Mengapa perempuan menjadi kelompok yang penting dalam Kajian kekuatan sosial politik

Jakarta - Pendaftaran bakal calon legislatif untuk pemilu nasional 2019 sudah berlangsung 4 hingga 17 Juli lalu. Salah satu yang patut diapresiasi adalah upaya parpol untuk memaksimalkan kuota 30 persen caleg perempuan. Di tingkat pusat, 16 parpol peserta pemilu berhasil memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009. UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan. Meski representasi perempuan di ranah politik praktis sudah didorong sedemikian rupa melalui berbagai macam kebijakan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Seturut data Inter Parliamentary Union (IPU), seperti dikutip Scholastica Gerintya (2017) di level ASEAN Indonesia menempati peringkat keenam terkait keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara di level dunia internasional, posisi Indonesia berada di peringkat ke-89 dari 168 negara, jauh di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan.

Kultur Patriarki

Kehadiran perempuan di ranah politik praktis yang dibuktikan dengan keterwakilan perempuan di parlemen menjadi syarat mutlak bagi terciptanya kultur pengambilan kebijakan publik yang ramah dan sensitif pada kepentingan perempuan. Tanpa keterwakilan perempuan di parlemen dalam jumlah yang memadai, kecenderungan untuk menempatkan kepentingan laki-laki sebagai pusat dari pengambilan kebijakan akan sulit dibendung. Rendahnya keterwakilan perempuan di ranah politik dapat dijelaskan ke dalam setidaknya dua pembacaan. Pertama, masih mengakar kuatnya paradigma patriarki di sebagian besar masyarakat Indonesia. Pola pikir patriarki cenderung menempatkan perempuan di bawah kekuasaan laki-laki. Perempuan dicitrakan sekaligus diposisikan sebagai pihak yang tidak memiliki otonomi dan kemandirian di semua bidang, termasuk politik. Praktik politik patriarkis ini tumbuh subur dan cenderung ditanggapi secara permisif lantaran dilatari oleh sejumlah hal. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme kadung menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, lalu dianggap sebagai sesuatu yang wajar belaka. Bahkan, perempuan yang nyaris selalu menjadi pihak pesakitan alias korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering hanya menerimanya sebagai kodrat.Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan laki-laki. Kelindan antara tradisi-budaya dan penafsiran agama inilah yang memungkinkan patriarkisme langgeng dan mewarnai hampir seluruh ranah kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali ranah politik. Kedua, institusi politik pada umumnya tidak benar-benar memiliki komitmen penuh pada pemberdayaan perempuan. Misalnya, dalam hal pengajuan bakal calon legislatif perempuan oleh parpol yang kerapkali hanya dilakukan demi memenuhi persyaratan pemilu. Selama ini, nyaris tidak ada langkah berarti yang menunjukkan komitmen parpol pada pemberdayaan politik perempuan.

Di level rekrutmen anggota dan kaderisasi, perempuan tetap masih menjadi pilihan kedua bagi parpol. Pada umumnya, parpol masih kurang yakin perempuan mampu menjadi vote getter dan menaikkan elektabilitas parpol. Asumsi ini tentu berkaitan dengan keterbatasan perempuan dalam kapital, baik finansial maupun sosial.

Rantai marjinalisasi yang terus berulang inilah yang menjadikan perempuan cenderung tidak memiliki kemandirian politik. Dalam panggung politik baik nasional maupun lokal, perempuan lebih sering diposisikan sebagai objek, alih-alih subjek. Alhasil, partisipasi politik perempuan pun cenderung rendah. Menurut Siti Musdah Mulia (2010), rendahnya partisipasi politik perempuan juga dilatari oleh adanya pemahaman dikotomistik tentang ruang publik dan ruang domestik. Bagi sebagian besar perempuan, terutama di level akar rumput dan pedesaan di mana mayoritas perempuan hidup, politik kerap dipersepsikan sebagai ruang publik yang tabu bagi perempuan. Politik juga kerap diidentikkan dengan kemandirian, kebebasan berpendapat dan agresivitas yang umumnya lekat dengan citra maskulin. Lebih dari itu, perempuan desa pada umumnya juga belum sepenuhnya memahami esensi demokrasi dan pentingnya pemilu sebagai salah satu sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang adil, sejahtera dan demokratis.

Kemandirian Politik

Secara statistik, jumlah penduduk Indonesia mencapai 240 juta jiwa, dan sekitar 50 persen di antaranya merupakan penduduk perempuan. Namun, dari pemilu ke pemilu, peta kekuasaan terkait keterwakilan perempuan cenderung tidak tampak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan tren negatif. Pada Pemilu 2004 sebanyak 65 perempuan berhasil mendapatkan kursi di parlemen. Jumlah itu hanya menyumbang 11, 82 persen keterwakilan perempuan di DPR. Pada Pemilu 2009 jumlah keterwakilan perempuan di parlemen naik menjadi 17, 86 persen. Sayangnya, jumlah itu turun sedikit menjadi 17, 32 persen di Pemilu 2014. Saat ini, dari total 560 anggota DPR RI, 97 di antaranya adalah perempuan. Angka-angka itu sekaligus menunjukkan bahwa kuota 30 persen perwakilan perempuan di parlemen belum sepenuhnya termaksimalkan. Peminggiran peran perempuan dalam kontestasi perempuan pada dasarnya merupakan pengingkaran terhadap nilai kemanusiaan. Deklarasi New Delhi 1997 menegaskan bahwa hak politik perempuan harus dipandang sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Ini artinya, jika kita mengakui hak asasi manusia, tidak ada alasan untuk kita tidak mengakui dan memfasilitasi hak politik perempuan.

Kurniawati Hastuti Dewi dalam bukunya Indonesian Women and Local Politics menyebutkan bahwa agenda mendesak yang harus dilakukan untuk mengakhiri praktik dominasi laki-laki dalam perpolitikan nasional adalah membentuk sebuah jejaring gerakan perempuan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung terpecah-pecah oleh perbedaan isu dan wacana yang diangkat.

Dalam lingkup yang lebih luas, diperlukan pula sebuah gerakan yang membangkitkan kesadaran publik akan pentingnya praktik politik berbasis keadilan gender. Persepsi publik bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang tidak cocok dengan dunia politik mutlak harus diakhiri. Begitu pula tafsir keagamaan yang cenderung mengidentikkan kepemimpinan dengan maskulinitas idealnya harus digeser ke perspektif yang lebih sensitif gender.

Siti Nurul Hidayah peneliti, alumnus UIN Sunan Kalijaga
(mmu/mmu)

Artikel Badan Pendidikan dan Latihan(Badan Pendidikan dan Latihan) 31 Juli 2016 10:39:50 WIB

Oleh : Herita Dewi.(

(Widyaiswara Badan Diklat Prov. Sumbar)

Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki maupun perempuan, atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayahdan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform Aksi Beijing dan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasiterhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) merekomendasikan agar semua pemerintah di dunia agarmemberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan-jabatan appointif (berdasarkanpenunjukan/pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, dan semua sector  pembangunan di seluruh negeri. Ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, meskipun ada  kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas  sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik dan pengambilan keputusan terjadi di mana-mana. Perempuan baru pada tataran sebagai objek pembangunan belum menyasar sebagai pelaku pembangunan. Salah satu factor yang menyebabkan lingkaran ketidakadilan gender ini berada pada tataran kebijakan yang masih bias gender.

      Beberapa waktu terakhir, isu kesetaraan gender telah menjadi hal menonjol dalam platform pembangunan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Kitatentu memahami bahwa selama ini perempuan secara sosial terpinggirkan. Budaya partriarkis yang tidak ramah pada perempuan. Ada konstruksi sosial budaya yang menempatkanperempuan seolah-olah hanya boleh mengurus soal-soal domestik saja. Tak ada hak untuk merambah area public yang lain. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keyakinan itu masih tertanamkuat. Persoalan perwakilan perempuan menjadi penting manakala kita sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita melihat perempuan tidak secara proporsional terlibat dalam kehidupan di ranah publik. Hal ini sangat menyedihkan apabila dilihat dari komposisi penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang. Sebagai bentuk representasi perempuan di legislative masih sangat minim, yang masih menjadi pemikiran kita bersama

  1. Pembahasan
  2. Pendidikan Politik

  Representasi perempuan dalam bidang politik boleh dikatakan masih jauh dari apa yang kita harapkan. Pendidikan politik merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan untuk membentuk dan menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada setiap individu maupun kelompok. Proses pendidikan politik dilakukan agar masyarakat luas dapat menjadi warga negara  yang sadar dan menjunjung tinggi akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

  Hal ini ditekankan karena pada realitasnya, masih dirasakan adanya kesenjangan antara peranan yang dilakukan oleh kaum pria dan perempuan pada berbagai peran, utamanya pada peran-peran publik. Oleh karena itu, peningkatan peran perempuan dalam pembangunan yang berwawasan gender sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti yang penting dalam upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dan perempuan agar dapat terwujud kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai kegiatan khususnya bidang politik.

  Perempuan mempunyai makna yang sangat penting untuk memberikan pemahaman dan menyatukan persepsi tentang pentingnya pembangunan demokrasi yang sehat, adil dan realistis. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan politik perempuan, perlu ditingkatkan baik dari segi organisasional maupun pemantapan pilar-pilar demokrasi melalui lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang aspiratif dan pro terhadap kepentingan perempuan. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian khusus, untuk itulah salah satu hal yang perlu ditangani adalah masalah pendidikan politik bagi kaum perempuan, sehingga dengan tumbuh berkembangnya kesadaran politik dikalangan perempuan, mereka diharapkan mampu memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada sesuai potensi yang dimiliki dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan khusus afirmasi (Affirmative Action) harus segera diubah dengan srategi Pengurus Utamaan Gender (PUG) di semua bidang kehidupan, khususnya di semua lini dan strata untuk mempercepat persamaan akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat yang sama antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan Inpres Nomor 9 tahun 2000, eksekutif hanya mengikat untuk melaksanakan PUG. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan jumlah kebijakan pelaksanaan PUG yang akan mengikat seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, dan partai politik sebagai pilar demokrasi untuk mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan di bidang politik melalui peningkatan keterwakilan perempuan dalam pengambil kebijakan. Gerakan perempuan dan pemerhati masalah perempuan, melakukan upaya yang sangat keras memperjuangkan masuknya kuota sebesar 30% keterwakilan perempuan sebagai jumlah minimal dalam paket UU politik dari hulu ke hilir.

b. Panggung Politik dan Perempuan

       Hiruk pikuk pesta demokrasi lima tahunan, utamanya dalam menyambut pemilu legislatif 9 April lalu, setidaknya disesaki oleh maraknya wacana keterwakilan politik perempuan dalam panggung politik elektoral Indonesia. Praktis, selama lebih dari tiga dasawarsa, publik politik nasional terus menyimak gugatan intens kaum perempuan terhadap kontruksi budaya dan relasi sosial-politik pasca reformasi yang masih bias jender, dan terindikasi menyimpan potensi untuk tetap memarjinalisasi dan mendominasi perempuan. Gugatan kaum perempuan ini sejalan dengan kian menguatnya isu keadilan dan kesetaraan jender yang makin mendapat tempat dalam wacana politik masyarakat dan ruang-ruang kebijakan negara. Meski negara kini relatif akomodatif terhadap wacana dan tuntutan keterwakilan politik perempuan (seperti tercermin dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum), namun harus disadari bahwa ruang ekspresi politik perempuan yang diberikan negara (dan para elite partai) masih jauh dari spirit keadilan dan keseteraan. Kendati penetapan kuota 30 persen melalui akomodasi negara sudah di uji-coba sejak pemilu 2004 lalu, namun ditilik dari aspek sejarah pertumbuhan representasi politik perempuan di parlemen, faktual masih berlangsung secara fluktuatif. Catatan representasi politik perempuan menunjukkan angka naik turun dari waktu ke waktu terkait keterlibatan perempuan dalam arena politik praktis, khususnya di lembaga legislatif. Anggota DPR Sementara 1950–1955 misalnya, berhasil mengakomodasi 9 kursi (3,8%) dari 236 kursi anggota legislatif terpilih saat itu. Jumlah keterwakilan perempuan hasil Pemilu 1955–1960 naik menjadi 17 kursi (6,3%) dari 272 anggota parlemen terpilih. Representasi perempuan di parlemen secara kuantitatif kembali naik turun. Di era Konstituante (1956-1959) peroleh kursi legislatif perempuan turun menjadi 25 kursi (5,1%) dari 488 kursi anggota Konstituante. Bagitu pun di era Orde Baru, keterwakilan politik perempuan di parlemen juga mengalami pasang-surut. Pemilu pertama Orde Baru (1971–1977) berhasil menempatkan perempuan pada 36 kursi parlemen (7,8%), Pemilu 1977 29 kursi (6,3%), dan Pemilu 1982 39 krusi (8,5%) dari 460 anggota DPR terpilih pada tiga periode Pemilu tersebut. Selanjutnya, Pemilu 1987 berhasil menempatkan perempuan pada 65 kursi (13%) dari 500 kursi DPR, dan terus mengalami penurunan pada Pemilu 1992-1997, 1997–1999, dan 1999–2004 menjadi 62 kursi (12,5%), 54 kursi (10,8%), dan 46 kursi (9%) dari masing-masing 500 kursi yang berhasil di raih anggota DPR dari masing-masing periode pemilu tersebut. Berikutnya, Pemilu 2004 kembali menaikkan jumlah anggota legislatif perempuan menjadi 63 orang (11,45%) dari 550 anggota DPR terpilih, dan Pemilu 2009 berhasil menempatkan 99 anggota legislatif perempuan (17,68%) dari 560 calon anggota DPR terpilih hasil Pemilu 2009. Pada pemilu 2014 yang baru lalu terjadi penurunan capaian kursi perempuan di legislative, kendati berbagai upaya seperti affirmative action dan strategi lainya sudah diterapkan.

  1. Repreesentasi Perempuan dalam Politik.

               Representasi politik perempuan merupakan satu elemen penting jika kita ingin menempatkan konteks demokratisasi Indonesia dalam perspektif demokrasi yang ramah jender (gender democracy). Berbeda dengan para politisi laki-laki yang lebih asyik dengan “narasi-narasi politik besar”, kalangan aktivis perempuan tampaknya lebih fokus dan konsisten untuk memperjuangkan kuota 30 persen representasi politik perempuan sebagai agenda perjuangan bersama. Setidaknya, dalam satu dekade ini, kita menyaksikan sebuah geliat kuat dari hampir seluruh organ dan elemen perjuangan perempuan—baik dari kalangan politisi, aktivis LSM, ormas, akademisi, jurnalis perempuan, bahkan para artis dan selebritis—yang mengarahkan hampir seluruh energi politiknya ke satu titik: mengupayakan representasi politik perempuan yang lebih proporsional, adil, dan setara. Tak berlebihan, jika banyak pengamat dan aktivis mengatakan, wacana representasi politik perempuan kian nyaring dan menggema sejalan dengan bergulirnya era liberalisasi politik hasil reformasi politik 1998. Sebab, semasa Orde Baru, wacana representasi politik perempuan dalam narasi besar demokratisasi—dus implementasi hak asasi manusia, hak sipil dan politik, termasuk hak ekonomi, sosial, dan budaya perempuan—hampir tak mendapat tempat untuk besemai. Wacana representasi politik perempuan dalam kerangka demokratisasi, praktis tenggelam dalam gerusan narasi besar developmentalisme, sebuah program pembangunan yang pragmatis dan represif yang bersumber dari ideologi pertumbuhan dan pengendalian stabilitas politik ketat, yang demikian intens digenjot oleh rezim Soeharto ketika itu. Padahal, jika kita menyimak dengan seksama catatan sejarah perjalanan politik perempuan negeri ini, secara kualitatif, nilai dan semangat perjuangan perempuan Indonesia di masa awal revolusi terlihat lebih substantif dan membumi tidak artifisial seperti terekam dalam wacana politik Indonesia kontemporer.. Kini, seiring dengan perjalanan waktu, peran, posisi, dan aktualisasi perempuan dalam kancah kehidupan sosial-politik kian menyusut. Di era Demokrasi Terpimpin, peran sosial-politik perempuan cenderung terfragmentasi sebagai konsekuensi dinamika politik saat itu yang cenderung konfliktual. Kendati posisi politik perempuan saat itu relatif kuat, dalam praktiknya mereka tetap berada pada posisi subordinat dan kerap digunakan sebagai instrumen politik negara. Di era Orde Baru, kendati pemerintah Soeharto memiliki political will membentuk kementerian yang khusus menangani masalah perempuan, akan tetapi orientasi politik negara korporatik yang menyuburkan pola politik patron-client dan kultur hegemoni “politik lelaki” tetap saja menjadi struktur atas dari bangunan budaya politik rezim ini. Perempuan diperbolehkan melakukan peran sosial-politiknya, akan tetapi sebatas fungsi normatifnya, di bawah kendali ketat negara korporatik. Memasuki era reformasi, para Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (terutama di era kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa), secara gigih terus mengangkat isu kesetaraan jender sebagai mainstream. Namun, kerja keras para menteri perempuan, para aktivis, dan berbagai organisasi perempuan di Tanah Air untuk mewujudkan persamaan hak terus saja terbentur oleh kultur patriarki dan praktik politik anti partisipasi. Salah satu penyebab penting yang mendasari, dalam struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Legitimasi (dan dominasi) ini terlihat dari sikap masyarakat yang kian menempatkan seksualitas perempuan sebagai komoditas; alat pemuas hasrat seksual laki-laki. Dalam kekuasaan berstruktur patriarkis, politik bukan cuma refleksi dari interest kekuasaan dan uang, tapi juga seks. Terbongkarnya kasus mesum politisi DPR dengan artis dangdut beberapa waktu lalu membuktikan kebenaran hipotesis menyatunya “kekuasaan, uang, dan seks”. Kuasa politik bukan cuma membuat para aktornya menjadi banal (politik haus kuasa), tapi juga binal (bukan cuma haus uang dan kuasa, tapi juga sarat syahwat). Pesan penting dari terbongkarnya kasus mesum politisi DPR di atas, kemerosotan moral politik di level elite bukan hanya ditandai oleh banality of politics, tapi juga oleh binalitas manusia yang kian menunjukkan watak dasarnya sebagai homo sexus. Lebih dari itu, mesum DPR kian memperkuat argumen bahwa posisi perempuan di negeri ini masih berada di bawah kekokohan dominasi budaya politik patriarki.

 Kaum feminis yang menganut paham pluralismedemokratis meyakini bahwa perempuan tidak bisa dirugikan hanya karena jenis kelaminnya. Sebagai Manusia, perempuan juga butuh pengakuan atas eksistensi keperempuanannya. Gerakan feminis menentang pandangan stereotif yang berpotensi memarjinalisasi peran perempuan sebatas fungsi domestiknya, bukan dalam konteks kehidupan publik yang lebih luas. Kendati sistem dan arah kebijakan politik pemerintah terhadap isu perempuan kian responsif jender, namun posisi perempuan dalam konteks kekuasaan politik tetap saja rentan dari berbagai bentuk manipulasi politik dan tak jarang dipakai sebagai alat legitimasi politik. Asumsinya sederhana: perempuan adalah unit dasar dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian, kontrol atas peran perempuan merupakan instrumen efektif dalam mengendalikan seluruh operasi kekuasaan negara. Berbagai regulasi negara menyangkut isu perempuan membuktikan bahwa konstruksi budaya politik patriarki sepanjang sejarah amat menentukan kehidupan perempuan. Sejak dekade 1960-an, gerakan feminisme yang menggeliat di berbagai belahan dunia (termasuk di Indonesia pada dekade 1990-an), terus menggugat dasar kebijakan negara yang bias gjender, mendorong peran, fungsi, dan posisi perempuan secara lebih progresif, serta memprotes berbagai kebijakan konservatif negara dan stigma masyarakat yang memarjinalisasi aspirasi, hak, dan kepentingan perempuan.

 Kaum feminis yang peduli pada pentingnya kesetaraan jender dalam membangun watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif atas posisi perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu hak-hak reproduksi perempuan, atau isu peraturan daerah tentang pelacuran. Menurut Gadis Arivia (2005), hampir seluruh regulasi negara yang terkait dengan soal perempuan mengandung materi bias jender. Sebab, dalam struktur masyarakat patriarkis, konstruksi sosial-budaya perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi politik.

Dalam konteks demikian, tantangan fundamental gerakan perempuan ke depan, setidaknya dapat dipetakan ke dalam tujuh isu berikut: Pertama, globalisasi-neoliberal telah melahirkan kekuatan ekonomi dunia yang berpusat di negara-negara maju yang diikuti restrukturisasi ekonomi di negara-negara miskin dan sedang berkembang. Situasi ini telah menciptakan kemiskinan yang makin akut dan kompleks. Ekonomi global telah menyeret perempuan sebagai obyek dan komoditas ekonomi (menjadi PRT, PSK, buruh migran, atau pekerja upahan pabrik dan sektor informal bergaji murah). Kedua, otoriterisme politik negara. Kontrol negara atas warga negara yang berlebihan—terutama kaum perempuan—telah berakibat pada hadirnya berbagai kebijakan negara yang bias hak asasi manusia, bias jender, dan mereduksi hakekat demokrasi. Munculnya berbagai kebijakan bias jender (seperti RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi dan perda-perda di berbagai daerah yang berbasis pada penafsiran sempit atas agama tertentu), adalah sekelumit bukti bahwa implementasi atas hak-hak sipil dan politik perempuan belum sepenuhnya mendapat ruang gerak dari negara. Ketiga, kebijakan negara yang tidak pro-rakyat. Seperti kita tahu, manajemen anggaran negara (APBN/APBD), prioritas pembangunan, dan manajemen pengelolaan sumber daya alam di negara ini masih sepenuhnya disandarkan pada pemenuhan kebutuhan para politisi, elite-elite ekonomi, para investor, dan kepentingan modal global. Kebijakan yang tidak pro-poor ini telah mereduksi akses masyarakat—khususnya perempuan—di sektor pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan sumber-sumber kehidupan publik yang mendasar (pangan, energi, air, tanah, dan hutan). Keempat, fundamentalisme agama. Berbagai gerakan agama yang disinyalir berupaya melakukan perlawanan terhadap hegemoni Barat dan dominasi kekuatan kapitalisme yang berpijak pada sikap dan aksi yang radikal, sempit, dan sepihak, telah menimbulkan ekses baru hadirnya rantai kekerasan dan penindasan bagi perempuan. Munculnya organisasi-organisasi massa yang mengatasnamakan agama tertentu serta mewujudkan sikap dan aksinya dengan paham radikal seringkali menjadikan perempuan sebagai obyek kekerasan. Organisasi ini kerap membatasi ruang gerak dan ekspresi perempuan baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kelima, liberalisasi politik yang terjadi sejak era reformasi tidak otomatis diikuti kesiapan lembaga pendidikan dan rekrutmen politik, terutama partai politik, untuk secara serius dan berkelanjutan untuk membuka kesempatan partisipasi perempuan dalam politik, terutama untuk menempatkan perempuan dalam posisi dan tanggung jawab organisatoris yang signifikan, selain mempersiapkan dan menempatkan perempuan sebagai caleg yang andal dengan kesempatan yang sama dan setara dengan caleg laki-laki. Keenam, gerakan perempuan dengan demikian ditantang untuk mampu mendobrak lobi-lobi politisi laki-laki yang elitis dan budaya politik partai yang cenderung sentralistis dan patriarkat serta merubah budaya politik dan pola pikir jajaran elite partai agar memberi ruang dan peluang yang lebih besar pada kader politik perempuan untuk mendapat pelatihan dan edukasi politik, termasuk memberi kesempatan bagi perempuan untuk duduk dalam berbagai jabatan/posisi strategis serta dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Ketujuh,  meskipun kuota 30 persen sangat strategis, namun regulasi tersebut hanya salah satu elemen utama dalam upaya memperkuat representasi politik perempuan. Adalah saatnya, pasca pemilu 2014 kalangan perempuan wajib memperluas makna representasi politik tersebut. Keterlibatan perempuan dalam sistem politik untuk tujuan representasi memang diperlukan (necessary), tapi sudah pasti tidak memadai (sufficient). Ini artinya, upaya go politics dari kalangan perempuan tidak hanya sebagai kegiatan untuk memasuki proses, mekanisme, lembaga, dan sistem politik (crafting democracy) tapi juga bagaimana representasi politik perempuan mampu memperluas basis konstituen (broadening base).

 Setidaknya terdapat dimensi utama dalam konteks di atas, yakni menyangkut upaya untuk mempengaruhi proses-proses pengambilan keputusan publik; dan usaha untuk membangun basis sosial representasi politik perempuan, baik melalui lembaga-lembaga representasi politik formal maupun informal, termasuk partisipasi langsung (direct democracy). Terdapat rekoneksi antara gerakan perempuan (sebagai bagian integral dari gerakan sosial), dengan aksi-aksi politik perempuan (yang merupakan bagian dari demokrasi representasi). Seperti dikemukakan Lovenduski (2000), representasi politik yang diusung kalangan aktivis dan politisi perempuan setidaknya merepresentasikan tiga elemen penting, yakni mewakili pemilihnya (functional), partai politiknya (ideology) serta konstituen perempuan sebagai identitas (social). Bagaimana mensinergikan ketiganya dalam rekoneksitas tindakan-tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan, merupakan tantangan yang harus dijawab kalangan perempuan di tengah-tengah kritik, keraguan, dan bahkan cibiran masyarakat atas kemampuan dan keberdayaan mereka.

Gerakan perempuan harus terus melakukan advokasi dan edukasi kritis pada semua level komunitas perempuan. Beragam perspektif analisis untuk melihat penindasan sistemik yang dialami perempuan harus diperkenalkan, seperti analisis feminis Marxian (untuk membedah penindasan yang dialami oleh buruh perempuan); analisis gerakan feminis Dunia Ketiga (untuk membedah penindasan perempuan dalam konteks kultur, religi, dan bentukbentuk kekerasan negara); atau analisis ekofeminis (untuk mengkaji ketertindasan perempuan dari aspek lingkungan dan sumber-sumber penghidupan alamiah). Beragam perspektif dan strategi perjuangan perempuan yang ada sesungguhnya tak hanya efektif digunakan sebagai alat pencerdasan dan penyadaran, tapi lebih dari itu sebagai instrumen dalam membangun koalisi besar gerakan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, toleransi, dan demokrasi.  

 Beragamnya organisasi perempuan yang tumbuh di tanah air harus dilihat secara positif dan diletakkan pada konteksnya, yakni saling mengisi dan melengkapi. Penyatuan banyak kekuatan dalam sebuah koalisi besar gerakan perempuan akan kian mempertinggi posisi tawar kaum perempuan. Nyata, perjuangan untuk mencapai keadilan gender dan mewujudkan keterwakilan politik perempuan di negeri ini sepertinya masih teramat panjang untuk dibuktikan, karena ia menyangkut kapabilitas untuk bersaing dan berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan, dukungan basis massa yang jelas, pengalaman yang relevan, serta visi misi yang tak hanya sejalan dengan partai politik yang diwakilinya, namun juga harus sebangun dengan harapan dan keprihatinan rakyat.

Jika kita meyakini “politik tak bermula dari kebencian, tetapi dari rasa sayang dan nalar untuk membangun bangsa”, maka aspirasi politik perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik bangsa bisa dimaknai sebagai bentuk penguatan demokrasi kita yang selama ini kental beraroma maskulin dengan cirinya yang cenderung arogan, culas, dan agresif.

      Sejatinya, perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam politik dan mewujudkan representasi politik perempuan (yang bukan sekedar warna, tapi turut mewarnai) di negeri ini sepertinya masih butuh waktu panjang dan perjuangan yang kuat untuk dibuktikan, karena inimenyangkut kapabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan untuk bersaing dan mampu berkontribusi dalam politik praktis secara signifikan.

      Dalam masyarakat yang terlanjur meyakini kodrat perempuan sebagai makhluk lemah dan agak sensitif, jelas dibutuhkan upaya ekstra keras guna mengonstruksi isu representasi politik perempuan dalam bingkai demokrasi yang setara dan partisipatif dan wacana gender dalam frame pluralism demokratis (non-patriarkis) sebagai prioritas kebijakan ke depan agar tatanan masyarakat demokratis yang berkeadilan jender bisa sungguh-sungguh terwujud di negeri ini.

Maka dari itu sebaiknya dalam mengupayakan kesetaraan gender, khususnya dalam dunia politik dan pengambilan keputusan, perlu adanya upaya yang sinergis dan berkesinambungan, dengan melibatkan pemangku kepentingan semua pihak yang menjadi pelaku politik khususnya partai politik, organisasi kemasyarakatan dan pemerintah melalui instansi terkait dalam penyelenggaraan pendidikan politik yang lebih meluas dan terencana bagi perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

World Bank Publication.  2000. Engendering Development : Through Gender Equality in Rights, Resources and Voices. (Terj).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2013. Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013. Jakarta : Lintas Khatulistiwa.

Jurnal Perempuan No.34, Politik dan Keterwakilan Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2004

Najwa Sa’idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, CV. Idea Pustaka Utama: Bogor, 2003

Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama:Jakarta, 2005

Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia, Hak Azasi Perempuan: Instrumen untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Yayasan Obor Indonesia: Jakarta, 2004.

Website dan Peraturan Perundang-undangan

UUD RI Pasal 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, dan 28H

http://hdr.undp.org/en/content/gender-development-index-female-male-ratio-hdi

http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/10/131025_perempuan_vj_peta