Najis yang dapat dibersihkan dengan memercikkan air secara kuat disebut

Macam dan tata cara menyucikan najis penting diketahui setiap Muslim demi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Macam dan tata cara menyucikan najis penting diketahui setiap Muslim demi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya.

Secara bahasa najis berarti segala sesuatu yang dianggap kotor meskipun suci. Bila berdasarkan arti harfiah ini maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori barang najis, seperti ingus, air ludah, air sperma dan lain sebagainya. Sedangkan secara istilah ilmu fiqih najis adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang menjadikan tidak sahnya ibadah shalat (lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kaasyifatus Sajaa [Jakarta: Darul Kutub Islamiyah: 2008], hal. 72).

Di dalam fiqih najis dikelompokkan dalam 3 kategori, yakni najis mukhaffafah, najis mutawassithah, dan najis mughalladhah. Sebagaimana ditulis oleh para fuqaha dalam kitab-kitabnya, salah satunya oleh Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safiinatun Najaa:


 

فصل النجاسات ثلاث: مغلظة ومخففة ومتوسطةالمغلظة نجاسة الكلب والخنزير وفرع احدهما والمخففة بول الصبي الذي لم يطعم غير اللبن ولم يبلغ الحولين والمتوسطة سائر النجاسات

Artinya:“Fashal, najis ada tiga macam: mughalladhah, mukhaffafah, dan mutawassithah.Najis mughalladhah adalah najisnya anjing dan babi beserta anakan salah satu dari keduanya. Najis mukhaffafah adalah najis air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu dan belum sampai usia dua tahun. Sedangkan najis mutawassithah adalah najis-najis lainnya.”

Untuk lebih rincinya perihal apa saja yang termasuk barang najis—terutama najis mutawassithah—silakan baca artikel berjudul "Mengenal Barang-barang Najis menurut Fiqih".

. Ketiga kategori najis tersebut masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyucikannya. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana cara menyucikan ketiga najis tersebut perlu diketahui istilah “najis ‘ainiyah” dan “najis hukmiyah” terlebih dahulu.

Najis ‘ainiyah adalah najis yang memiliki warna, bau dan rasa. Sedangkan najis hukmiyah tidak ada lagi adalah najis yang tidak memiliki warna, bau, dan rasa. Dengan kata lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya, sedangkan najis hukmiyah adalah najis yang sudah tidak ada wujudnya namun secara hukum masih dihukumi najis. Pengertian ini akan lebih jelas pada pembahasan tata cara menyucikan najis.

Adapun tata cara menyucikan najis sebagai berikut:

1. Najis mughalladhah dapat disucikan dengan cara membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Namun sebelum dibasuh dengan air mesti dihilangkan terlebih dulu ‘ainiyah atau wujud najisnya. Dengan hilangnya wujud najis tersebut maka secara kasat mata tidak ada lagi warna, bau dan rasa najis tersebut. Namun secara hukum (hukmiyah) najisnya masih ada di tempat yang terkena najis tersebut karena belum dibasuh dengan air.

Untuk benar-benar menghilangkannya dan menyucikan tempatnya barulah dibasuh dengan air sebanyak tujuh kali basuhan di mana salah satunya dicampur dengan debu. Pencampuran air dengan debu ini bisa dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, mencampur air dan debu secara berbarengan baru kemudian diletakkan pada tempat yang terkena najis. Cara ini adalah cara yang lebih utama dibanding cara lainnya.

Kedua, meletakkan debu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya air dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Ketiga, memberi air terlebih dahulu di tempat yang terkena najis, lalu memberinya debu dan mencampur keduanya, baru kemudian dibasuh.

Baca juga: Bisakah Sabun Menggantikan Debu untuk Menyucikan Najis Anjing?


2. Najis mukhaffafah yang merupakan air kencingnya bayi laki-laki yang belum makan dan minum selain ASI dan belum berumur dua tahun, dapat disucikan dengan cara memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Cara memercikkan air ini harus dengan percikan yang kuat dan air mengenai seluruh tempat yang terkena najis. Air yang dipercikkan juga mesti lebih banyak dari air kencing yang mengenai tempat tersebut. Setelah itu barulah diperas atau dikeringkan. Dalam hal ini tidak disyaratkan air yang dipakai untuk menyucikan harus mengalir.

3. Najis mutawassithah dapat disucikan dengan cara menghilangkan lebih dahulu najis ‘ainiyah-nya. Setelah tidak ada lagi warna, bau, dan rasan najis tersebut baru kemudian menyiram tempatnya dengan air yang suci dan menyucikan.

Sebagai contoh kasus, bila seorang anak buang air besar di lantai ruang tamu, umpamanya, maka langkah pertama untuk menyucikannya adalah dengan membuang lebih dahulu kotoran yang ada di lantai. Ini berarti najis ‘ainiyahnya sudah tidak ada dan yang tersisa adalah najis hukmiyah. Setelah yakin bahwa wujud kotoran itu sudah tidak ada (dengan tidak adanya warna, bau dan rasa dan lantai juga terlihat kering) baru kemudian menyiramkan air ke lantai yang terkena najis tersebut. Tindakan menyiramkan air bisa cukup di area najis saja, dan sudah dianggap suci meski air menggenang atau meresap ke dalam. Selanjutnya kita bisa mengelapnya lagi agar lantai kering dan tak mengganggu orang.

Mengetahui macam dan tata cara menyucikan najis adalah satu ilmu yang mesti diketahui oleh setiap Muslim mengingat hal ini merupakan salah satu syarat bagi keabsahan shalat dan ibadah lainnya yang mensyaratkannya. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)


 

Kisah-Kisah Nabi Isa

KH Masruchan Bisri Pengasuh Pondok Pesantren Askhabul Kahfi, Mijen, Kota Semarang

RADARSEMARANG.ID – Arti najis secara lughoh كُلُّ مُسْتَقْذَرٍ : setiap barang yang menjijikkan, atau اَلْقَذَرَة : kotoran. Najis menurut istilah syara` ialah: segala kotoran atau barang yang menjijikkan yang menghalangi sahnya sholat yang dikerjakan dalam keadaan tiada keringanan. Kata النَّجَسُ (najis) adalah kebalikan dari الطَّاهِرُ (suci). Hukum menghilangkan najis  menurut jumhurul fuqoha` kecuali Malikiyyah adalah wajib, berdasarkan Firman Allah : وَ ثِیَابَكَ فَطَهِّرْ  “ Dan sucikanlah pakaianmu” ( QS Al Mudatsir : 4 ). Dari Abi Huroiroh RA : ia berkata,”Seorang Arab Badui berdiri dan kencing didalam masjid, orang – orang bangkit dan ingin menghajarnya. Tetapi Rosulullah SAW berkata :

دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سِجْلًامِنْ مَاءٍ أَوْذَنُوْبًا ِمنْ مَاءٍ فَاِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْامُعَسِّرِيْنَ

“Biarkanlah ia, sirami kencingnya dengan satu ember atau satu timba air. Kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit” (HR. Bukhori). Dan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, Abi Daud dan At-tirmidzi, yaitu: perintah Nabi untuk membasuh darah haidh yang ada di pakaian.

Dalam ilmu fiqh, najis ditinjau dari segi sifat terbagi menjadi tiga, yaitu: pertama najis mukhoffafah (najis ringan), kedua najis mutawasithoh (najis sedang) dan ketiga najis mugholladhoh (najis berat).

Najis Mukhoffafah

Najis mukhoffafah ialah: air kencingnya bayi laki – laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan dan minum kecuali air susu ibu. Cara mensucikan najis ini yaitu: menghilangkan wujudnya najis terlebih dahulu, dan setelah hilang kemudian memercikkan air diatas tempat yang terkena najis secara merata (seluruh tempat yang terkena najis). Jika yang terkena najis adalah kain, maka kain tersebut harus diperas atau dikeringkan terlebih dahulu, kemudian baru diperciki air. Dan membasuh najis mukhoffafah lebih utama daripada memercikkan air.

Nabi Muhammad SAW bersabda : يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ

“Air kencing bayi perempuan harus dibasuh, sedangkan air kencing bayi laki – laki cukup diperciki air”. (HR. Abu Daud, An-Nasa`i dan Al Hakim).

Najis mukhoffafah wajib dibasuh, jika najis tersebut bercampur dengan cairan lain, karena cairan itu menjadi najis. Perbedaan antara الرَشُّ (memercikkan) dan الغَسْلُ (membasuh) yaitu: jika ar-rosysyu airnya tidak mengalir sedangkan al ghoslu airnya mengalir.

Najis Mutawasitoh

Najis mutawasitoh terbagi menjadi dua bagian. Pertama najis `ainiyah ( عَيْنِيَّة ) yaitu najis yang kelihatan wujudnya, najis ini bisa diketahui dengan ketiga sifatnya, yaitu warna ( لَوْنٌ ) seperti putih, hitam, merah dll, bau ( رِيْحٌ ) dan rasa (طَعْمٌ ) seperti manis dan sebaliknya. Adapun cara mensucikan najis `ainiyah ini ialah: menghilangkan ketiga sifat tersebut (warna, bau dan rasa) terlebih dulu dan selanjutnya dibasuh dengan air. Jika salah satu diantara warna dan bau sulit dihilangkan maka dihukumi suci, namun apabila keduanya berkumpul dalam satu tempat dari najis yang tunggal, maka hukumnya masih tetap najis. Begitu pula rasa yang belum hilang masih dihukumi najis, karena pada umumnya menghilangkan rasa adalah mudah.

Bagian yang kedua dari najis mutawasithoh ialah najis khukmiyah, yaitu najis yang sifat – sifatnya tidak terlihat, seperti air kencing yang sudah kering, dan cara mensucikannya adalah cukup dengan mengalirkan air diatas tempat yang terkena najis, meskipun satu kali aliran.

Barang – barang yang termasuk golongan najis mutawasitoh ialah :

  • Madzi (مَذِيْ), yaitu cairan yang tidak kental dan berwarna putih atau kuning yang keluar ketika syahwat (sex) bergejolak dengan gejolak yang tidak begitu kuat. Cairan ini bisa keluar dari laki – laki maupun perempuan, namun cairan ini lebih banyak dikeluarkan oleh perempuan. Dalam persoalan ini, Ali R.A berkata:” Aku adalah laki – laki yang sering kali mengeluarkan madzi ( مَذَّاءً ), kemudian aku menyuruh seseorang untuk menemui Rosulullah SAW dan bertanya. Aku malu untuk bertanya sendiri karena putri beliau, Fatimah adalah istriku. Ketika lelaki itu bertanya, beliau menjawab, “Berwudhulah, cukup kamu cuci dzakarmu” (HR. Bukhori).
  • Wadi (وَدِيْ) yaitu cairan kental yang berwarna putih, kotor dan biasanya keluar setelah kencing atau pada waktu membawa beban yang berat. Ibnu Abbas RA, mengatakan,” Mani mewajibkan seseorang untuk mandi, sedangkan madzi dan wadi harus disucikan dengan sempurna”. Dalam redaksi yang lain ia berkata ketika ditanya tentang hukum wadi dan madzi, ”Basuhlah zakar dan kedua buah zakarmu, lalu berwudhulah seperti ketika engkau berwudhu akan melaksanakan sholat”.
  • Bangkai, yaitu binatang yang mati tanpa disembelih. Dasar bangkai termasuk najis adalah Firman Allah QS. Al Maidah ayat 3:” Diharamkan bagi kalian bangkai dan darah, kecuali bangkai ikan dan belalang”. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rosulullah SAW bersabda: “Ada dua bangkai dan dua darah yang halal bagi kita, kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah itu adalah hati dan jantung”. Sebagian tubuh binatang yang dipotong dari binatang yang masih hidup termasuk dalam kategori bangkai. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nabi bersabda:”Sesuatu yang dipotong dari tubuh binatang yang masih hidup adalah bangkai”.
  • Darah, Dasar atau dalil bahwa darah itu najis adalah Firman Allah QS. Al An`am ayat 145:” Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu berupa bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu adalah rijsun (najis dan basin /kotor)”. Hadits Nabi SAW:” Datang seorang wanita kepada Nabi SAW, ia berkata:” Salah seorang diantara kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang perlu dilakukan? Nabi bersabda:” Hendaknya kamu kerik dan kamu sikat dengan menggunakan air kemudian kamu bilas”. (HR. Bukhori Muslim).
  • Nanah, karena ia adalah darah yang warnanya telah berubah menjadi putih. Begitu juga seperti nanah yaitu air luka, air bisul, air koreng jika telah berubah, maka hukumnya najis, dan jika tidak berubah maka air itu suci.
  • Tinja dan air kencing, baik yang keluar dari manusia atau hewan secara mutlak (hewan yang dagingnya halal di makan atau tidak). Dasar tinja dan air kencing itu najis adalah : perintah Nabi kepada Amar agar membasuh pakaiannya dari kotoran ( الْغَائِط ) dan dari air kencing. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas`ud RA, ia berkata: ‘Saya datang kepada Nabi dengan membawa dua batu dan tinja ( tletong ) kemudian Nabi mengambil dua batu dan membuang tletong dan Nabi berkata : ini adalah najis (رِكْسٌ )”. Adapun hadits nabi yang memerintahkan orang – orang dari Kabilah Ukal dan Urainah yang tiba di Madinah, dan mereka sakit perut (masuk angin) agar minum air kencing unta adalah untuk berobat (ِللتَّدَاوِى ). Dan berobat dengan barang yang najis adalah boleh ( جَائِزٌ) ketika tidak ada barang yang suci. ( وَالتَّدَاوِى بِالنَّجَسِ  جَائِزٌ عِنْدَ فَقْدِ الطَاهِرالَّذِى يَقُوْمُ مَقَامَهُ). Oleh karena itu As-syafi`iyyah dan Khanafiyyah berpendapat bahwa kotoran dan air kencing dari hewan yang dagingnya halal dimakan tetap najis, hanya saja Khanafiyah memasukkan najis ini dalam kategori najis mukhoffafah.
  • القَيْء (muntah), meskipun tidak berubah dari keadaan aslinya. Muntah ialah: makanan yang keluar kembali setelah sampai kedalam perut, sekalipun berupa air. Muntah seperti ini hukumnya sama dengan air kencing yaitu najis. Adapun makanan yang muntah kembali sebelum sampai kedalam perut, baik yakin atau dimungkinkan, bukan termasuk benda najis dan bukan pula benda yang terkena najis. Dasar muntah termasuk barang najis ialah perintah Nabi kepada Amar untuk membasuh pakaiannya dari kotoran dan air kencing, juga diperintah untuk membasuh darah dan muntah darinya. Begitu pula najis, yaitu dahak yang keluar dari perut, berbeda dengan dahak yang keluar dari kepala, tenggorokan atau dada, maka ia suci.
  • Termasuk najis: empedu, air susu binatang yang haram dimakan dagingnya selain air susu manusia. Air mani adalah suci, berbeda dengan pendapat Imam Malik dan Imam Auza`i, menurut kedua imam ini, mani adalah najis. Dasar mani adalah suci, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Thobroni: dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi ditanya tentang mani yang mengenai pakaian. Nabi berkata :”Hilangkan mani itu dengan cara dikerik, karena ia adalah seperti ludah dan ingus”. Dan hadits lain dari Aisyah. Ia berkata:” saya telah mengerik mani dari pakaian Rosulullah SAW, kemudian Rosulullah SAW sholat dengan mengenakan pakaian tersebut”.
  • Barang yang memabukkan (كُلُّ مُسْكِرٍ ), seperti arak (خمر), yaitu cairan yang memabukkan yang terbuat dari anggur, dan tuak (نَبِيْذ), yaitu cairan yang memabukkan yang terbuat dari selain anggur. Adapun bahan pemabuk yang tidak berupa cairan, maka tidak termasuk benda najis, seperti pohon ganja dan khasyiyi (بَنْجِ وَالْحَشِيْشِ). Firman Allah QS Al Maidah ayat 90: “Sesungguhnya khomer (minuman keras), berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji (رِجْسٌ) dan termasuk perbuatan setan” ( الرِجْسُ عِنْدَالْعَرَبِ النَجَسُ) قَوْلُهُ

Bagian najis yang ketiga adalah najis mugholladhoh

Najis mugholladhoh adalah najisnya anjing dan babi beserta peranakan salah satu dari keduanya, karena ia adalah makhluq yang berasal dari najis maka ia juga dihukumi najis. Jika anjing atau babi kawin dengan hewan lain meskipun dengan hewan yang dagingnya halal dimakan dan kemudian melahirkan anak, maka anaknya dihukumi najis ( mugholladhoh ). Seandainya seekor anjing atau babi menyetubuhi seorang wanita yang kemudian membuahkan seorang anak, maka anak ini dihukumi benda najis ( مُتَنَجِس ). Dan dalam hal ini ia termasuk orang mukallaf yang wajib melaksanakan sholat dan ibadah- ibadah lainnya. Set bangkai anjing dan babi dihukumi suci, begitu juga benang labah – labah ( نَسْجُ عَنْكَبُوْت ). Najis mugholladhoh bisa disucikan dengan cara membasuhnya sebanyak tujuh kali basuhan, dan salah satunya harus dicampur dengan debu. Dalam sebuah hadits Nabi bersabda : طَهُوْرُإِنَاءِاَحَدِكُمْ اِذَاوَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ اَنْ يُغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ

Baca juga:  Transformasi Digital BRI Raih Dua Penghargaan Internasional

“Sucinya wadah air kalian yang dijilat oleh anjing adalah dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dengan debu” ( HR. Muslim ). Debu yang digunakan untuk mencampur harus debu yang suci, tidak boleh debu yang najis dan debu yang musta`mal (debu yang telah digunakan untuk bertayamum). Begitu pula tepung, gamping, debu batu, pasir dan sejenisnya tidak boleh digunakan untuk mencampur air yang akan digunakan untuk membersihkan najis mugholladhoh.

Bentuk – bentuk najis yang di ma`fu (diampuni), antara lain:

1) Sejenis darah nyamuk, termasuk segala serangga yang tidak berdarah mengalir, seperti mrutu dan kutu.

2) Darah sejenis kudis, seperti wudun semat, darah luka – luka, nanah (قَيْح), nanah uwuk (صَدِيْد) dari sejenis kudis, meskipun darah – darah tersebut banyak dan bahkan mengalir bersama keringat. Dengan syarat darah – darah tersebut (sejenis darah nyamuk dan kudis) tidak diusahakan atau dilakukan dengan sengaja, misalnya membunuh nyamuk di pakaian, memeras (memlotot) sejenis kudis, memakai  pakaian yang berlumuran darah nyamuk, lalu dipakai untuk sholat atau menggunakan sajadah yang berlumuran darah untuk alas sholat.

3) Sedikit darah orang lain yang bukan mugholladhoh, begitu pula diampuni darahnya sendiri yang telah berpisah kemudian mengenai badannya lagi. Namun, jika darah yang seperti ini banyak, maka tidak dima`fu.

4). Sedikit darah sejenis haidh dan darah hidung ( mimisen). Disamakan hukumnya dengan darah haidh dan mimisen, yaitu sedikit darah yang keluar dari lobang – lobang tubuh selain lobang jalan keluarnya najis seperti dubur. Dasar ukuran sedikit atau banyak (darah ) adalah adat atau kebiasaan yang berlaku.

5) Darah yang keluar dari sejenis tusuk jarum dan bekam meskipun banyak yang masih tertinggal ditempat yang luka. Sholatnya seseorang yang gusinya berdarah, dan belum mencuci mulut serta tidak menelan ludah (yang bercampur dengan darah) selama dalam sholat, maka sholatnya dihukumi sah, karena darah gusi yang bercampur dengan ludah sendiri termasuk dihukumi ma`fu.

6) Bekas najis sesudah istijmar atau peper (bersuci dengan menggunakan batu), tahi lalat, air kencing dan tahi kelelawar, jika mengenai tempat sholat, pakaian dan badan, meskipun banyak, dengan alasan sulit untuk menghindarinya.

7) Tahi segala burung yang telah kering mengenai tempat, jika cobaan ini bersifat umum (dimana – mana tempat kedapatan seperti ini).

Sholatnya seseorang yang membawa batu bekas alat bersuci, binatang yang pantatnya terdapat najis, binatang sembelihan yang telah dibersihkan tempat sembelihannya, namun kotoran dalam perutnya belum dibuang, bangkai suci seperti ikan laut yang belum dibersihkan kotoran dalam perutnya, atau membawa telur mandul (jawa : uwukan) yang isinya telah berdarah, maka sholat orang tersebut dihukumi tidak sah. Begitu pula sholatnya tidak sah, bagi orang yang membawa sesuatu dimana ujungnya terkena najis, meskipun ujung ini tidak bergerak bersama gerakan sholatnya.

Tiga barang yang mulanya najis bisa menjadi suci

Pertama, arak yang telah menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa dicampuri dengan benda lain, baik benda cair atau benda padat. Jika terjadinya cuka tersebut dicampuri dengan benda cair yang lain atau dimasukkan kedalamnya benda padat seperti kerikil, meskipun tidak digerak – gerakan maka cuka yang seperti ini hukumnya masih tetap najis.

Kedua, kulit bangkai baik dari binatang yang dagingnya halal di makan atau yang tidak halal, kulit bangkai seperti ini bisa menjadi suci dengan cara disamak terlebih dahulu.

Rosulullah SAW bersabda: اِذَادُبِغَ الْاِهَابُ فَقَدْطَهُرَ

“Jika kulit bangkai telah disamak maka kulit tersebut menjadi suci “(HR. Muslim).

Kaifiah atau cara menyamak, yaitu: pertama menghilangkan sisa – sisa daging, lemak dan lendir yang masih menempel pada kulit dengan sesuatu yang dapat menghilangkannya, meskipun menggunakan barang yang najis seperti kotoran burung dara. Kedua, dibasuh dengan air sampai bersih dan selanjutnya dijemur hingga kering.

Semua kulit bangkai bisa disamak, baik hewan yang dagingnya halal dimakan maupun yang tidak halal, seperti gajah, ular, harimau, buaya dll kecuali bangkai anjing dan babi serta peranakannya. Kulit yang sudah disamak dihukumi suci dan bisa digunakan untuk tas, dompet, sabuk, sepatu, alas sholat atau sajadah dll. Untuk kulit bangkai yang dagingnya halal dimakan tidak boleh dikonsumsi seperti dibuat kerupuk, krecek, lauk pauk dan lain sebagainya. Dan yang ketiga adalah hewan seperti set yang muncul atau berasal dari sesuatu yang najis, meskipun najis mugholladhoh, maka hewan tersebut dihukumi suci.

Kasyifatus Saja, Fatkhul Mu`in, Minhajul Qowwim, Kifayatul Akhyar, Fiqhul Islam wa Adillatihi, Bidayatul Mujathid, Al Muhadzab, Al Bayan ( Syarah Al Muhadzab )

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA