Orang yang melakukan PENEBANGAN liar harus di

UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan bertujuan untuk menjaga hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia sehingga keberadaanya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global.

Oleh karena itu, dalam UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pemanfaatan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat.

Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa Indonesia dikuasai oleh negara. Namun tetap saja rusak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan disahkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan diundangkan oleh Menkumham Amir Syamsudin di Jakarta pada tanggal 6 Agustus 2013.

UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130. Penjelasan Atas UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.

UU 18 tahun 2013tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Pertimbangan UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah:

  1. bahwa hutan, sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara dan memberikan manfaat bagi umat manusia yang wajib disyukuri, dikelola, dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. bahwa pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus dilaksanakan secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis serta untuk menjaga keberlanjutan bagi kehidupan sekarang dan kehidupan generasi yang akan datang;

  3. bahwa telah terjadi perusakan hutan yang disebabkan oleh pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  4. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional;

  5. bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;

  6. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi; dan

  7. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu membentuk Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Dasar hukum UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah:

  1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan

  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).

UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mencabut ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412).

Hutan Indonesia sebagai karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia merupakan unsur utama sistem penyangga kehidupan manusia dan merupakan modal dasar pembangunan nasional yang memiliki manfaat nyata, baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi agar kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia berkembang secara seimbang dan dinamis.

Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia sehingga keberadaanya menjadi tumpuan keberlangsungan kehidupan bangsa-bangsa di dunia, khususnya dalam mengurangi dampak perubahan iklim global. Oleh karena itu, pemanfaataan dan penggunaannya harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, dan bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukung serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan bagi kemakmuran rakyat. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, hutan sebagai salah satu sumber kekayaan alam bangsa Indonesia dikuasai oleh negara.

Penguasaan sumber daya hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk (i) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan kawasan hutan dan/atau mengubah status kawasan hutan; (iii) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta (iv) mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya, pemerintah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan izin kepada pihak lain yang memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun, untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis, pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pembangunan hutan berkelanjutan memerlukan upaya yang sungguh- sungguh karena masih terjadi berbagai tindak kejahatan kehutanan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin. Kejahatan itu telah menimbulkan kerugian negara dan kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup yang sangat besar serta telah meningkatkan pemanasan global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional.

Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan harus dilakukan secara luar biasa.

Upaya menangani perusakan hutan sesungguhnya telah lama dilakukan, tetapi belum berjalan secara efektif dan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal itu antara lain disebabkan oleh peraturan perundang- undangan yang ada belum secara tegas mengatur tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum dalam bentuk undang-undang agar perusakan hutan terorganisasi dapat ditangani secara efektif dan efisien serta pemberian efek jera kepada pelakunya.

Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, upaya pemberantasan perusakan hutan melalui undang-undang ini dilaksanakan dengan mengedepankan asas keadilan dan kepastian hukum, keberlanjutan, tanggung jawab negara, partisipasi masyarakat, tanggung gugat, prioritas, serta keterpaduan dan koordinasi. Selanjutnya, pembentukan undang-undang ini, selain memiliki aspek represif juga mempertimbangkan aspek restoratif, bertujuan untuk:

  1. memberikan payung hukum yang lebih tegas dan lengkap bagi aparat penegak hukum untuk melakukan pemberantasan perusakan hutan sehingga mampu memberi efek jera bagi pelakunya;

  2. meningkatkan kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait melalui lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam upaya pemberantasan perusakan hutan.

  3. meningkatkan peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan terutama sebagai bentuk kontrol sosial pelaksanaan pemberantasan perusakan hutan;

  4. mengembangkan kerja sama internasional dalam rangka pemberantasan perusakan hutan secara bilateral, regional, ataupun multilateral; dan

  5. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya guna mewujudkan masyarakat sejahtera.

Ruang lingkup undang-undang ini meliputi (i) pencegahan perusakan hutan; (ii) pemberantasan perusakan hutan; (iii) kelembagaan; (iv) peran serta masyarakat; (v) kerja sama internasional; (vi) pelindungan saksi, pelapor, dan informan; (vii) pembiayaan; dan (viii) sanksi.

Cakupan perusakan hutan yang diatur dalam undang-undang ini meliputi proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Adapun pembalakan liar didefinisikan sebagai semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi, sedangkan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah meliputi kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.

Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun-temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.

Upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui pembuatan kebijakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah serta dengan peningkatan peran serta masyarakat. Dalam rangka pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini mengatur kategori dari perbuatan perusakan hutan terorganisasi, baik perbuatan langsung, tidak langsung, maupun perbuatan terkait lainnya. Guna meningkatkan efektivitas pemberantasan perusakan hutan, Undang-Undang ini dilengkapi dengan hukum acara yang meliputi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Undang-undang ini mengamanatkan pembentukan suatu lembaga yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan terorganisasi yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri atas unsur kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan unsur terkait lainnya, seperti unsur kementerian terkait, ahli/pakar, dan wakil masyarakat. Selain memiliki fungsi penegakan hukum, lembaga ini juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.

Sejak terbentuknya lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Sedangkan tindak pidana perusakan hutan terorganisasi yang sedang dalam proses hukum, tetap dilanjutkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya sampai diperoleh kekuatan hukum tetap.

Konten UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah sebagai berikut (bukan dalam format seperti asli):

UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya.

  2. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

  3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.

  4. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara tidak sah yang terorganisasi.

  5. Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri.

  6. Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama- sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

  7. Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan.

  8. Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.

  9. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

  10. Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu melalui kegiatan penebangan, permudaan, pengangkutan, pengolahan dan pemasaran dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.

  11. Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu adalah izin usaha yang diberikan oleh Menteri untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan, dan pemasaran.

  12. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.

  13. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan.

  14. Pohon adalah tumbuhan yang batangnya berkayu dan dapat mencapai ukuran diameter 10 (sepuluh) sentimeter atau lebih yang diukur pada ketinggian 1,50 (satu koma lima puluh) meter di atas permukaan tanah.

  15. Polisi Kehutanan adalah pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/atau melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu kesatuan komando.

  16. Pejabat adalah orang yang diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan suatu tugas dan tanggung jawab tertentu.

  17. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

  18. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.

  19. Pelapor adalah orang yang memberitahukan adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.

  20. Informan adalah orang yang menginformasikan secara rahasia adanya dugaan, sedang, atau telah terjadinya perusakan hutan kepada pejabat yang berwenang.

  21. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia.

  22. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang teroganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

  23. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  24. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

  25. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.

Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan berasaskan:

  1. keadilan dan kepastian hukum;

  2. keberlanjutan;

  3. tanggung jawab negara;

  4. partisipasi masyarakat;

  5. tanggung gugat;

  6. prioritas; dan

  7. keterpaduan dan koordinasi.

Pasal 3

Pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan bertujuan:

  1. menjamin kepastian hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan;

  2. menjamin keberadaan hutan secara berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian dan tidak merusak lingkungan serta ekosistem sekitarnya;

  3. mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan dengan memperhatikan keseimbangan fungsi hutan guna terwujudnya masyarakat sejahtera; dan

  4. meningkatnya kemampuan dan koordinasi aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Pasal 4

Ruang lingkup pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan meliputi:

  1. pencegahan perusakan hutan;

  2. pemberantasan perusakan hutan;

  3. kelembagaan;

  4. peran serta masyarakat;

  5. kerja sama internasional;

  6. pelindungan saksi, pelapor, dan informan;

  7. pembiayaan; dan

  8. sanksi.

BAB III
PENCEGAHAN PERUSAKAN HUTAN

Pasal 5

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pencegahan perusakan hutan.

Pasal 6

  1. Dalam rangka pencegahan perusakan hutan, Pemerintah membuat kebijakan berupa:

    1. koordinasi lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;

    2. pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan;

    3. insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan;

    4. peta penunjukan kawasan hutan dan/atau koordinat geografis sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan; dan

    5. pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan sumber kayu alternatif dengan mendorong pengembangan hutan tanaman yang produktif dan teknologi pengolahan.

  3. Selain membuat kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), upaya pencegahan perusakan hutan dilakukan melalui penghilangan kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat.

  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sumber kayu alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 7

Pencegahan perusakan hutan dilakukan oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau korporasi yang memperoleh izin pemanfaatan hutan.

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pemberantasan perusakan hutan.

  2. Pemberantasan perusakan hutan dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik langsung, tidak langsung, maupun yang terkait lainnya.

  3. Tindakan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perusakan hutan dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 10

Perkara perusakan hutan harus didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke sidang pengadilan guna penyelesaian secepatnya.

Bagian Kedua
Ketentuan Perbuatan Perusakan Hutan

Pasal 11

  1. Perbuatan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang dilakukan secara terorganisasi.

  2. Perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan.

  3. Kelompok terstruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.

  4. Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  5. Ketentuan mengenai penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 12

Setiap orang dilarang:

  1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan;

  2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

  3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah;

  4. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin;

  5. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan;

  6. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

  7. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;

  8. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar;

  9. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara;

  10. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara;

  11. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar;

  12. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; dan/atau

  13. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Pasal 13

  1. Penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c merupakan penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:

    1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

    2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;

    3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

    4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

    5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan/atau

    6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.

  2. Penebangan pohon yang dilakukan dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dihindari dengan mendapat izin khusus dari Menteri.

Pasal 14

Setiap orang dilarang:

  1. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu; dan/atau

  2. menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu.

Pasal 15

Setiap orang dilarang melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 16

Setiap orang yang melakukan pengangkutan kayu hasil hutan wajib memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17

  1. Setiap orang dilarang:

    1. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;

    2. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;

    3. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin;

    4. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau

    5. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

  2. Setiap orang dilarang:

    1. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;

    2. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan;

    3. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin;

    4. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin; dan/atau

    5. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Pasal 18

  1. Selain dikenai sanksi pidana, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, huruf b, huruf c, Pasal 17 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf e, dan Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf e yang dilakukan oleh badan hukum atau korporasi dikenai sanksi administratif berupa:

    1. paksaan pemerintah;

    2. uang paksa; dan/atau

    3. pencabutan izin.

  2. Ketentuan mengenai mekanisme dan tata cara penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Indonesia dilarang:

  1. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  2. ikut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  3. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  4. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung;

  5. menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  6. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah, atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri;

  7. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya;

  8. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah; dan/atau

  9. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Pasal 20

Setiap orang dilarang mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 21

Setiap orang dilarang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi.

Pasal 22

Setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 22

Setiap orang dilarang melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 24

Setiap orang dilarang:

  1. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan;

  2. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan; dan/atau

  3. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri.

Pasal 25

Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan.

Pasal 26

Setiap orang dilarang merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan.

Pasal 27

Setiap pejabat yang mengetahui terjadinya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, 13, 14, 15, 16, 17, dan 19 wajib melakukan tindakan sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 28

Setiap pejabat dilarang:

  1. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya;

  2. menerbitkan izin pemanfaatan di dalam kawasan hutan dan/atau izin penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  3. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  4. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  5. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;

  6. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak;

  7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas; dan/atau

  8. lalai dalam melaksanakan tugas.

Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 30

PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berwenang:

  1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan;

  2. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan;

  3. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak perusakan hutan;

  4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana perusakan hutan;

  5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil kejahatan yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana perusakan hutan;

  6. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

  7. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana perusakan hutan;

  8. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat bukti tentang adanya tindakan perusakan hutan;

  9. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

  10. membuat dan menandatangani berita acara dan surat-surat lain yang menyangkut penyidikan perkara perusakan hutan; dan

  11. memotret dan/atau merekam melalui alat potret dan/atau alat perekam terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Pasal 31

Wilayah hukum atau wilayah kerja PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk wilayah kepabeanan.

Pasal 32

PPNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

Pasal 33

Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait.

Pasal 34

  1. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, penyidik berwenang meminta kepada lembaga penyelenggara komunikasi untuk:

    1. membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos serta jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan pembalakan liar yang sedang diperiksa; dan/atau

    2. meminta informasi pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan perusakan hutan.

  2. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat atas permintaan penyidik untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

  3. Ketua pengadilan negeri setempat wajib memberikan izin untuk meminta informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari penyidik.

  4. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

Pasal 35

  1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.

  2. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan.

  3. Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak surat permintaan diterima.

  4. Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai hasil pembalakan liar selama proses penyidikan, penuntunan, dan/atau pemeriksaan berlangsung.

  5. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, pimpinan bank harus mencabut pemblokiran.

Pasal 36

Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:

  1. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada unit kerja terkait;

  2. meminta bantuan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melakukan penyelidikan atas data keuangan tersangka;

  3. meminta kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian ke luar negeri;

  4. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang; dan/atau

  5. meminta kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Pasal 37

Alat bukti pemeriksaan perbuatan perusakan hutan meliputi:

  1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; dan/atau

  2. alat bukti lain berupa:

    1. informasi elektronik;

    2. dokumen elektronik; dan/atau

    3. peta

Pasal 38

  1. Penyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.

  2. Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.

Pasal 39

Untuk mempercepat penyelesaian perkara perusakan hutan:

  1. penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari;

  2. dalam hal hasil penyidikan belum lengkap, penuntut umum wajib melakukan penyidikan paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari;

  3. penuntut umum wajib melimpahkan perkara ke pengadilan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak selesai penyidikan;

  4. untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam dan geografis atau transportasi dan tingginya biaya dalam rangka penjagaan dan pengamanan barang bukti, terhadap barang bukti kayu cukup dilakukan penyisihan barang bukti yang disertai dengan berita acara penyisihan barang bukti; dan

  5. instansi teknis kehutanan wajib menunjuk ahli penguji dan pengukur kayu yang diminta penyidik dengan mempertimbangkan kecepatan untuk penyidikan.

  1. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti hasil tindak pidana perusakan hutan, baik berupa barang bukti temuan maupun barang bukti sitaan, wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang sekurang-kurangnya memuat:

    1. nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah;

    2. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;

    3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau

    4. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.

  2. Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berada di bawah penguasaannya.

  3. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

    1. melaporkan dan meminta izin sita;

    2. meminta izin peruntukan kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; dan

    3. menyampaikan tembusan kepada kepala kejaksaan negeri setempat.

  4. Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:

    1. melaporkan dan meminta izin sita;

    2. meminta izin lelang bagi barang yang mudah rusak kepada ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan; dan

    3. menyampaikan tembusan kepada kepala kejaksaan negeri setempat.

  5. Batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), untuk daerah yang sulit terjangkau karena faktor alam, geografis, atau transportasi, dapat diperpanjang menjadi paling lama 14 (empat belas) hari.

  6. Ketua pengadilan negeri wajib menerbitkan atau menolak izin/persetujuan sita yang diajukan oleh penyidik paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak permintaan diterima.

Ketua pengadilan negeri setempat, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima permintaan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), wajib menetapkan peruntukan pemanfaatan barang bukti.

Pasal 42

Setiap pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43

Peruntukan pemanfaatan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ditujukan:

  1. untuk kepentingan pembuktian perkara;

  2. untuk pemanfaatan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

  3. untuk dimusnahkan; dan/atau

  4. untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.

Pasal 44

  1. Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.

  2. Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.

  3. Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  4. Hasil lelang kayu sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan di bank pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan.

  5. Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 45

  1. Barang bukti temuan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dapat dilelang dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.

  2. Barang bukti sitaan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya penyimpanannya terlalu tinggi.

  3. Hasil lelang barang bukti sitaan hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan di bank Pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan.

  4. Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 46

  1. Barang bukti berupa kebun dan/atau tambang dari penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang telah mendapat putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dikembalikan kepada Pemerintah untuk dihutankan kembali sesuai dengan fungsinya.

  2. Barang bukti berupa kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimanfaatkan paling lama 1 (satu) daur sampai selesainya proses pemulihan kawasan hutan.

  3. Dalam hal barang bukti kebun dimanfaatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat memberikan penugasan kepada badan usaha milik negara yang bergerak di bidang perkebunan.

  4. Barang bukti berupa tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 47

  1. Untuk kepentingan penyidikan yang terkait dengan kuantitas barang bukti yang berada dalam kapal atau alat angkut air lainnya dapat digunakan metode survei daya muat, metode pemeriksaan pembacaan skala angka kapal, atau metode lain yang lazim digunakan dalam bidang pelayaran.

  2. Metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga yang telah mempunyai kualifikasi di bidangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48

Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan barang bukti hasil perusakan hutan yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan tata cara peruntukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 49

  1. Penyidik mengajukan permohonan lelang kepada ketua pengadilan negeri setempat terhadap barang bukti sitaan berupa kayu hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dan barang bukti temuan serta barang bukti sitaan berupa hasil kebun dan/atau hasil tambang beserta sarana prasarana pendukungnya dari hasil tindak pidana penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2).

  2. Pelaksanaan lelang terhadap barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Lelang Negara dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

  3. Pelaksanaan lelang oleh Badan Lelang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara terbuka setelah selesainya pengujian, penghitungan, dan penetapan nilai barang bukti oleh lembaga.

  4. Terhadap pihak terafiliasi, tersangka kasus perusakan hutan dilarang mengikuti lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

  5. Pengujian, penghitungan, atau penetapan nilai barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan bersertifikat dari lembaga yang terakreditasi.

Pasal 50

Pengembalian kerugian akibat perusakan hutan tidak menghapus pidana pelaku perusakan hutan.

Paragraf 2
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pasal 51

  1. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tetapi tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.

  2. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor pemerintah daerah, dan/atau diberitahukan kepada terdakwa atau kuasanya.

  3. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan upaya hukum atas putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak putusan dijatuhkan, diumumkan, atau diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir.

Pasal 52

  1. Perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus oleh pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum.

  2. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimohonkan banding, perkara perusakan hutan wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.

  3. Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi dimohonkan kasasi, perkara pembalakan liar wajib diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.

Pasal 53

  1. Pemeriksaan perkara perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), pada pengadilan negeri, dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 3 (tiga) orang yang terdiri dari satu orang hakim karier di pengadilan negeri setempat dan dua orang hakim ad hoc.

  2. Pengangkatan hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Presiden atas usulan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

  3. Setelah berlakunya Undang-Undang ini ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia harus mengusulkan calon hakim ad hoc yang diangkat melalui Keputusan Presiden untuk memeriksa perkara perusakan hutan.

  4. Dalam mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Ketua Mahkamah Agung wajib mengumumkan kepada masyarakat.

  5. Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc, harus terpenuhi syarat sebagai berikut:

    1. warga negara Indonesia;

    2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

    3. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;

    4. berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang- kurangnya 10 (sepuluh) tahun dalam bidang kehutanan;

    5. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih;

    6. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

    7. cakap, jujur, serta memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi yang baik;

    8. tidak menjadi pengurus salah satu partai politik; dan

    9. melepaskan jabatan struktural dan jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.

  1. Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

  2. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

  3. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

    1. unsur Kementerian Kehutanan;

    2. unsur Kepolisian Republik Indonesia;

    3. unsur Kejaksaan Republik Indonesia; dan

    4. unsur lain yang terkait.

  4. Pelaksanaan tugas lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

  1. Lembaga dipimpin seorang kepala dan dibantu oleh seorang sekretaris dan beberapa orang deputi.

  2. Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari unsur Pemerintah dan bertugas menyelenggarakan dukungan administratif terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab lembaga.

  3. Deputi sebagaimana pada ayat (1) membidangi:

    1. bidang pencegahan;

    2. bidang penindakan;

    3. bidang hukum dan kerja sama; dan

    4. bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat.

  4. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, lembaga dapat membentuk satuan tugas sebagai unsur pelaksana.

  5. Satuan tugas melaksanakan pemberantasan perusakan hutan yang bersifat strategis sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk wilayah kepabeanan atas perintah kepala lembaga dan/atau deputi.

  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, dan tata kerja lembaga diatur dalam Peraturan Presiden.

  1. Lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) bertugas:

    1. melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan;

    2. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara perusakan hutan;

    3. melaksanakan kampanye antiperusakan hutan;

    4. membangun dan mengembangkan sistem informasi pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang terintegrasi;

    5. memberdayakan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;

    6. melakukan kerja sama dan koordinasi antarlembaga penegak hukum dalam pemberantasan perusakan hutan;

    7. mengumumkan hasil pelaksanaan tugas dan kewenangannya secara berkala kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

    8. memberi izin penggunaan terhadap barang bukti kayu temuan hasil operasi pemberantasan perusakan hutan yang berasal dari luar kawasan hutan konservasi untuk kepentingan sosial.

  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, lembaga melaporkan hasil kerjanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 6 (enam) bulan sekali.

BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 58

  1. Masyarakat berhak atas:

    1. lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan oleh hutan;

    2. pemanfaatan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

    3. upaya pemberdayaan masyarakat; dan

    4. penyuluhan tentang pentingnya kelestarian hutan dan dampak negatif perusakan hutan.

  2. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, masyarakat berhak:

    1. mencari dan memperoleh informasi adanya dugaan telah terjadinya perusakan hutan;

    2. mendapat pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi perusakan hutan dan penyalahgunaan izin kepada penegak hukum;

    3. mencari dan memperoleh informasi terhadap izin pengelolaan hutan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat;

    4. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum; dan

    5. memperoleh pelindungan hukum dalam:

        1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; dan

        2. proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 59

Masyarakat berkewajiban:

  1. menjaga dan memelihara kelestarian hutan; dan

  2. mengelola hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 60

Masyarakat berkewajiban memberikan informasi, baik lisan maupun tulisan kepada pihak yang berwenang apabila mengetahui atau adanya indikasi perusakan hutan.

Pasal 61

Masyarakat berperan serta dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan cara:

  1. membentuk dan membangun jejaring sosial gerakan anti perusakan hutan;

  2. melibatkan dan menjadi mitra lembaga pemberantasan perusakan hutan dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;

  3. meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kelestarian hutan dan dampak negatif perusakan hutan;

  4. memberikan informasi, baik lisan maupun tulisan kepada pihak yang berwenang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan;

  5. ikut serta melakukan pengawasan dalam penegakan hukum pemberantasan perusakan hutan; dan/atau

  6. melakukan kegiatan lain yang bertujuan untuk pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Pasal 62

Lembaga yang menangani pemberantasan perusakan hutan melakukan kemitraan dengan organisasi atau lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan atau di bidang lingkungan hidup serta organisasi sosial kemasyarakatan dalam melakukan pendampingan, pelayanan, dan dukungan kepada masyarakat.

Pasal 63

Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 60 dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dengan negara lain dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan mempertimbangkan dan menjaga kepentingan nasional.

  2. Kerja sama internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dapat dilakukan dalam bentuk:

    1. kerja sama bilateral;

    2. kerja sama regional; atau

    3. kerja sama multilateral.

  1. Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian.

  2. Dalam hal belum ada perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kerja sama dapat dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik (resiprositas).

  1. Pemerintah melakukan kerja sama internasional dalam rangka mencegah perdagangan dan/atau pencucian kayu tidak sah.

  2. Pemerintah berkewajiban melakukan upaya pengembalian kerugian atas hasil tindak pidana perusakan hutan.

  3. Upaya pengembalian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

    1. pemblokiran atau pembekuan sementara harta kekayaan dengan tujuan untuk mencegah dialihkan atau dipindahtangankan agar orang tertentu atau semua orang tidak berurusan dengan harta yang telah diperoleh atau mungkin telah diperoleh dari kegiatan perusakan hutan; dan/atau

    2. perampasan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh atau mungkin telah diperoleh dari hasil kegiatan perusakan hutan berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia atau di negara asing.

  1. Kerja sama internasional dalam rangka pencegahan perusakan hutan dapat dilakukan dalam hal:

    1. manajemen pengelolaan hutan yang berkelanjutan;

    2. kerja sama konservasi dan restorasi kawasan hutan;

    3. pemberdayaan masyarakat; dan

    4. permerkuatan sistem verifikasi dan sertifikasi legalitas kayu yang diakui secara internasional.

  2. Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mengurangi kerusakan hutan akibat perusakan hutan dan kelestarian hutan.

Pemerintah mendorong kerja sama internasional dalam hal pendanaan dari masyarakat internasional dan investasi swasta internasional dalam rangka pencegahan perusakan hutan.

Pasal 69

  1. Untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, Menteri dapat bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia melakukan kerja sama internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan/atau lembaga keuangan asing, khususnya menyangkut penanganan pemberantasan pembalakan liar.

  2. Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, konvensi, dan kebiasaan internasional yang berlaku secara umum.

Pasal 70

Dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara perusakan hutan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 71

Kerja sama internasional dalam rangka melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 meliputi:

  1. identitas keberadaan dan kegiatan dari setiap orang, baik nasional maupun asing yang disangka terlibat dalam perusakan hutan;

  2. pemindahan hasil kejahatan atau kekayaan yang berasal dari perusakan hutan;

  3. pemindahan kekayaan, perlengkapan, atau alat pembantu lainnya yang digunakan atau dimaksudkan untuk digunakan dalam melakukan perusakan hutan;

  4. seluruh mata rantai terjadinya tindak pidana pencucian kayu tidak sah sampai dengan pencucian uang;

  5. identitas dan kegiatan dari negara yang melakukan pencucian kayu tidak sah yang merupakan hasil perusakan hutan di Indonesia; dan/atau

  6. melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset hasil tindak pidana perusakan hutan.

Pasal 72

Kerja sama dalam rangka penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dilakukan melalui kerja sama interpol negara masing-masing.

Pasal 73

Pemerintah dapat membuat perjanjian atau kesepakatan dengan negara asing untuk mendapat penggantian biaya dan bagi hasil atas pemanfaatan kayu dari perusakan hutan.

BAB VIII
PEMBIAYAAN

Pasal 74

Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan Undang- Undang ini dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 75

Perencanaan dan pengajuan usulan anggaran pemberantasan perusakan hutan dilakukan oleh lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.

  1. Setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar, wajib diberi pelindungan khusus oleh Pemerintah.

  2. Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menghindari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta, termasuk keluarganya dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelindungan keamanan bagi saksi, pelapor, dan informan berupa:

  1. pelindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan laporan dan informasi yang akan, sedang, atau telah diberikan;

  2. pemberian informasi mengenai putusan pengadilan; dan/atau

  3. pemberitahuan dalam hal terpidana dibebaskan.

Pasal 78

  1. Pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

  2. Pelindungan hukum tidak berlaku terhadap pelapor dan informan yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Pasal 79

Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Pasal 80

Mekanisme pelindungan hukum pelapor dan informan:

  1. pelapor dan informan mendapat pelindungan hukum dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:

    1. sifat pentingnya keterangan pelapor dan informan;

    2. tingkat ancaman yang membahayakan pelapor dan informan;

    3. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap pelapor dan informan; dan

    4. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh pelapor dan informan.

  2. tata cara memperoleh pelindungan bagi pelapor dan informan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 81

  1. Pejabat yang berwenang wajib memberikan pelindungan sepenuhnya kepada pelapor dan informan, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan.

  2. Pelindungan atas keamanan pelapor dan informan dihentikan berdasarkan alasan:

    1. pelapor dan informan meminta agar pelindungan terhadapnya dihentikan dalam permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

    2. atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan pelindungan terhadap pelapor dan informan berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

    3. pelapor dan informan melanggar ketentuan yang tertulis dalam perjanjian;

    4. instansi yang berwenang berpendapat bahwa pelapor dan informan tidak lagi memerlukan pelindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan; atau

    5. penghentian pelindungan keamanan seorang pelapor dan informan harus dilakukan secara tertulis.

BAB X
KETENTUAN PIDANA

Pasal 82

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;

    2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau

    3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  3. Korporasi yang:

    1. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;

    2. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau

    3. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 83

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

    2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau

    3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

    1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

    2. mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau

    3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  4. Korporasi yang:

    1. memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

    2. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau

    3. memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 84

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (tahun) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  4. Korporasi yang membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 85

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

  2. Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 86

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau

    2. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf j

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. mengedarkan kayu hasil pembalakan liar melalui darat, perairan, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf i; dan/atau

    2. menyelundupkan kayu yang berasal dari atau masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui sungai, darat, laut, atau udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf j

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 87

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf k;

    2. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l; dan/atau

    3. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf m

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

    1. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf k;

    2. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l; dan/atau

    3. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf m

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  4. Korporasi yang:

    1. menerima, membeli, menjual, menerima tukar, menerima titipan, dan/atau memiliki hasil hutan yang diketahui berasal dari pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf k;

    2. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf l; dan/atau

    3. menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, dan/atau memiliki hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf m

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 88

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;

    2. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau

    3. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. melakukan pengangkutan kayu hasil hutan tanpa memiliki dokumen yang merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;

    2. memalsukan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan/atau menggunakan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu yang palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau

    3. melakukan penyalahgunaan dokumen angkutan hasil hutan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 89

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b; dan/atau

    2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b; dan/atau

    2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 90

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  2. Korporasi yang mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 91

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau

    2. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf d; dan/atau

    2. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 92

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau

    2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau

    2. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Pasal 93

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;

    2. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau

    3. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

    1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;

    2. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau

    3. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
  3. Korporasi yang:

    1. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;

    2. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau

    3. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 94

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a;

    2. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c;

    3. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d; dan/atau

    4. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a;

    2. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c;

    3. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d; dan/atau

    4. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur hidup serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

Pasal 95

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;

    2. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf h; dan/atau

    3. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

    1. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;

    2. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf h; dan/atau

    3. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  3. Korporasi yang:

    1. memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dengan mengubah bentuk, ukuran, termasuk pemanfaatan limbahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g;

    2. menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, dan/atau menukarkan uang atau surat berharga lainnya serta harta kekayaan lainnya yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf h; dan/atau

    3. menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf i

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur hidup serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

Pasal 96

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;

    2. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau

    3. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Korporasi yang:

    1. memalsukan surat izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;

    2. menggunakan surat izin palsu pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau

    3. memindahtangankan atau menjual izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang kecuali dengan persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 97

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja:

    1. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan/atau

    2. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:

    1. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan/atau

    2. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Korporasi yang:

    1. merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan/atau

    2. merusak, memindahkan, atau menghilangkan pal batas luar kawasan hutan, batas fungsi kawasan hutan, atau batas kawasan hutan yang berimpit dengan batas negara yang mengakibatkan perubahan bentuk dan/atau luasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26

    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 98

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

  3. Korporasi yang turut serta melakukan atau membantu terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 99

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

  2. Orang perseorangan yang karena kelalaiannya menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

  3. Korporasi yang menggunakan dana yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur hidup serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).

Pasal 100

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  2. Korporasi yang mencegah, merintangi, dan/atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung upaya pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 101

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

  2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan serta paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

  3. Korporasi yang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 102

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  2. Korporasi yang menghalang-halangi dan/atau menggagalkan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 103

  1. Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  2. Korporasi yang melakukan intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 104

Setiap pejabat yang dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya perbuatan pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 19, tetapi tidak menjalankan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 105

Setiap pejabat yang:

  1. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a;

  2. menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b;

  3. melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c;

  4. ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d;

  5. melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e;

  6. menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf f; dan/atau

  7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 106

Setiap pejabat yang melakukan kelalaian dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf h dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 107

Setiap kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 20 sampai dengan Pasal 26 yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana pokok.

Pasal 108

Selain penjatuhan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 84, Pasal 94, Pasal 96, Pasal 97 huruf a, Pasal 97 huruf b, Pasal 104, Pasal 105, atau Pasal 106 dikenakan juga uang pengganti, dan apabila tidak terpenuhi, terdakwa dikenai hukuman penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lama pidana sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Pasal 109

  1. Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

  2. Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.

  3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

  4. Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi agar menghadap sendiri di sidang pengadilan dan dapat pula memerintahkan agar pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.

  5. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103.

  6. Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 103, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian perusahaan.

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. perkara tindak pidana perusakan hutan yang telah dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan berdasarkan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) tetap dilanjutkan sampai memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap; dan

  2. perkara tindak pidana perusakan hutan dalam kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 tanggal 12 Februari 2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 111

  1. Lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 harus telah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

  2. Sejak terbentuknya lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanganan semua tindak pidana perusakan hutan yang terorganisasi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini menjadi kewenangan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Pasal 112

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

  1. ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, serta huruf k; dan

  2. ketentuan Pasal 78 ayat (1) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (1) serta ayat (2) mengenai ketentuan pidana terhadap Pasal 50 ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (6), ayat (7), ayat (9), dan ayat (10)

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 113

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) yang mengatur tindak pidana perusakan hutan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 114

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd

AMIR SYAMSUDIN

 

Demikianlah bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

[ Foto Illegal rosewood stockpiles in Antalaha, Madagascar By Anonymous - email, CC BY-SA 3.0, Link ]

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA