Membicarakan aib yang memang ada pada seseorang terutama dengan maksud merendahkannya disebut sikap

Membicarakan aib yang memang ada pada seseorang terutama dengan maksud merendahkannya disebut sikap
alhikmah.ac.id – nampaknya tidak ada seorang pun dari masyarakat kota yang tidak kenal Facebook atau Twitter. Situs jejaring sosial tersebut begitu digemari masyarakat karena dapat membantu memperluas pertemanan, membuat komunitas, menemukan teman lama, silaturahim, berbisnis, kampanye politik, menggalang aktivitas sosial, berdakwah, dan bahkan cari jodoh.

Namun disamping membawa dampak positif, situs jejaring sosial juga ternyata membawa dampak negatif. Misalnya seorang social networker kerap menghabiskan waktunya untuk memantau status atau komentar, kinerja perusahaan terganggu karena karyawan rajin surfing, waktu belajar para pelajar habis untuk ngoprek Facebook atau Twitter, berkurangnya kebiasaan silaturahim antara kerabat ataupun sahabat, dan salah satu hal yang paling berbahaya dari sudut pandang agama adalah semakin merebaknya ‘budaya’ ghibah atau bergunjing antar sesama. Di situs pertemanan ini juga kerap mengemuka fenomena saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah atau penyebaran kabar burung yang menimbulkan permusuhan satu sama lain.

Dengan demikian kita harus waspada, kemajuan teknologi komunikasi ternyata dapat menimbulkan pergeseran nilai. Ghibah, saling fitnah, saling menjatuhkan, saling tuduh, debat kusir, dan namimah dianggap sebagai perkara ringan.

Ghibah adalah dosa besar!

Allah SWT berfirman,

“Dan janganlah sebagian kamu bergunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12).

Apakah ghibah atau bergunjing itu? Untuk memahaminya cukuplah bagi kita membaca hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,

يَا رَسُلُ اللهُ! مَاالْغِيْبَةُ؟ قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اِغْتَبْتَهُ, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ. (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)

“’Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya’. Beliau ditanya lagi, ‘Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu ada sesuatu yang aku katakan?’ Beliau menjawab, ‘Jika pada dirinya ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mengghibahnya, dan jika pada dirinya tidak ada sesuatu yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya’.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzy).

“Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya”, inilah kaidah yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar kita mengetahui batasan ghibah. Kaidah ini harus dipegang teguh oleh setiap muslim yang hendak membicarakan saudara-saudaranya sesama muslim, meskipun apa yang dibicarakan itu memang benar-benar ada pada diri saudaranya terkait dengan cacat tubuh, budi pekerti, harta, anak, istri, saudaranya, atau apa pun yang ada hubungannya dengan dirinya.

Hasan, cucu Nabi, berkata bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiganya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu ghibah, ifki, dan buhtan. Ghibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada orang lain. Adapun ifki adalah menyebut-nyebut seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepada kita, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Adnan Ath-Tharsyah menyebutkan dalam bukunya ‘Majalisuna Ila Aina?’ bahwa tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan meminta maaf kepada orang yang bersangkutan.

Mu’awiyah bin Qurrah berkata kepada Syu’bah, “Jika seandainya ada orang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata ‘Itu si buntung,’ maka ucapan itu termasuk bergunjing.”

Dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 12, Allah Ta’ala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan, “Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Oleh karena itu janganlah menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup atau sudah mati. Tahanlah lidah kita. Kalaupun terpaksa harus membicarakan orang lain, maka berbicaralah yang baik-baik saja

Diriwayatkan Ibnu Mundzir dari Ibnu Juraij bahwa Al-Hujurat ayat 12 ini turun berkaitan dengan Salman Al-Farisi yang makan, kemudian tidur, lalu mendengkur. Orang-orang membicarakannya. Maka turunlah surah ini yang melarang umat Islam bergunjing dan mengumpat.

Ghibah tidak hanya terbatas pada perkataan saja, tetapi juga mencakup segala sesuatu yang menjelaskan kekurangan saudaramu kepada orang lain. An-Nawawy berkata, “Ghibah itu mencakup ucapan dan tulisan, atau simbol dan isyarat dengan mata, tangan maupun kepala. Tepatnya, ghibah adalah segala sesuatu yang menjelaskan kepada orang lain tentang kekurangan saudaramu sesama muslim.” Yang juga termasuk ghibah adalah mendengarkan apa yang disampaikan orang lain dengan menampakkan keta’ajuban.

Salah satu faktor mengapa ghibah ini demikian dicela oleh Islam ialah karena potensinya yang sangat dahsyat untuk menghancurkan reputasi dan kehormatan seseorang. Terlebih lagi jika ia mewabah di tengah masyarakat yang sakit, yakni masyarakat yang sangat jeli melihat kesalahan orang lain, tapi tidak pernah berkaca melihat kesalahan pribadi; sangat garang dan sengit menghakimi kesalahan orang lain, tapi begitu ‘bijak’ memaafkan kesalahan diri sendiri.

Pergunjingan pada kenyataannya lebih sering berproses menjadi ifki dan buhtan. Berawal dari tersebarnya berita pada beberapa orang, kemudian terjadi bias informasi, dan pada akhirnya tereksposlah berita yang telah terdistorsi secara massal. Dengan begitu berkembanglah kebencian dan munculnya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” (QS. An-Nur, 24: 15)

Sebab-sebab Bangkitnya Syahwat Berghibah

Sebab-sebab yang membangkitkan ghibah secara umum menurut Adnan Ath-Tharsyah adalah mencari kepuasan, kedengkian, marah, iri, olok-olok, ejekan dan lain-lainnya. Imam Al-Ghazaly menyebutkan sebelas sebab dan merincinya dalam Ihya Ulumuddin. Sebagian diantaranya yang menyebabkan manusia secara umum melakukan ghibah adalah:

Pertama: Mencari muka di hadapan teman-teman, menjaga persahabatan, dan membantunya dalam perkataan. Jika teman-temannya menodai kehormatan seseorang, lalu dia tidak ikut-ikutan dan menjauhi mereka, maka dia merasa sungkan dan berat. Sehingga mau tidak mau dia harus ikut-ikutan. Jika teman-temannya marah kepada seseorang, maka dia juga harus marah kepadanya sebagai rasa solidaritas, sehingga dia harus ikut menyingkap keburukan dan aib orang lain.

Kedua: Karena hendak membanggakan diri. Maksudnya dia mengangkat kedudukannya dengan mengurangi kedudukan orang lain, misalnya dengan mengucapkan: “Fulan bodoh, pemahamannya dangkal dan ucapannya tidak kuat.” Tujuannya agar ucapannya itu bisa menonjolkan kelebihan dirinya dan dia tampak lebih pandai.

Ketiga: Untuk main-main, bersenda gurau dan lawakan. Dia menyebutkan aib orang lain agar orang-orang tertawa saat mendengarnya.

Keempat: Mengejek dan mengolok-olok, sebagai penghinaan terhadap orang yang disebut-sebut. Pendorongnya yang utama adalah untuk merendahkan orang lain.

Selain itu, ‘orang-orang khusus’, seperti: aktivis dakwah, mubaligh, ustadz, dan bahkan para ulama, kadangkala terjebak pula melakukan ghibah atau pergunjingan. Penyebabnya adalah:

Pertama: Munculnya keheranan dalam mengingkari yang mungkar dan kesalahan dalam agama. Misalnya ucapan seorang da’i: “Aku heran terhadap Fulan!” Boleh jadi apa yang disebutkan ini memang benar-benar terjadi pada diri orang yang dibicarakan. Tapi seharusnya, dia tidak perlu menyebutkan nama orangnya. Sebab setan sangat mudah mempengaruhinya, sehingga lama-kelamaan dia bisa mengghibahnya dan tanpa terasa akhirnya dia pun berdosa.

Kedua: Merasa kasihan. Misalnya seorang da’i merasa kasihan terhadap musibah yang menimpa seseorang seraya berkata, “Sungguh kasihan Fulan itu. Musibah yang menimpanya telah menyentuh perasaan saya.” Tapi berikutnya setan menyeretnya kepada keburukan sehingga menjadi ghibah.

Ketiga: Marah karena Allah. Kadang-kadang seorang da’i merasa marah menghadapi kemungkaran yang dilakukan manusia, lalu dia menyebut nama pelakunya itu. Hal ini tidak diperbolehkan. Seharusnya tidak perlu menyebutkan nama pelakunya.

Ghibah yang diperbolehkan

Segolongan ulama mengecualikan beberapa kondisi sehingga diperbolehkannya ghibah. An-Nawawy, misalnya, mengemukakan ada enam sebab diperbolehkannya ghibah, yaitu:

Pertama: Pengaduan. Seseorang yang dizalimi bisa mengadu kepada penguasa atau hakim atau seseorang yang memegang kekuasaan untuk berbuat adil terhadap orang yang menzaliminya. Dia bisa berkata, “Fulan menzalimiku begini dan begini.”

Kedua: Sebagai sarana untuk merubah kemungkaran dan mempengaruhi orang yang durhaka agar menjadi benar. Seseorang bisa berkata kepada orang yang bisa mengenyahkan kemungkaran: “Fulan berbuat begini dan begitu.” Maksudnya laporan itu sebagai upaya untuk menghentikan kemungkaran pelakunya. Tetapi jika niatnya bukan untuk itu, maka perbuatannya adalah haram.

Ketiga: Untuk meminta fatwa. Misalnya ucapan seseorang: “Ayahku, saudaraku, suamiku, atau Fulan telah menzalimi aku. Apakah dia boleh berbuat begitu? Apa caraku untuk menghindarinya? Bagaimana agar bisa kudapatkan hakku dan sekaligus mencegah kezalimannya?”

Perkataan seperti ini diperbolehkan kalau memang dibutuhkan. Tetapi yang lebih baik ialah dengan berkata: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begitu kepadaku?” Yaitu tanpa menyebutkan nama orang yang bersangkutan. Tapi menyebutkan nama orang yang bersangkutan tetap diperbolehkan.

Hal ini didasarkan kepada riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Dia tidak memberiku belanja yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali harus mengambil harta darinya, sementara dia tidak mengetahuinya.”

Beliau berkata, “Ambilah yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan kebutuhan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (Muttafaq Alaihi).

Keempat: Untuk memperingatkan orang-orang muslim dan menasehati mereka. Misalnya jika seseorang melihat orang lain yang sedang belajar, akan condong kepada ahli bid’ah, atau hendak mendatangi orang fasik yang akan dijadikan guru, sehingga orang yang akan belajar itu dikhawatirkan akan mendapat kemudharatan bagi agamanya. Dalam keadaan seperti ini dia bisa memberitahukan keadaan orang yang hendak didatangi tersebut.

Tapi sebelum melakukannya, dia perlu mendalami terlebih dahulu dengan hati-hati, apakah orang yang akan didatangi tersebut memang benar-benar ahli bid’ah? Apakah memang yang dilakukannya itu sebuah kemungkaran? Atau hanya ikhtilaf atau perbedaan ijtihad yang syar’i? Atau masih banyaknya hal-hal samar? Jika keadaannya belum jelas benar, hendaknya dia berhati-hati dan tidak terburu-buru menyebutkan berbagai hal tentang orang itu, karena tidak jarang tindakan memperingatkan orang ternyata dilatarbelakangi kedengkian.

Kelima: Memberitahukan keburukan seseorang yang jelas kefasikan atau perbuatan bid’ahnya, seperti orang yang terang-terangan meminum khamr, menghalang-halangi manusia dari Islam, mengambil harta secara zalim, dan melakukan hal-hal yang batil.

Keenam: Untuk pengenalan. Misalnya penyebutan Si Buta, Si Pincang, Si Tuli, dan lain-lain, yang tidak dimaksudkan untuk mengolok-olok atau memperlihatkan kekurangan.

Meskipun begitu, Asy-Syaukany telah mengomentari pendapat An-Nawawy tersebut, bahwa sebagian di antara contoh-contoh ini tidak bisa dijadikan pengecualian pengharaman ghibah dan beliau tetap menganggapnya sebagai ghibah.

Bagaimana Menghindari Ghibah?

Agar terhindar dari ghibah, kita harus menyadari bahwa perbuatan bergunjing itu membangkitkan kemarahan Allah Ta’ala.

Kita pun harus selalu mengaca kepada diri sendiri yang mungkin banyak memiliki kekurangan, maka hendaknya kita sibuk mengurusi kekurangan tersebut. Hendaknya kita malu jika tidak mau mencela diri sendiri, dan justru mencela orang lain. Jika kita tidak mendapati cela pada diri sendiri, maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan tidak menodainya dengan aib yang lebih besar.

Kita harus tahu, sebagaimana kita, orang lain pun akan tersiksa dan terganggu oleh ghibah. Jika kita tidak rela tersiksa dan terganggu karena ghibah orang lain, maka orang lain pun tidak rela jika kita mengghibahnya.

Hendaklah kita melihat latar belakang melakukan ghibah. Jika sebabnya marah, maka hendaklah kita mengobatinya dengan berkata: “Jika aku terus mengikuti rasa marahku, boleh jadi Allah juga terus marah kepadaku karena ghibah. Jika aku menghentikan marahku, maka aku tidak akan mendapatkan ancaman-Nya.”

Jika tujuan ghibah yang kita lakukan untuk menonjolkan dan mengangkat diri sendiri, dengan cara mencela orang lain, maka kita harus tahu bahwa perbuatan itu akan melenyapkan keutamaan kita di sisi Allah. Bahkan di mata manusia, keutamaan kita sedang berada di pinggir jurang, atau boleh jadi kepercayaan mereka terhadap kita akan menyusut jika mereka tahu tujuan ghibah kita. Kalau pun kita bisa mendapatkan kepercayaan manusia karena perbuatan kita itu, toh mereka tidak akan berguna sedikit pun di hadapan Allah.

Sedangkan ghibah karena iri dan dengki, berarti menghimpun dua siksaan. Di dunia tersiksa oleh bara kedengkian dan di akhirat tersiksa api neraka.

Tebusan Ghibah

Sebagian ulama berpendapat, orang yang mengghibah harus menyesali perbuatannya dan bertaubat, agar dia keluar dari hak Allah, kemudian membayar denda, agar dia bebas dari kezalimannya.

Menurut Al-Hasan, pelaku ghibah cukup memohon ampun tanpa harus membayar denda.

Menurut Mujahid, denda atas tindakan ‘memakan daging saudaranya’ ialah memujinya dan berdo’a bagi dirinya.

Atha bin Abu Rabbah pernah ditanya tentang taubat ghibah, dia menjawab, “Dia harus menemui saudaranya yang dighibah seraya berkata, ‘Aku telah berkata dusta tentang dirimu dan menzalimi dirimu. Jika engkau mau, maka engkau bisa berbuat menurut hakmu, dan jika engkau mau, maka engkau bisa memaafkan aku’.”

Mari kita renungkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah berikut ini.

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَذْلُمَةٌ لِاَخِيْهِ مِنْ عِرْضِهِ اَوْ مِنْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اْليَوْمَ قَبْلَ اَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ دِرْهَامٌ, اِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَلِحٌ اُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَذْلُمَتِهِ وَ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ اُخِذَ مِنْ سَيِّأَتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى).

“Barangsiapa yang pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri maupun sesuatu yang berhubungan dengan yang lain, maka hendaklah ia minta dihalalkan (minta maaf) sekarang juga sebelum datangnya saat dimana dinar dan dirham tidak berguna, dimana bila ia mempunyai amal salih maka amal itu akan diambil sesuai dengan kadar penganiayaannya, dan bila ia tidak mempunyai kebaikan maka kejahatan orang yang dianiaya itu diambilnya dan dibebankan kepadanya”. (HR. Bukhari).

Majelis Amar Ma’ruf Nahi Munkar atau Majelis Ghibah?

Diantara bentuk perbuatan yang harus selalu diwaspadai oleh setiap muslim khususnya para da’i adalah berkumpulnya mereka dalam ‘majelis amar ma’ruf nahi munkar’, namun sebenarnya ia adalah ‘majelis ghibah’. Bagaimana tidak disebut demikian, jika setiap kali berkumpul di majelis itu, selalu saja disediakan santapan berupa daging saudaranya sesama muslim, minumannya adalah kehormatannya, buah-buah hidangannya adalah aib-aibnya, dan manisannya adalah kekurangan-kekurangannya. Majelis itu hanya diisi dengan serangan terhadap kehornatan orang-orang muslim dan mencari-cari kekurangan mereka. Semua itu kemudian dianggapnya sebagai ‘amar ma’ruf nahi munkar’.

Al-Ghazaly berkata, “Persoalan ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar, karena ia merupakan kejahatan yang disembunyikan setan dalam selimut kebaikan. Memang disitu ada kebaikan, kemudian setan memupuknya dengan kejahatan.”

Prosedur amar ma’ruf nahi munkar itu sangat jelas, seperti disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alihi wa sallam:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ, وَ ذَلِكَ اَضْعَفُ الاِيْمَانِ (رواه مسلم).

“Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan yang demikian itu selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa jika seorang mukmin melihat kemungkaran, yang harus dilakukannya adalah merubah dengan tangan atau kekuasaannya. Namun jika tidak mampu, ia harus menghadapinya dengan menggunakan lisan, yakni mendatangi orang yang berbuat munkar, berhadapan langsung dengannya untuk memberikan nasehat. Tetapi kalau cara ini tidak memungkinkan, maka berikutnya yang harus dilakukan adalah mengingkarinya dengan hati.

Marah karena Allah tidak mengharuskan seseorang menyebutkan nama pelaku kemungkaran atau menunjuknya secara langsung. Apalagi menyebutnya di tengah-tengah majelis dimana disana berkumpul orang-orang dengan beragam niatnya. Ada orang yang datang hanya untuk mengisi kekosongan waktu dengan sedikit kesenangan dan obrolan yang sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya, dan ada pula orang-orang yang sengaja datang untuk mendengar informasi ghibah.

Pada diri Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik. Beliau tidak pernah menunjuk secara langsung. Jika beliau tidak menyukai sesuatu pada diri seseorang, maka beliau bertanya, “Bagaimana kedaan segolongan orang yang begini dan begitu, atau berbuat begini dan begitu?” atau pertanyaan lain yang serupa dengan ini.

Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Jika Nabi shalallahu alaihi wa sallam mendengar sesuatu pada diri seseorang, maka beliau tidak bertanya, “Ada apa Fulan berkata begitu?” Tetapi beliau bertanya, “Ada apa segolongan orang berkata begini dan begini?”

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya, tidak menelantarkannya, dan tidak merendahkannya.” (HR. Muslim).

Menurut An-Nawawy, perkataan Nabi: “Tidak menelantarkannya”, maksudnya tatkala melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, atau tatkala menuntutnya suatu hak tertentu. Seharusnya dia menolongnya, membantunya dan menjaganya sekuat tenaga. Perkataan beliau: “Tidak merendahkannya”, artinya dia tidak boleh menganggap dirinya lebih baik daripada yang lain, tetapi dia harus menganggap bahwa orang lain lebih baik darinya, atau tidak menganggap apa pun. Sebab apa yang terjadi kemudian masih tersamar dan seseorang tidak tahu bagaimana kesudahannya.

Seorang muslim yang baik harus marah karena Allah kepada teman-temannya yang menyebutkan keburukan seseorang. Sebab mereka telah mendurhakai Rabb mereka dengan dosa yang amat keji, yaitu ghibah. Membenarkan ghibah sama dengan ghibah itu sendiri. Orang yang mendengarkan ghibah merupakan sekutu orang yang mengghibah, kecuali jika dia mengingkari atau membela kehormatan saudaranya.

Dari Utbah bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ada beberapa orang di antara mereka berkata, ‘Mana Malik bin Ad-Dukhaisyin?” Maksudnya anak Dahsyam.

Lalu sebagian menanggapi, “Itulah orang munafik yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Janganlah kamu berkata begitu! Tidakkah kamu tahu bahwa dia telah mengucapkan: ‘Tiada Ilah selain Allah’, dan dia menghendaki keridhaan Allah?”

Utban berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Sesungguhnya kami juga tahu nasihat yang diberikannya kepada orang-orang munafik.”

Beliau shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang berkata: ‘La ilaha illallah’, yang dengan ucapan ini dia mencari keridhaan Allah.”

Begitulah tindakan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang membela kehormatan orang yang tidak ada di sisinya dan beliau tidak suka jika orang ini dighibah atau disebut-sebut keburukannya di majelis beliau.

Bahaya Ghibah Bagi Gerakan Dakwah

Ghibah sangat berbahaya bagi gerakan dakwah. Karena salah satu faktor yang dapat merusak barisan, mengurai ikatan, dan mengguncang bangunan dakwah menurut Ustadz Fathi Yakan, adalah lahirnya perilaku suka bergunjing, mengadu domba, mengintai aib orang lain, banyak bicara, dan tersebarnya itu semua tanpa kendali dengan alasan memperbaiki keadaan melalui amar makruf nahi munkar.

Penyakit yang berbahaya ini, lanjut beliau, sayangnya telah mewarnai gerakan Islam diseluruh wilayah Islam, baik di lingkup lokal, regional, maupun negara. Hasilnya adalah: rasa rendah diri, goncangnya barisan, tiadanya tsiqah, serta tersingkapnya kelemahan harakah di hadapan musuh.

Membudayanya sikap suka bicara dan menceritakan apa yang didengar tanpa seleksi dapat menyebabkan gerakan Islam hancur. Bermula dari mencela qiyadah lalu meragukan konsep, akhirnya hancurlah bangunan harakah sama sekali.

Ustadz Fathi Yakan menegaskan nasehatnya kepada para pengemban dakwah yang berperilaku seperti itu untuk takut kepada Allah dari menodai kehormatan saudara-saudaranya. Jangan sampai mereka melukai saudara-saudaranya itu seperti seorang dokter memotong-motong jenazah, atau seperti tukang jagal memotong hewan, tanpa menjaga ucapan dan etika perbedaan antar sesama, obyektifitas dalam mengeritik, serta memperhatikan pilihan kata yang tepat ketika melemparkan pembicaraannya.

Hendaknya mereka memperhatikan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).

Mereka pun hendaknya merenungkan hadits berikut,

عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ، قَالَ: قُلْ رَبِّىَ اللهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ: هذَا.

Dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, katakan kepadaku sesuatu yang bisa kujadikan pegangan.’ Beliau menjawab, ‘Katakan bahwa Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah.’ Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apa yang paling Anda khawatirkan atas diriku?’ Rasulullah menunjuk mulutnya sendiri dan berkata, ‘Ini’” (HR. Tirmidzi).

Kemudian hendaknya mereka mengindahkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

وَ إِنَّ اَحَدَ كُمْ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ فَيَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ.

“Sungguh salah seorang di antara kalian berbicara dengan kata-kata yang membuat murka Allah tanpa dipertimbangkan akibatnya, maka Allah menetapkan dengan ucapannya itu murka-Nya hingga hari kiamat” (HR. Tirmidzi).

Jadi, virus ghibah ini harus kita berantas, dan kita hambat pertumbuhannya. Terutama di lingkungan pergerakan dakwah. Karena bagaimana kita akan mengobati penyakit-penyakit umat, jika para aktivis, da’i, ustadz dan ulamanya tidak mengobati penyakit-penyakitnya sendiri?

Wallahu a’lam…

————————————–

Daftar Pustaka

Majalisuna Ila Aina?, Adnan Ath-Tharsyah, Pustaka Al-Kautsar Jakarta Timur

Qabasun Min Nuri Muhammad, DR. Faiz Almath, Gema Insani Press, Jakarta

Al-Qur’anul Karim Wa Tafsiruhu Jilid IX, Kementerian Agama RI

Miracle The Reference Syamil Qur’an, Sygma Publishing, Bandung

Riyadlus Shalihin, Imam An-Nawawy, CV. Toha Putra, Semarang