16) estimates at 20 million. Scheidel (2009, p. 99) estimates 35 million. Daniel (2001, p. 41) estimates at 50 million. Meyer and Andreades (2004, p. 58) estimates to 50 million. Jones (2004, p. 8) estimates over 50 million. Richard (2008, p. 34) estimates nearly 70 million. Hanson (2001, p. 32) estimates almost 75 million. Cowley (1999 and 2001, p. 17) estimates possibly 80 million.
  16. ^ See //www.census.gov/population/international/data/idb/worldhis.php
  17. ^ a b Jamie Stokes (2009). Encyclopedia of the Peoples of Africa and the Middle East, Volume 1. Infobase Publishing. hlm. 2–3. ISBN 978-0-8160-7158-6. 
  18. ^ Herodotos, Historia 1.101 & 125
  19. ^ Mallory, J.P. (1989), In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology, and Myth, London: Thames & Hudson.
  20. ^ Willis Mason West (1904). The ancient world from the earliest times to 800 A.D.. Allyn and Bacon. hlm. 137. 
  21. ^ Hoschander, Jacob. "The Book of Esther in the Light of History: Chapter IV", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 10, No. 1 (Jul., 1919), pp. 87–88
  22. ^ Chr. Walker, "Achaemenid Chronology and the Babylonian Sources," in: John Curtis (ed.), Mesopotamia and Iran in the Persian Period: Conquest and Imperialism, 539-331 B.C. (London 1997), page 22.
  23. ^ Dandamaev & Lukonin, 1989:361–362


Sumber :
id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.

Page 3

Kekaisaran Persia Akhaimenia
Parsā
 

 

 


sek. 550 SM–336 SM


Lambang Koresh Luhur

Wilayah terluas Kekaisaran Akhaimenia di bawah Darius I.

Ibu kotaPasargadae, Ekbatana, Persepolis, Susa, Babilon
BahasaBahasa Persia Lama (bahasa asli)
bahasa Aram Imperial (Bahasa resmi dan lingua franca)[1]
bahasa Elam
bahasa Akakdia[2]
AgamaZoroastrianisme
PemerintahanMonarki
Syah 
 - 559–529 SM (pertama)Koresh Luhur
 - 336–330 SM (terakhir)Darius III
Era sejarahKuno
 - Dibangun550 SM (Koresh Luhur menggulingkan Astages dari Media)
 - Pembangunan dimulai di Persepolis515 SM
 - Penaklukan Mesir oleh Kambises II525 SM
 - Perang Yunani-Persia498–448 SM
 - Penaklukan ulang Mesir oleh Artaxerxes III343SM
 - Ditaklukkan pada Perang Aleksander Luhur336 SM (Aleksander Luhur menaklukkan Persia)
 - Darius III dibunuh oleh Bessos330 SM
Luas
 - 480 SM8.000.000 km² (3.088.817 mil²)
Mata uangDarik dan Siglos
Kini segi dari

Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah /əˈkmənɪd/; bahasa Persia Lama: Parsā, nama dinasti yang berkuasa: Haxāmanišiya) (sek. 550–330 SM), diketahui pula sebagai Kekaisaran Persia Pertama, adalah kekaisaran Persia (Iran) di Asia Selatan dan Barat Daya yang dibangun pada zaman ke-6 SM oleh Koresh Luhur, yang menggulingkan konfederasi Medes. Kekaisaran ini meluas sampai pada yang belakang sekalinya menguasai wilayah yang amat akbar di dunia kuno dan pada tahun 500 SM membentang dari Lembah Indus di timur, sampai ke Thrakia dan Makedonia di perbatasan timur laut Yunani. Tidak berada kekaisaran lain sebelum masa itu yang lebih akbar daripada Kekaisaran Akhaimenia.[4] Kekaisaran Akhaimenia pada yang belakang sekalinya menguasai Mesir juga. Kekaisaran ini dipimpin oleh serangkaian raja yang menyatukan suku-suku dan bangsa-bangsanya yang terpisah-pisah dengan mendirikan jaringan jalan yang melilit.

Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang bermula dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil.

Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas lebih kurang 8 juta kilometer2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, sebagian Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, sebagian akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan harus militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6]

Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat luas dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus menghentikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, mudah bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran sekitar tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4]

Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran luas ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia lebih dari 3000 tahun dan memiliki panjang lebih dari 44 mil (71 km.)[13]

Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa sekitar 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau sekitar 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan jumlah penduduk paling banyak.[16]

Asal usul

Nama Persia bermula dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, berdasarkan naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]

Bangsa Persia terdiri atas sejumlah suku seperti terdaftar di sini. [...]: suku Pasargadai, Maraphii, dan Maspii, kepada mereka semua suku lainnya bergantung, Pasargadai adalah yang paling terkemuka; mereka memiliki klan Akhaimenid yang melahirkan raja-raja Perseid. Suku-suku lainnya adalah Panthialaei, Derusiaei, Germanii, kesemuanya hidup menetap, sisanya -Dai, Mardi, Dropici, Sagarti, merupakan suku nomaden.

Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, adalah bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awal mulanya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu sekitar tahun 1000 SM[19] dan pada awal mulanya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal.

Perluasan

Pada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, sebagian Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut.

Perang Yunani-Persia

Setelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu yang belakang sekalinya dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari jabatan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. karena itu terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia.

Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang lebih akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia mendapatkan beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang.

Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya dapat melanjutkan invasi.

Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur sebagian akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia.

Fase kebudayaan

Xerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut.

Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia.

Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang bermula dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak.

Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan jabatan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang yang belakang sekalinya dengan kematian Koresh.

Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama sekitar 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia merasakan kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes.

Keruntuhan

Artaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22]

Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Lebih jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya.

Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung.

Agama

Kuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil harus, adalah bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23]

Daftar raja wangsa Akhemeniyah

Belum terbukti

  • Akhaimenes atau Akhemenes (leluhur wangsa Akhemeniyah)
Bukti epigrafi raja-raja ini tidak dapat dipastikan dan dianggap rekaan raja Darius I
  • Ariaramnes, putra Teispes dan memerintah bersama Koresh I (Cyrus I).
  • Arsames, putra Ariaramnes dan memerintah bersama Kambises I

Sudah terbukti

Raja-raja AnshanRajaMemerintah (SM)PermaisuriKeterangan
Teispeszaman ke-7 putra Akhemenes, raja Anshan
Koresh IYang belakang sekali zaman ke-7/awal zaman ke-6 putra Teispes, raja Anshan
Cambyses Iawal zaman ke-6Mandana dari Mediaputra KoreshI, raja Anshan
Koresh II~550-530Kassandane dari Persiaputra Kambises I dan Mandana – menguasai Media 550 SM; raja Media, Babilonia, Lydia, Persia, Anshan, dan Sumeria. Mendirikan Kekaisaran Persia Akhemeniyah.

Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka mendapatkan kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.

Raja-raja Persia (358–330 SM); Dinasi ke-31 Mesir (342–332 SM)RajaMemerintah (SM)PermaisuriKeterangan
Artaxerxes III Ochus358-338 putra Artaxerxes II dan Stateira
Artaxerxes IV Arses338-336 putra Artaxerxes III dan Atossa
Darius III dari Persia336-330Stateira Icicit Darius II
dikalahkan oleh Alexander Luhur

Keterangan

  1. ^ Pada dua masa tidak sama, Persia menguasai Mesir walaupun dua kali Mesir sukses meraih kemerdekaan sementara dari Persia. Setelah praktik Manetho, Sejarawan Mesir menyebut periode kekuasaan Persia di Mesir sebagai dinasti kedua puluh tujuh Mesir, berlanjut pada tahun 525–404 SM, hingag kematian II, dan dinasti ketiga puluh satu Mesir, berlanjut pada tahun 343–332 SM, yang dimulai setelah Nektanebo II dikalahkan oleh Artaxerxes III.

Catatan kaki

  1. ^ Josef Wiesehöfer, Ancient Persia, (I.B. Tauris Ltd, 2007), 119.
  2. ^ Harald Kittel, Juliane House, Brigitte Schultze (2007). Traduction: encyclopédie internationale de la recherche sur la traduction. Walter de Gruyter. hlm. 1194–5. ISBN 978-3-11-017145-7. 
  3. ^ Security and Territoriality in the Persian Gulf: A Maritime Political Geography by Pirouz Mojtahed-Zadeh, page 119
  4. ^ a b c d e f David Sacks, Oswyn Murray, Lisa R. Brody (2005). Encyclopedia of the ancient Greek world. Infobase Publishing. hlm. 256 (at the right portion of the page). ISBN 978-0-8160-5722-1. 
  5. ^ Aedeen Cremin (2007). Archaeologica: The World's Most Significant Sites and Cultural Treasures. Global Book Publishing Pty Ltd. hlm. 224. ISBN 978-0-7112-2822-1. 
  6. ^ Schmitt Achaemenid dynasty (i. The clan and dynasty)
  7. ^ Pierre Briant (2006). From Cyrus to Alexander: A History of the Persian Empire. Eisenbrauns. hlm. 1–3. ISBN 978-1-57506-120-7. 
  8. ^ Ulrich Wilcken (1967). Alexander the Great. W. W. Norton & Company. hlm. 146. ISBN 978-0-393-00381-9. 
  9. ^ Margaret Christina Miller (2004). Athens and Persia in the Fifth Century B.C.: A Study in Cultural Receptivity. Cambridge University Press. hlm. 243. ISBN 978-0-521-60758-2. 
  10. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 11
  11. ^ Plutarch, Alexander, 45
  12. ^ Vesta Sarkhosh Curtis, Sarah Stewart (2005). Birth of the Persian Empire. I.B.Tauris. hlm. 7. ISBN 978-1-84511-062-8. 
  13. ^ p. 4 of Mays, L. (30 August 2010). Ancient Water Technologies. Springer. ISBN 978-90-481-8631-0. 
  14. ^ Yarshater (1996, p. 47)
  15. ^ While estimates for the Achaemenid Empire range from 10-80+ million, most prefer 50 million. Prevas (2009, p. 14) estimates 10 million. Strauss (2004, p. 37) estimates about 20 million. Ward (2009, p. 16) estimates at 20 million. Scheidel (2009, p. 99) estimates 35 million. Daniel (2001, p. 41) estimates at 50 million. Meyer and Andreades (2004, p. 58) estimates to 50 million. Jones (2004, p. 8) estimates over 50 million. Richard (2008, p. 34) estimates nearly 70 million. Hanson (2001, p. 32) estimates almost 75 million. Cowley (1999 and 2001, p. 17) estimates possibly 80 million.
  16. ^ See //www.census.gov/population/international/data/idb/worldhis.php
  17. ^ a b Jamie Stokes (2009). Encyclopedia of the Peoples of Africa and the Middle East, Volume 1. Infobase Publishing. hlm. 2–3. ISBN 978-0-8160-7158-6. 
  18. ^ Herodotos, Historia 1.101 & 125
  19. ^ Mallory, J.P. (1989), In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology, and Myth, London: Thames & Hudson.
  20. ^ Willis Mason West (1904). The ancient world from the earliest times to 800 A.D.. Allyn and Bacon. hlm. 137. 
  21. ^ Hoschander, Jacob. "The Book of Esther in the Light of History: Chapter IV", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 10, No. 1 (Jul., 1919), pp. 87–88
  22. ^ Chr. Walker, "Achaemenid Chronology and the Babylonian Sources," in: John Curtis (ed.), Mesopotamia and Iran in the Persian Period: Conquest and Imperialism, 539-331 B.C. (London 1997), page 22.
  23. ^ Dandamaev & Lukonin, 1989:361–362


Sumber :
id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.

Page 4

Kekaisaran Persia Akhaimenia
Parsā
 

 

 


sek. 550 SM–336 SM


Lambang Koresh Luhur

Wilayah terluas Kekaisaran Akhaimenia di bawah Darius I.

Ibu kotaPasargadae, Ekbatana, Persepolis, Susa, Babilon
BahasaBahasa Persia Lama (bahasa asli)
bahasa Aram Imperial (Bahasa resmi dan lingua franca)[1]
bahasa Elam
bahasa Akakdia[2]
AgamaZoroastrianisme
PemerintahanMonarki
Syah 
 - 559–529 SM (pertama)Koresh Luhur
 - 336–330 SM (terakhir)Darius III
Era sejarahKuno
 - Didirikan550 SM (Koresh Luhur menggulingkan Astages dari Media)
 - Pembangunan dimulai di Persepolis515 SM
 - Penaklukan Mesir oleh Kambises II525 SM
 - Perang Yunani-Persia498–448 SM
 - Penaklukan ulang Mesir oleh Artaxerxes III343SM
 - Ditaklukkan pada Perang Aleksander Luhur336 SM (Aleksander Luhur menaklukkan Persia)
 - Darius III dibunuh oleh Bessos330 SM
Lapang
 - 480 SM8.000.000 km² (3.088.817 mil²)
Mata uangDarik dan Siglos
Kini segi dari

Kekaisaran Persia Akhaimenia (atau Akhemeniyah /əˈkmənɪd/; bahasa Persia Lama: Parsā, nama dinasti yang berkuasa: Haxāmanišiya) (sek. 550–330 SM), diketahui pula sebagai Kekaisaran Persia Pertama, adalah kekaisaran Persia (Iran) di Asia Selatan dan Barat Daya yang didirikan pada zaman ke-6 SM oleh Koresh Luhur, yang menggulingkan konfederasi Medes. Kekaisaran ini bertambah lapang sampai pada yang belakang sekalinya menguasai wilayah yang amat akbar di dunia kuno dan pada tahun 500 SM membentang dari Lembah Indus di timur, sampai ke Thrakia dan Makedonia di perbatasan timur laut Yunani. Tidak mempunyai kekaisaran lain sebelum masa itu yang bertambah akbar daripada Kekaisaran Akhaimenia.[4] Kekaisaran Akhaimenia pada yang belakang sekalinya menguasai Mesir juga. Kekaisaran ini dipimpin oleh serangkaian raja yang menyatukan suku-suku dan bangsa-bangsanya yang terpisah-pisah dengan mendirikan jaringan jalan yang melilit.

Bangsa Persia menyebut diri mereka Pars, yang berasal dari nama suku Arya asli mereka Parsa, dan bermukim di daerah yang mereka beri nama Parsua (Persis dalam bahasa Yunani), yang dibatasi oleh Sungai Tigris di barat dan Teluk Persia di timur. Tempat ini menjadi wilayah pusat mereka pada masa Kekaisaran Akhaimenia.[4] Dari daerah inilah Koresh Luhur (Koresh II dari Persia) pada yang belakang sekalinya muncul dan mengalahkan bangsa Medes, Lydia, dan Kekaisaran Babilonia, membuka jalan bagi penaklukan selanjutnya ke Mesir dan Asia Kecil.

Pada puncak kejayaannya setelah penaklukan Mesir, kekaisaran ini menempati wilayah seluas bertambah kurang 8 juta km2,[5] meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Pada wilayah terluasnya, kekaisaran ini juga meliputi wilayah yang kini menjadi Iran, Turki, sebagian Asia Tengah, Pakistan, Thrakia, dan Makedonia, sebagian akbar daerah pesisir Laut Hitam, Afghanistan, Irak, Arab Saudi utara, Yordania, Israel, Lebanon, Suriah, serta semua pusat pemukiman di Mesir kuno sampai ke barat sejauh Libya. Dalam sejarah Barat, Kekaisaran Akhaimenia diberitahukan sebagai musuh negara-negara kota Yunani[4] selama Perang Yunani-Persia. Kekaisaran ini juga terkenal karena emansipasi terhadap terhadap perbudakan termasuk pembebasan bangsa Yahudi dari pembuangan ke Babilonia dan karena mendirikan infrastruktur seperti sistem pos, sistem jalan, dan penggunaan bahasa resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Kekaisaran ini menerapkan administrasi birokratis terpusat di bawah pimpinan Kaisar serta memiliki pasukan militer profesional dan pasukan wajib militer yang akbar, mengilhami perkembangan serupa di kekaisaran-kekaisaran lain pada masa selanjutnya.[6]

Menurut pandangan tradisional, wilayah Kekaisaran Akhaimenia yang amat lapang dan keragaman etnokulturalnya yang luar biasa[7] pada yang belakang sekalinya menjadi kerugian karena penyerahan kekuasaan kepada pemerintah lokal pada yang belakang sekalinya melemahkan otoritas pusat milik raja, membuat banyak energi dan sumber daya terbuang dampak harus mencerai-beraikan pemberontakan lokal.[4] Ini menjelaskan mengapa ketika Aleksander Luhur (Aleksander III dari Makedonia) menginvasi Persia pada tahun 334 SM beliau menghadapi suatu kekaisaran terpecah belah dengan pemimpin yang lemah, gampang bagi dihancurkan. Sudut pandang ini ditentang oleh beberapa sejarawan modern yang berpendapat bahwa Kekaisaran Akhaimenia tidak menderita krisis semacam itu pada masa Aleksander, dan bahwa hanya kericuhan pergantian kekuasaan internal yang terjadi di dalam keluarga Akhemenid yang pernah hampir melemahkan kekaisaran.[4] Aleksander, yang merupakan pengagum Koresh Agung,[8] pada yang belakang sekalinya menyebabkan keruntuhan dan perpecahan kekaisaran bertambah kurang tahun 330 SM, membuatnya terbagi menjadi Kerajaan Ptolemaik dan Kekaisaran Seleukia, selain juga wilayah-wilayah kecil lainnya yang memedekakan diri pada masa itu. Akan tetapi, kebudayaan Iran di dataran tinggi tengah tetap menjadi bertambah sempurna dan pada yang belakang sekalinya kembali berkuasa pada zaman ke-2 SM.[4]

Warisan sejarah Kekaisaran Akhaimenia bukan hanya pengaruh teritorial dan militernya saja, melainkan meliputi pula pengaruh kebudaaan, sosial, dan keagamaan. Banyak orang Athena yang mengadopsi norma budaya Akhaimenia dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai dampak dari kontak antarbudaya,[9] beberapa karena pernah dikerahkan oleh, atau bersekutu dengan raja Persia. Pengaruh Dekrit Pemulihan Koresh Luhur diberitahukan dalam naskah Yudeo-Kristen, selain itu kekaisaran ini juga amat berperan dalam penyebaran Zoroastrianisme sampai ke timur sejauh Cina. Bahkan Aleksander Agung, yang menaklukkan kekaisaran lapang ini, menghormati adat-istiadatnya dan memerintahkan orang Yunani bagi turut menghormasi raja-raja Persia termasuk Koresh Agung. Aleksander bahkan melaksanakan proskynesis, suatu hukum budaya kerajaan Persia, walaupun banyak diprotes oleh para tentara Makedonianya.[10][11] Kekaisaran Akhaimenia memberikan pengaruh terhadap politik, warisan dan sejarah Persia modern (kini Iran).[12] Perangaruhnya meliputi pula wilayah Persia sebelumnya yang secara semuanya dinamakan Persia Besar. Prestasi teknik yang penting di Kekaisaran Akhaimenia adalah sistem pengelolaan cairan Qanat, yang berusia bertambah dari 3000 tahun dan memiliki panjang bertambah dari 44 mil (71 km.)[13]

Pada tahun 480 SM, diperkirakan bahwa bertambah kurang 50 juta[14] orang tinggal di Kekaisaran Akhaimenia[15] atau bertambah kurang 44% dari seluruh populasi dunia pada masa itu, menjadikannya kekaisaran dengan banyak penduduk terbanyak.[16]

Asal usul

Nama Persia berasal dari suku India-Eropa yang dinamakan Parsua. Persia merupakan pengucapan Latin dari orang India-Eropa, Parsua, yang menyebut perbatasan wilayah mereka Persis, sesuai naam suku mereka, suatu daerah yang terletak di sebelah utara Teluk Persia dan sebelah timur sungai Tigris dinamakan Persis (atau dalam bahasa Persia, Pars).[17] Sejarawan Yunani, Herodotos, menuturkan:[18]

Bangsa Persia terdiri atas sejumlah suku seperti terdaftar di sini. [...]: suku Pasargadai, Maraphii, dan Maspii, kepada mereka semua suku lainnya bergantung, Pasargadai adalah yang paling terkemuka; mereka memiliki klan Akhaimenid yang melahirkan raja-raja Perseid. Suku-suku lainnya adalah Panthialaei, Derusiaei, Germanii, kesemuanya hidup menetap, sisanya -Dai, Mardi, Dropici, Sagarti, merupakan suku nomaden.

Kekaisaran Akhemeniyah bukanlah kekaisaran Iran pertama. Pada zaman keenam SM suku bangsa Iran lainnya, yaitu bangsa Medes, telah mendirikan Kekaisaran Media.[17] Bangsa Medes pada awalnya merupakan bangsa Iran yang dominan di aderah tersebut, mulai berkuasa pada yang belakang sekali zaman ke-7 SM dan menjadikan Bangsa Persia segi dari kekaisaran mereka. Bangsa-bangsa Iran sendiri memasuki daerah itu bertambah kurang tahun 1000 SM[19] dan pada awalnya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Assyria (911-609 SM). Akan tetapi, bangsa Medes dan persia (bersama dengan bangsa Skythia dan Babilonia) memainkan peranan penting dalam keruntuhan Assyria melewati kerusuhan internal.

Perluasan

Pada zaman ke-5 SM Persia telah menguasai wilayah yang kini menjadi Iran, Irak, pesisir Sudan, Eretria, Armenia, Azerbaijan, Pakistan, Afghanistan, Tajikistan, Turkmenistan, Kyrgyzstan, Georgia, Makedonia, Uzbekistan, Turki, Bulgaria, Siprus, Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Israel, Lebanon, sebagian Yunani, Libya, segi utara Jazirah Arab serta India barat laut.

Perang Yunani-Persia

Setelah menaklukkan Asia Kecil (Turki modern), Persia menempatkan tiran pada tiap negara kota Yunani di sana sebagai pemimpin lokal. Pada tahun 499 SM, Aristagoras, tiran Miletos, bersama dengan satrap Persia, Artaphernes, melaksanakan ekspedisi bagi menaklukkan Naxos. Tujuan Aristagoras adalah bagi meningkatkan posisinya sendiri di Miletos, tidak sewenang-wenang dalam hal keuangan maupun kekuasaan. Misi itu berkesudahan dengan kegagalan dan dampaknya pihak Persia berencana bagi memecat Aristagoras dari kedudukan tiran. Mengahadapi ancaman pemecatan itu, Aristagoras memilih bagi menghasut negara-negara kota Ionia bagi memberontak melawan kekuasaan Persia. Seluruh Ionia terkena hasutannya, terutama karena mereka juga tidak senang dengan para tiran yang ditunjuk oleh Persia bagi memimpin mereka. maka terjadilah Pemberontakan Ionia. Pemberontakan juga disertai oleh kota-kota di Aiolis, Doris, Siprus, dan Karia.

Konflik tersebut berlanjut sampai tahun 493 SM, ketika Persia menyepakati akad damai dengan kota-kota Ionia. Namun pemberontakan itu menjadi fase awal dari konflik yang bertambah akbar. Selama pemberontakan, dua negara kota di Yunani daratan, yakni Athena dan Eretria, mengirim pasukan dan membantu kota-kota Ionia dalam melawan Persia. Dampaknya Darius murka dan bersumpah akan menghukum dua negara itu. Selain itu, Darius mengasumsikan bahwa situasi politik di Yunani dapat menjadi ancaman bagi kestabilan kekaisarannya. Oleh karena itu, setelah Persia kembali menguasai kondisi di Asia Kecil, Darius memerintahkan dilancarkannya invasi ke Yunani.[20] Pasukan dan armada Persia memperoleh beberapa kesukesan awal di Yunani sebelum yang belakang sekalinya dikalahkan oleh pasukan Athena, yang dibantu Plataia, dalam Pertempuran Marathon pada tahun 490 SM, yang memaksa pasukan Persia mengakhiri invasinya. Darius berniat bagi kembali menyerbu Yunani namun keburu berpulang.

Xerxes I (485–465 SM, bahasa Persia Lama Xšayārša "Pahlawan Para Raja"), putra Darius, naik takhta dan meneruskan misi ayahnya. Beliau mengumpulkan pasukan yang akbar dan pada tahun memimpin invasi ke Yunani 480 SM . Beliau bersama pasukan darat Persia memasuki Yunani dari utara, menaklukkan Thrakia dan memaksa Makedonia menjadi sekutu Persia. Pasukan daratnya sempat terhenti dampak dihadang sejumlah tentara Yunani, termasuk tiga ratus prajurit Sparta, di Thermopylae, sementara armada lautnya juga sempat tertahan pada Artemision. Namun Persia pada yang belakang sekalinya bisa melanjutkan invasi.

Persia terus bergerak semakin jauh di Yunani dan menaklukkan kota Athena, yang sudah hampir kosong karena penduduknya telah dievakuasi. Pada yang belakang sekalinya, dalam suatu pertempuran maritim yang memilihkan di Pertempuran Salamis, armada Persia dikalahkan oleh armada gabungan Yunani. Ini membuat Xerxes menarik mundur sebagian akbar pasukan daratnya dan kembali ke Persia. Mardonios, seorang jenderal Persia, tetap tinggal di Yunani dan ditugaskan menyelesaikan invasi bersama sisa-sisa pasukan darat Persia. Pada tahun 479 SM, pasukan gabungan Yunani mengalahkan pasukan Mardonios dalam Pertempuran Plataia, dan armada gabungan Yunani menghancurkan armada Persia pada Pertempuran Mykale. Semua kemenangan Yunani ini mengakhiri invasi Persia.

Fase kebudayaan

Xerxes I digantikan oleh Artaxerxes I (465–424 SM), yang memindahkan ibu kota dari Persepolis ke Babylon. Pada masa pemerintahannya bahasa Elam tak lagi dipergunakan sebagai bahasa pemerintahan, sedangkan bahasa Aram melebihi banyak dipergunakan. Probabilitas pada pemerintahannya juga kalender matahari dipergunakan sebagai kalender nasional. Artaxerxes menjadikan Zoroastrianisme sebagai agama negara sehingga pada masa kini beliau dinamakan juga sebagai Constantinus bagi agama tersebut.

Artaxerxes meninggal di Susa dan jasadnya dibawa ke Persepolis dimakamkan bersama para pendahulunya. Artaxerxes digantikan oleh putra sulungnya Xerxes II, yang dibunuh oleh saudara tirinya hanya beberapa ahad setelah kematian Artaxerxes. Dalam kondisi takhta Persia yang serampangan, Darius II mengumpulkan dukungan bagi dirinya dan berarak ke timur, menghukum mati sang pembunuh dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja Persia.

Darius berkuasa sejak tahun 423 SM. Pada tahun 412 SM, atas desakan Tissaphernes, Darius memberi pertolongan kepada Athena, selanjutnya kepada Sparta, yang mana bahwa kedua negara itu sedang bertempur dalam konflik yang dinamakan Perang Peloponnesos. Namun pada tahun 407 SM, putra Darius, Koresh Muda, ditunjuk bagi menggantikan Tissaphernes, dan setelah itu pertolongan seluruhnya diberikan hanya bagi Sparta, yang pada yang belakang sekalinya sukses mengalahkan Athena pada tahun 404 SM. Pada tahun itu pula Darius jatuh sakit dan meninggal di Babylon. Menjelang kematiannya, istrinya, Parysatis, yang berasal dari Babylon, memohon kepada Darius bagi menjadikan putra keduanya, Koresh Muda, sebagai raja Persia selanjutnya, akan tetapi Darius menolak.

Darius digantikan oleh putra sulungnya Artaxerxes II Memnon. Plutarkhos menuturkan (kemungkinan atas otoritas Ktesias) bahwa Tissaphernes menemui raja baru itu pada hari penobatannya dan memperingatkannya bahwa saudara kandung yang lebih mudanya, Koresh Muda, berniat membunuhnya pada upaca penobatan. Artaxerxes selanjutnya menangkap Koresh dan akan menghukum mati beliau namun ibunya Parysatis ikut-ikut sehingga Koresh selamat. Koresh lalu diberikan kedudukan sebagai satrap Lydia, di sana beliau mengumpulkan pasukan bagi melaksanakan pemberontakan. Koresh dan Artaxerxes yang belakang sekalinya bentrok dalam Pertempuran Kunaxa pada tahun 401 SM, yang berkesudahan dengan kematian Koresh.

Artaxerxes terus berkuasa dan menjadi raja Akhaimenia yang paling lama memerintah; beliau menjadi raja selama bertambah kurang 45 tahun, sampai tahun 358 SM. Selama masa pemerintahannya, Persia mengalami kedamaian dan kestabilan sehingga banyak dibangun monumen. Artaxerxes memindahkan kembali ibu kota ke Persepolis, yang beliau perindah, sementara itu Ekbatana, sebagai ibu kota musim panas, diberi banyak tambahan adunan berupa tiang dan genting yang dilapisi perak dan perunggu. Pada masa pemerintahannya juga, terjadi inovasi luar biasa pada kultus mezbah Zoroaster, dan tersebarnya agama itu ke seluruh Asia Kecil dan Levant, dari Armenia. Karena semua kontribusinya terhadap Persia, enam zaman selanjutnya pendiri Kekaisaran Persia Kedua, Ardeshir I, menyatakan diri adalah keturunan Artaxerxes.

Keruntuhan

Artaxerxs II digantikan oleh Artaxerxes III pada tahun 358 SM. Menurut Plutarkhos, Artaxerxes III berkuasa setelah membunuh delapan saudara tirinya, bagi mengamankan takhtanya.[21] Pada tahun 343 SM Artaxerxes III mengalahkan Nektanebo II, mengusirnya dari Mesir, dan kembali menjadi Mesir sebagai segi dari Persia. Masa kekuasaan Persia yang kedua di Mesir ini dinamakan sebagai dinasti ketiga puluh satu Mesir.[Catatan 1] Pada tahun 338 SM Artaxerxes III meninggal karena sebab yang tak jelas. Menurut kuneiform beliau mati karena sebab alami namun menurut Diodoros, seorang sejarawan Yunani, beliau dibunuh oleh Bagoas, salah seorang menterinya.[22]

Artaxerxes III digantikan oleh Artaxerxes IV Arses, yang juga diracuni oleh Bagoas sebelum sempat mulai memerintah. Bertambah jauh lagi, Bagoas membunuh semua anak Arses, serta banyak pangeran di Persia. Bagoas lalu menempatkan Darius III (336–330 SM), keponakan Artaxerxes IV, sebagai raja Persia. Setelah berkuasa, Darius yang sebelumnya merupakan satrap Armenia, secara pribadi memerintahkan Bagoas meminum racun. Pada tahun 334 SM, tidak lama setelah Darius menguasai Mesir kembali, Alexandros III dari Makedonia dan pasukannya yang telah banyak bertempur menginvasi Asia Kecil. Alexandrosr meneruskan rencanan ayahnya, Philippos, yang keburu meninggal sebelum sempat melaksanakan rencana invasinya.

Setelah menyeberang ke Asia Kecil, Alexandros mengalahkan pasukan Persia pada Pertempuran Granikos (334 SM), disusul oleh Pertempuran Issos (333 SM), dan yang terakhir pada Pertempuran Gaugamela (331 SM). Setelah itu beliau berarak menuju Susa dan Persepolis, yang menyerah pada awal 330 SM. Dari sana, Alexandros bergerak ke utara menuju Pasargadae, di sana beliau mengunjungi makam Koresh Agung.

Agama

Kuil, walaupun berfungsi bagi tujuan keagamaan, namun mempunyai manfaatnya juga sebagai sumber penghasilan. Terilhami oleh para raja Babylon, Persia menerapkan konsep pajak kuil wajib, yaitu bahwa semua penduduk harus membayar sejumlah akbar pajak atau zakat kepada kuil di daerah mereka.[23]

Daftar raja wangsa Akhemeniyah

Belum terbukti

  • Akhaimenes atau Akhemenes (leluhur wangsa Akhemeniyah)
Bukti epigrafi raja-raja ini tidak dapat dipastikan dan dianggap rekaan raja Darius I
  • Ariaramnes, putra Teispes dan memerintah bersama Koresh I (Cyrus I).
  • Arsames, putra Ariaramnes dan memerintah bersama Kambises I

Sudah terbukti

Di awal pemerintahan Artaxerxes II, pada tahun 399 SM, Persia kehilangan kekuasaan atas Mesir. Mereka memperoleh kembali kekuasaan 57 tahun selanjutnya – pada tahun 342 SM – ketika Artaxerxes III menguasai Mesir.

Keterangan

  1. ^ Pada dua masa tidak sama, Persia menguasai Mesir walaupun dua kali Mesir sukses meraih kemerdekaan sementara dari Persia. Setelah praktik Manetho, Sejarawan Mesir menyebut periode kekuasaan Persia di Mesir sebagai dinasti kedua puluh tujuh Mesir, berlanjut pada tahun 525–404 SM, hingag kematian II, dan dinasti ketiga puluh satu Mesir, berlanjut pada tahun 343–332 SM, yang dimulai setelah Nektanebo II dikalahkan oleh Artaxerxes III.

Catatan kaki

  1. ^ Josef Wiesehöfer, Ancient Persia, (I.B. Tauris Ltd, 2007), 119.
  2. ^ Harald Kittel, Juliane House, Brigitte Schultze (2007). Traduction: encyclopédie internationale de la recherche sur la traduction. Walter de Gruyter. hlm. 1194–5. ISBN 978-3-11-017145-7. 
  3. ^ Security and Territoriality in the Persian Gulf: A Maritime Political Geography by Pirouz Mojtahed-Zadeh, page 119
  4. ^ a b c d e f David Sacks, Oswyn Murray, Lisa R. Brody (2005). Encyclopedia of the ancient Greek world. Infobase Publishing. hlm. 256 (at the right portion of the page). ISBN 978-0-8160-5722-1. 
  5. ^ Aedeen Cremin (2007). Archaeologica: The World's Most Significant Sites and Cultural Treasures. Global Book Publishing Pty Ltd. hlm. 224. ISBN 978-0-7112-2822-1. 
  6. ^ Schmitt Achaemenid dynasty (i. The clan and dynasty)
  7. ^ Pierre Briant (2006). From Cyrus to Alexander: A History of the Persian Empire. Eisenbrauns. hlm. 1–3. ISBN 978-1-57506-120-7. 
  8. ^ Ulrich Wilcken (1967). Alexander the Great. W. W. Norton & Company. hlm. 146. ISBN 978-0-393-00381-9. 
  9. ^ Margaret Christina Miller (2004). Athens and Persia in the Fifth Century B.C.: A Study in Cultural Receptivity. Cambridge University Press. hlm. 243. ISBN 978-0-521-60758-2. 
  10. ^ Arrian, Anabasis Alexandri VII, 11
  11. ^ Plutarch, Alexander, 45
  12. ^ Vesta Sarkhosh Curtis, Sarah Stewart (2005). Birth of the Persian Empire. I.B.Tauris. hlm. 7. ISBN 978-1-84511-062-8. 
  13. ^ p. 4 of Mays, L. (30 August 2010). Ancient Water Technologies. Springer. ISBN 978-90-481-8631-0. 
  14. ^ Yarshater (1996, p. 47)
  15. ^ While estimates for the Achaemenid Empire range from 10-80+ million, most prefer 50 million. Prevas (2009, p. 14) estimates 10 million. Strauss (2004, p. 37) estimates about 20 million. Ward (2009, p. 16) estimates at 20 million. Scheidel (2009, p. 99) estimates 35 million. Daniel (2001, p. 41) estimates at 50 million. Meyer and Andreades (2004, p. 58) estimates to 50 million. Jones (2004, p. 8) estimates over 50 million. Richard (2008, p. 34) estimates nearly 70 million. Hanson (2001, p. 32) estimates almost 75 million. Cowley (1999 and 2001, p. 17) estimates possibly 80 million.
  16. ^ See //www.census.gov/population/international/data/idb/worldhis.php
  17. ^ a b Jamie Stokes (2009). Encyclopedia of the Peoples of Africa and the Middle East, Volume 1. Infobase Publishing. hlm. 2–3. ISBN 978-0-8160-7158-6. 
  18. ^ Herodotos, Historia 1.101 & 125
  19. ^ Mallory, J.P. (1989), In Search of the Indo-Europeans: Language, Archaeology, and Myth, London: Thames & Hudson.
  20. ^ Willis Mason West (1904). The ancient world from the earliest times to 800 A.D.. Allyn and Bacon. hlm. 137. 
  21. ^ Hoschander, Jacob. "The Book of Esther in the Light of History: Chapter IV", The Jewish Quarterly Review, New Series, Vol. 10, No. 1 (Jul., 1919), pp. 87–88
  22. ^ Chr. Walker, "Achaemenid Chronology and the Babylonian Sources," in: John Curtis (ed.), Mesopotamia and Iran in the Persian Period: Conquest and Imperialism, 539-331 B.C. (London 1997), page 22.
  23. ^ Dandamaev & Lukonin, 1989:361–362


Sumber :
id.wikipedia.org, buku.us, kk.pahlawan.web.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA