Orang kaya yang sedang sakit dan tidak dapat melakukan perjalanan jauh maka ia melakukan ibadah haji

Diterbitkan pada 28 Okt 2020

Tahukah kamu bahwa ada beberapa macam haji. Yaitu, haji ifrad, haji qiran, haji tamattu. Tiga macam haji itu perbedaannya terletak pada waktu pelaksanaan haji dan umrah. Supaya lebih jelas, mari simak penjelasan berikut.
 

Haji Ifrad


Ifrad artinya menyendirikan. Jika memilih melaksanakan Haji Ifrad, maka seorang jemaah haji melaksanakan ibadah haji saja dan tidak melakukan ibadah umrah. Mereka yang melaksanakan haji ifrad tidak dikenakan dam atau denda.

Cara Pelaksanaan Haji Ifrad:
 

1. Melaksanakan ibadah haji saja (tanpa melakukan umrah)

2. Melakukan ibadah haji terlebih dahulu, lalu melaksanakan umrah setelah selesai berhaji.

Ada pula dua cara lain melakukan haji ifrad, yaitu:

1. Melakukan umrah di luar bulan-bulan haji. Kemudian, melakukan haji pada bulan haji.

2. Umrah dilakukan pada bulan haji, kemudian kembali ke rumah, baru pergi lagi berhaji pada bulan haji di tahun yang sama.

Urutan pelaksanaannya adalah, ihram dari miqat untuk melaksanakan haji, kemudian berihram lagi dan mengambil miqat untuk melakukan ibadah umrah. Jemaah tidak membayar dam dan disunnahkan melakukan tawaf qudum. Tawaf qudum adalah tawaf pertama yang dilakukan jemaah saat sampai di Mekkah.

Haji Qiran
 

Qiran memiliki makna berteman atau bersamaan. Jemaah haji yang melakukan haji qiran akan melakukan ibadah haji dan umrah secara bersamaan. Hal ini dilakukan dengan sekali niat sekaligus untuk haji dan umrah. Namun, jamaah diharuskan membayar dam.

Pelaksanaannya dilakukan pada bulan-bulan haji. Jemaah melakukan tawaf, sa'i, dan tahallul satu kali untuk haji dan umrah.

Jemaah yang memilih melakukan haji qiran akan dikenakan denda atau dam berupa menyembelih seekor kambing. Bagi mereka yang tidak mampu, jemaah harus menggantinya dengan berpuasa 10 hari. Ketentuannya, 3 hari puasa dilakukaan saat di Mekkah dan 7 hari puasa ketika sudah di Tanah Air. Jemaah juga disunnahkan melakukan tawaf qudum ketika tiba di Mekkah.
 

Haji Tamattu
 

Haji tamattu merupakan haji yang paling sering dilakukan jemaah haji asal Indonesia. Mereka yang memilih haji tamattu akan melakukan ibadah haji setelah melaksanakan umrah.

Haji tamattu disebut lebih mudah dilakukan jika dibandingkan dua jenis haji lainnya. Alasannya, setelah selesai tawaf dan umrah, lalu tahallul, dan bebas dari larangan saat ihram.

Sama seperti haji qiran, jemaah yang melakukan haji tamattu wajib membayar dam atau denda dengan menyembelih seekor kambing. Atau, jemaah bisa menggantinya dengan puasa 10 hari.

Mana Haji yang Lebih Disarankan?
 

Seperti diberitakan oleh Republika, Juli 2016, Kementerian Agama menyarankan jemaah haji Indonesia memilih haji tamattu. Haji tamattu dinilai paling sederhana dilakukan oleh jemaah. Pasalnya, jika melakukan haji tamattu, maka jemaah melakukan ibadah umrah terlebih dahulu, baru kemudian melakukan prosesi ibadah haji. Keuntungan melakukan haji tamattu, jemaah bisa kembali berpakaian biasa setelah melakukan ibadah umrah.

Sementara, jika haji qiran, maka jemaah harus mengenakan pakaian ihram hingga tiba waktunya pelaksanaan ibadah haji.

Bagaimana dengan haji ifrad? Menurut Kementerian Agama, jemaah dikhawatirkan sudah kelelahan saat umrah, karena ibadah ini dilakukan setelah selesai melakukan rangkaian ibadah haji. Sementara, rangkaian ibadah haji cukup menguras energi jemaah.

Sebenarnya, tidak ada ketentuan harus melakukan ibadah haji sekaligus umrah. Akan tetapi, menurut Kementerian Agama, kesempatan berada di Tanah Suci sebaiknya digunakan untuk ibadah haji sekaligus umrah. Dengan mengetahui jenis-jenis haji sebelum berangkat ke Tanah Suci, kita bisa lebih mempersiapkan diri dan memiliki gambaran rangkaian ibadah yang akan kita jalani.

Perluasan Ganjil Genap Jakarta di 25 Ruas Jalan, Efektif Atasi Kemacetan?

Oleh Liputan6.com pada 09 Jul 2019, 09:07 WIB

Diperbarui 01 Apr 2021, 09:50 WIB

Perbesar

Jemaah haji Indonesia yang meninggal dunia dipastikan mendapat asuransi. (www.kemenag.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Haji adalah salah satu ibadah yang wajib dijalani sekali seumur hidup bagi umat Islam yang mampu. Pengertian mampu pada haji tidak hanya dalam finansial, melainkan fisik maupun kesehatan.

Ibadah haji merupakan ibadah yang istimewa karena menggabungkan finansial dan fisik. Sebab, selain harus mengerahkan jerih payah secara fisik, orang yang menunaikan ibadah haji juga harus mengorbankan harta bendanya.

Umat Islam yang menunaikan ibadah haji harus pergi meninggalkan tanah airnya dengan mengalami berbagai rintangan dan menjalani kehidupan sebagai pengembara. Selain itu, umat Islam yang hendak ke Tanah Suci juga harus merelakan harta bendanya sebagai biaya transpotasi. Semua itu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Maka sebab itu, dalil Alquran menyebutkan ibadah haji wajib dijalani bagi umat Islam yang mampu.

"Bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan," (QS Ali Imran : 97)

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Seperti dilansir buku '100 Tanya Jawab Haji dan Umrah' karya Yusuf Al Qaradhawi yang mengatakan bahwa tafsir "sanggup" dan "perjalanan" maksudnya adalah bekal dan kendaraan (transpotasi). Ini berarti orang yang bersangkutan harus mampu menyiapkan bekal yang cukup selama dirinya berpergian dan tinggal di Tanah Suci.

Selain itu, ada biaya akomodasi atau tempat tinggal. Ada orang yang harus tinggal di hotel atau di rumah sewaan. Termasuk dalam biaya untuk pemandu saat menjalani thawaf. Tidak hanya itu, calon jemaah haji juga harus mampu dalam memenuhi biaya yang cukup untuk nafkah keluarga yang ditinggalkannya sampai pulang ke tanah air.

Pasalnya ibadah haji berarti hijrah menuju Allah SWT dan melakukan perjalanan, sehingga membutuhkan ongkos.

Reporter: Nabila Bilqis

Lanjutkan Membaca ↓

Dari lima rukun Islam dan ibadah-ibadah yang disyariat Allah SWT, hanya hajilah yang yang pensyariatannya diikuti kata istitha'ah (mampu). Artinya, gugurlah kewajiban melaksanakan haji tersebut kalau tidak ada istitha'ah. Firman Allah SWT, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah." (QS Ali Imran [3]: 97).

Para ulama telah mendefinisikan istitha'ah dan mengejawantahkannya dalam beberapa kriteria. Mereka yang layak memikul istitha'ah untuk berangkat haji harus memenuhi beberapa persyaratan dan kriteria. Jika tak terpenuhi persyaratannya, gugurlah kewajiban haji bagi dirinya.

Syekh Abdul Azhim Badawi dalam kitabnya al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz menerangkan, istitha'ah untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah terwujud dengan beberapa syarat. Pertama, sehat secara jasmani. Jika orang itu tidak sehat dan tidak mampu melakukan perjalanan jauh, gugurlah kewajiban haji baginya. Terkecuali, ia punya harapan sehat dan bisa sehat di kemudian hari. Maka istitha'ah akan ada baginya setelah ia sehat.

Hal ini berdalil dengan hadis Abdullah bin Abbas RA yang mengisahkan seorang wanita dari Khats'am bertanya kepada Rasulullah SAW. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji saat dia telah tua renta. Tetapi, dia tidak mampu untuk tetap bertahan di atas kendaraan, apakah aku melaksanakan haji untuk mewakilinya?" tanya wanita tersebut. Beliau SAW menjawab, "Lakukankah haji untuk (mewakili)-nya." (HR Bukhari Muslim)

Syarat kedua, adanya bekal yang cukup untuk berangkat ke Tanah Suci. Syarat ini mencakup cukupnya bekal untuk mengadakan perjalanan pulang pergi serta bekal bagi keluarga yang ditinggalkan. Jika hanya cukup untuk dirinya yang akan berangkat saja, sementara keluarga yang nafkahnya masih dalam pertanggungannya tidak tercukupi, gugurlah kewajiban haji baginya.

Hal ini berdalil dengan hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, "Cukuplah dosa bagi seseorang (tatkala) dia menyia-nyiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya." (HR Nasa'i dan Hakim).

Sebenarnya istitha'ah dalam hal finansial bisa disiasati dengan menabung. Jika seseorang bisa mencicil kendaraan, seperti motor dan mobil, tentulah ia juga bisa menabung untuk berangkat ke Tanah Suci.

Misalkan, cicilan motor Rp 800 ribu setiap bulannya. Dalam kurun empat tahun saja, ia sudah bisa mengumpulkan dana Rp 33,6 juta. Demikian juga kalkulasi orang yang mencicil mobil Rp 3 juta per bulan. Dalam setahun saja ia bisa mengumpulkan dana Rp 36 juta. Jika untuk membeli kendaraan saja mereka sanggup, pastilah mereka juga sanggup mencicil ONH sebesar Rp 35 juta.

Dalam kaidah fikih ditegaskan, sesuatu yang wajib harus mendapatkan prioritas dari yang sunah. Jika kebutuhan sekunder, seperti kendaraan bahkan gaya hidup adalah kebutuhan tambahan yang bisa dipenuhi, tentu kebutuhan wajib yang menjadi pilar rukun Islam, yakni haji harus terpenuhi pula.

Mufti Arab Saudi Syekh Utsaimin menegaskan, setiap umat Islam harus bertekad dan bersungguh-sungguh memenuhi seluruh rukun Islam mereka, jika mereka ingin tergolong dan tercatat sebagai umat Islam. Salah satunya adalah haji ke Baitullah. Alasan istitha'ah dalam hal finansial haruslah disiasati dengan menabung, walau memakan waktu berpuluh tahun.

Kendati demikian, Syekh Utsaimin juga tidak memperbolehkan calon jamaah haji (CJH) yang akan berangkat haji dengan cara mengutang. Jika memang secara finansial belum mampu, tidak boleh pula dipaksakan. Firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS al-Baqarah [2]: 286).

Syarat ketiga, terjaminnya keamanan dalam perjalanan dan tempat lokasi yang dituju. Misalkan, salah satu tempat manasik, seperti Mina, Muzdalifah, atau Arafah dikabarkan tidak aman yang mengancam jiwa jamaah haji. Maka gugurlah kewajiban haji baginya di tahun tersebut selama masih belum dalam kondisi aman.

Hal ini berdalil dengan kaidah fikih yang menyebutkan, la dharara wala dirara (tidak boleh ada faktor memudharatkan dan dimudharatkan). Kaidah juga menegaskan, segala faktor yang menimbulkan terjadinya kemudharatan harus dihindari. Hal demikian bila kadarnya sampai mengancam jiwa dan keselamatan jamaah haji.

Syekh Badawi mengatakan, jika ketiga syarat ini sudah terpenuhi, seorang laki-laki sudah bisa dikatakan istitha'ah. Adapun bagi perempuan, sebahagian ulama mensyaratkan harus ada pendamping dengan mahram. Kaum wanita tidak boleh melakukan safar (perjalanan jauh) seorang diri. Namun, sebahagian ulama lainnya menyebutkan, berangkatnya jamaah haji dalam rombongan sudah menggugurkan syarat mahram bagi wanita.

Pengarang kitab Fat-hul Mu'in, Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, mendefinisikan istitha'ah menyepakati tiga kriteria yang disyaratkan Syekh Badawi. Jika salah satunya hilang, taklif (beban) berangkat haji pun hilang. Di samping itu, menurut Syekh Zainuddin, seorang yang telah cukup syarat-syarat istitha'ah pada dirinya harus membekali diri dengan pengetahuan manasik haji.

Adapun orang yang punya kemampuan namun tidak juga melaksanakan ibadah haji tanpa ada uzur atau alasan syar'i, tahzir (peringatan) bagi mereka sangatlah keras. Mengingat haji adalah rukun Islam, maka seorang mukalaf yang tidak melaksanakan haji tidak bisa dikatakan telah sempurna keislamannya.

Allah SWT menyindir orang yang tak mau berangkat haji dalam Alquran, "Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran [3]: 97). Maksudnya, Allah berlepas diri dari mereka. Kebaikan dan amal saleh yang dilakukannya tak dipandang di sisi Allah SWT. Ibaratnya, mereka tak dianggap lagi sebagai bahagian dari umat Islam.

Umar bin Khattab RA menegaskan, siapa yang punya kemampuan tapi tidak mau menunaikan haji, sama saja dia ingin mati sebagai orang Yahudi atau Nasrani. Yang demikian karena ia belum menyempurnakan rukun Islam, padahal dia ada kemampuan. Sebagaimana diketahui, suatu ibadah dipandang tidak sah jika rukunnya tidak sempurna.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/85) meriwayatkan, Umar bin Khatab bahkan ingin mengutus petugas ke berbagai penjuru negeri untuk memeriksa kaum Muslimin. Siapa di antara mereka yang memiliki istitha'ah tetapi enggan berangkat haji, mereka diancam untuk membayar fidyah. Umar bin Khatab bahkan menyebut orang-orang tersebut sebagai kalangan yang bukan lagi dari kaum Muslimin.

Karena urgensi dari kewajiban haji ini pulalah, khusus ibadah haji boleh dibadal (digantikan) oleh orang lain. Misalkan, seorang yang berniat berangkat haji tetapi maut terlebih dahulu menjemputnya. Ahli waris atau orang yang dekat dengannya boleh membadalkan hajinya. Istilah badal dalam ibadah seperti ini tidak ditemui dalam ibadah-ibadah yang lain, terkecuali haji. Allahu a'lam. n ed: hafidz muftisany

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA