Mengambil lagi hibahnya selain orang tua terhadap anaknya hukumnya

Saya bertanya terkait hadits yang menyatakan bahwa “orang yang menarik kembali sedekahnya adalah seperti anjing yang muntah lalu menjilati muntahannya” atau  yang semakna dengannya.

Seseorang membeli nasi untuk ibunya. Kemudian ibunya makan. Akan tetapi, ibunya merasa nasinya terlalu banyak. Bolehkah orang tersebut memakan nasinya itu? Berlakukah hadits yang saya sebutkan di atas dalam hal ini?

Merupakan tindakan yang terpuji ketika seseorang berusaha tidak membiarkan makanan atau minuman tersisa dan terbuang mubazir begitu saja.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (al-Isra: 26—27)

Sampai-sampai ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam menemukan satu butir kurma, beliau mengambilnya sembari mengatakan,

لَوْلاَ أَنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُونَ مِنَ الصَّدَقَةِ لَأَكَلْتُهَا

“Sekiranya aku tidak khawatir ini adalah makanan sedekah, pasti sudah aku makan.” (HR. al-Bukhari no. 2431)

Beliau bersabda pula,

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا، فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا، وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

“Jika ada makanan kalian yang jatuh, ambillah. Bersihkanlah kotoran yang ada padanya dan makanlah. Jangan dibiarkan untuk setan.” (HR. Muslim no. 2033 dari sahabat Jabir radhiallahu anhu)

Sahabat Jabir radhiallahu anhu mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَعْقِ الْأَصَابِعِ وَالصَّحْفَةِ، وَقَالَ: إِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّهِ الْبَرَكَةُ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilat jari dan nampan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui, yang mana makanan kalian yang berkah.” (HR. Muslim no. 2033)

Ketika seseorang membeli dan memberikan makanan untuk orang lain, kemudian ikut membantu menghabiskannya karena porsinya terlalu banyak, berarti dia telah menyelamatkan makanan tersebut sehingga tidak terbuang sia-sia. Perbuatan tersebut tidak termasuk yang dicela dalam hadits,

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ، كَالْكَلْبِ يَقِيءُ، ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ

“Orang yang mengambil kembali hibahnya seperti anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahnya.” (HR. al-Bukhari no. 2589 dan Muslim no. 1564 dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Pemberian berupa hibah berbeda dengan pemberian berupa makanan. Hibah biasanya pemberian harta berupa barang berharga atau bermanfaat secara cuma-cuma, seperti rumah, kendaraan, kitab, tanah, dan. Sebagai contoh, sahabat Umar radhiallahu anhu pernah menghibahkan kuda perang kepada seseorang. Karena tidak terurus, beliau ingin mengambilnya kembali dengan cara dibeli. Akan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarangnya sebagaimana larangan dalam hadits di atas. (HR. al-Bukhari dan Muslim no. 1620)

Ayah sahabat an-Nu’man bin Bashir radhiallahu anhuma ingin menghibahkan kebun atau batang kurma kepada beliau. Akan tetapi, karena anaknya yang lain tidak diberi hibah yang sama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak merelakannya. Akhirnya hibah tersebut ditangguhkan atau dibatalkan. (HR. al-Bukhari no. 2586 dan Muslim no. 1623)

Wallahu a’lam bish-shawab.

(Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar)

Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Perumpamaan orang yang mengambil kembali hibahnya ibarat orang yang menelan kembali muntahnya.” (HR Bukhari nomor 2621 dan Muslim nomor 1622).

Di dalam riwayat yang lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

العَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ.

“Perumpamaan orang yang mengambil kembali hibahnya ibarat seekor anjing yang muntah kemudian menelan kembali muntahnya.” (HR Bukhari nomor 2589 dan Muslim nomor 1622).

Hibah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Atsir dalam “An-Nihayah fil Gharib 5/231” adalah pemberian yang diberikan seseorang tanpa mengharap balasan apapun dan tanpa tujuan atau maksud tertentu. Dalam pembahasan fiqih, sebuah hibah memiliki beberapa buah syarat; pertama, ijab atau pernyataan pemberian oleh pemberi, kedua, qabul atau pernyataan penerimaan oleh si penerima, ketiga, qabdhah atau proses penyerahan barang, dan hendaknya barang itu sepenuhnya milik penghibah.

Hibah adalah salah satu wasilah untuk mempererat hubungan silaturahim kita. Selain itu saling memberikan hadiah atau pemberian merupakan pupuk yang ampuh untuk menumbuhkan benih-benih kasih sayang dan cinta kepada sesama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

تَهادُوا تَحابُوا.

“Saling memberi hadiahlah, kalian akan saling mencintai.” (HR Bukhari dalam adabul mufrad nomor 594 dan dihasankan Al Albany dalam irwaul ghalil 1601).

Tidak ada yang memungkiri keutamaan yang telah Allah janjikan bagi orang yang gemar memberikan pemberian kepada sesama. Namun amalan yang agung ini, di tangan manusia dapat menjadi bomerang kepadanya jika ia tidak tulus dan ikhlas dalam memberikan sebuah pemberian. Apalagi sampai melanggar larangan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam persoalan hibah ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengambil kembali pemberian yang telah diberikan kepada seseorang. Hal itu karena sebuah barang yang dihibahkan secara otomatis berpindah hak kepemilikannya kepada orang yang diberikan, sehingga perbuatan mengambil kembali barang hibah itu, sedikit banyaknya akan membuat hati saudaranya tersakiti. Di sini syariat islam dengan segala hikmahnya hendak menutup kemungkinan tersakitinya hati seorang muslim yang dapat berakibat putusnya tali silaturahim dan ukhuwah mereka.

Oleh karena itu, larangan dalam hadits ini datang dengan bentuk yang sangat keras sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan yang tegas. Kerasnya larangan ini dapat dilihat dari beberapa sisi; pertama, penyerupaan hadiah yang diambil kembali dengan muntah, kedua, penyerupaan orang yang mengambil pemberiannya dengan orang yang menelan kembali muntahnya, ketiga, penyerupaan orang yang mengambil pemberiannya dengan seekor anjing. Sisi yang ketiga ini juga dapat dilihat dalam firman Allah subhanahu wata’ala:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ. سَاءَ مَثَلًا الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَأَنْفُسَهُمْ كَانُوا يَظْلِمُونَ.

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” (QS Al-A’raf 175-177).

Namun perlu digaris bawahi bahwa larangan ini dikecualikan pada pemberian seorang ayah kepada anaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً أَوْ يَهَبَ هِبَةً فيَرْجِعَ فِيْهَا، إِلَّا الوَالِدَ فِيْمَا يُعْطِي وَلَدَهُ.

“Tidak halal bagi seorang laki-laki memberi hadiah atau hibah kemudian memintanya kembali, kecuali hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.” (HR Abu Daud nomor 3539, Ahmad nomor 4810, dan dishahihkan Al Albany).

Pertanyaan:

Jika orang tua sudah memberi rumah kepada anaknya lalu sertifikat dibuat atas nama anaknya. Kemudian, karena suatu hal, orang tua merasa diusir oleh anaknya itu, lantas orang tua tersebut meminta kembali rumah yang sudah diberikannya tadi, bagaimana hukumnya?

Jawaban:

Sebelumnya, kami nasihatkan agar kita memuliakan orang tua yang telah melahirkan, mendidik, dan mengasuh kita saat masih kecil hingga dewasa. Hendaklah kita memahami dan merenungi firman-firman Allah yang berkenaan dengan bakti kepada orang tua.

Adapun permasalahan sebagaimana pertanyaan tersebut di atas, jawaban kami:

Mengambil kembali hibah atau sedekah yang telah diberikan, hukumnya tidak boleh, kecuali hibah orang tua kepada anaknya, maka yang demikian itu boleh ditarik kembali.

عَنْ تبْنِ عَبَّ سٍ وَا بْنِ عُمَرَ يَرْ فَعَا نِ الْحَدِ يثَ الَى النَّبِيِّ قَال لاَ يَحِلُّ لِلرَّ جُلِ أَنْ يُعْطِيَ الْعَطِيَّةَ ثُمَّ يرْخِعَ فِيهَا إِلاَّ الْوَ الِدَ فِيمَا يُعْطِي وَلَدَه

Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, keduanya menaikkan hadis kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah; no. 2377; dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani)

Dengan hadis ini, jelaslah bahwa orang tua tersebut boleh menarik kembali pemberiannya.

Sumber: Majalah As-Sunnah, edisi 3, tahun IX, 1426 H/2005 M. Disertai penyuntingan bahasa oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com.
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

🔍 Apakah Suami Istri Bersentuhan Membatalkan Wudhu, Setan Itu Apa, Dosa Syirik Dalam Islam, Nabi Penerima Suhuf, Istikharah Doa, Doa Angin Ahmar Dan Terjemahan

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA