Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

PENGANTAR


Hallo Ges.. Kali ini saya akan mengisahkan sebuah cerita horor, yang saya angkat dari sebuah kisah perjalanan saya di akhir tahun 90an. Pasti akan ada sebuah pertanyaan tentang keaslian cerita ini. Seperti biasa, kisah ini saya ramu dengan sedikit bumbu fiksi di dalamnya. Jadi jangan harap sepenuhnya cerita ini benar, dan jangan berharap cerita ini sepenuhnya salah. Karena salah dan benar hanya masalah dari sudut mana kita memandangnya.

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Beberapa latar, lokasi dan nama tokoh sengaja saya samarkan demi menghindari adanya pihak pihak yang tidak ingin di publikasikan. Karena enggak semua orang suka publikasi. Dan belum tentu juga publikasi suka dengan semua orang. Gambar yang di tampilkan pun hanya sebagai ilustrasi pelengkap. Dan bukan gambar sesungguhnya.
Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Cerita ini mengisahkan tentang sebuah rumah kosong di tengah hutan di sebuah daerah di Jawa. Barat, Tengah atau Timurnya, silahkan di asumsikan sendiri. Keberadaan rumah ini nyata adanya. Rumah itu terletak di sebuah kawasan alas atau hutan yang terkenal cukup angker bagi warga sekitar. Selain karena mahluk halus, katanya disini juga masih banyak hewan liar yang berkeliaran. Seperti macan, babi hutan, ular, kelelawar, kalajengking, lintah, tikus, semut, kecoa, laler, belatung, kunang kunang, laba laba sampai undur undur. Mungkin saking banyaknya hewan liar di situ, saya ga bisa sebutin semuanya secara mendetil. Karena ini bukan thread flora dan fauna.
Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Enggak ada informasi yang pasti tentang berapa lamanya rumah itu kosong. Kalaupun dilihat sekilas, tembok rumah itu tampak masih kokoh, meskipun sudah banyak di tumbuhi tanaman liar dan di tutupi lumut. Kelihatannya rumah ini di bangun dengan bahan material yang berkelas. Entah kelas berapa, saya juga ga pernah liat rumah ini pergi sekolah.
Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Sungguh amat di sayangkan sebenernya. Rumah sebesar ini harus di bangun di tengah hutan. Entah siapa pencetus idenya, dan pemilik rumahnya. Padahal kalo aja rumah ini di bangun di Jakarta dan di buat kos kosan mahasiswi, pasti jauh lebih menguntungkan. Kalo mahasiswinya belum bisa bayar, yah bisa di diskusikan di dalam kamar. Oke skip.. Ga usah ngeres.. Ini kisah horor, bukan cerita bokep.
Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Cerita ini insyaallah bakal rutin saya update kalo lagi inget. Kalo lagi ga inget, bisa tolong ingetin. Lalu gimana kelanjutan ceritanya? Mending simak bareng bareng aja. Silahkan siapkan cemilandan kopi. Dan sekali lagi, jangan lupa untuk lek, komen, sukreb dan polow ya. Karena komen yang berkualitas, menjadi hiburan tersendiri bagi para TS.. Sekali lagi selamat menikmati dan pastikan jendela dan pintu rumah anda sudah tertutup rapat. Takut ada yang nongol dari jendela. Sempak tetangga..
Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?



Quote:

Quote:

INDEX

SEBUAH INTRO
AWAL SEBUAH LANGKAH
MENEMBUS BATAS
MELANGKAH LEBIH DALAM
MELANGKAH TERLALU DALAM
LANGKAH YANG TAK SEJALAN
DIANTARA YANG DATANG DAN PERGI
ANTARA APA, SIAPA DAN MENGAPA
KEMBALI LEBIH DALAM
RUANG TERDALAM
TERBUAI SEMAKIN DALAM
MASUK LEBIH DALAM
KELUAR DI DALAM
KELUAR DARI DALAM
BERLARI MENJAUH
SEGERA HADIR







Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

CEK POS KOMEN DI BAWAH








Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

SEBUAH INTRO


“Emang letak persisnya di mana mas?” Tanya gue ke mas mas penjual kopi.

“Masuk aja terus ke dalam hutan. Masnya ikutin jalan terus, ke arah utara, sampai ketemu simpangan yang ada pohon besarnya. Mas ambil yang ke arah timur. Dari situ masnya tinggal ngikutin jalan lagi sampe ketemu batu besar sebelah kanan jalan. Nah ga jauh dari situ.” Jelas Mas penjual kopinya panjang lebar. Kami berempat Cuma manggut manggut.

“Intinya sih Cuma ngikutin jalan aja. Tapi kalo masnya udah ketemu sungai besar yang ada jembatannya, masnya jangan nyebrang. Balik lagi aja!” Sambung masnya lagi.

“Emang kenapa mas?” Tanya gue penasaran.

“Balik lagi aja. Kalo ketemu jembatan itu, berarti masnya udah salah jalan. Balik lagi ke arah selatan sampe ketemu simpangan lagi.” Sambungnya lagi. Kami berempat kembali manggut manggut.

“Gimana cuy? Gas nggak?” Seru Shendy sambil melirik gue.

“Hayo aja gue mah..” Sahut gue sambil nyeruput kopi. Sementara Andri dan Aldi ikut ngangguk ngangguk pertanda mengiyakan.

“Kalian beneran pada mau kesana?” Tanya mas mas penjaga warung kopi.

“Emang kenapa mas?” Tanya Aldi penasaran.

“Ya.. Hati hati aja mas.. Soalnya hutan ini terkenal angker.. Lagian letak rumahnya juga jauh di dalam hutan sana..” Jawab mas mas penjaga warung kopi itu.

Warung kopi itu terletak di pinggiran jalan utama menuju Alas Wagu. Jalan yang relatif sepi dari lalu lalang kendaraan maupun pejalan kaki. Warungnya sendiri Cuma berupa gubuk di pinggir jalan. Dan saat kami disana, pelanggannya ya Cuma kami berempat.

“Gapapa mas.. Kita emang biasa hunting tempat tempat begitu kok.” Sahut Andri.

Selain punya hobi naik gunung, kami berempat emang punya hobi baru yang memacu adrenalin. Uji Nyali.. Belakangan ini, kami sering mencari tempat tempat yang katanya dianggap angker, kemudian menjelajahi tempat tempat tersebut dengan harapan akan menemukan sesuatu yang menarik dan berbau mistis. Sayangnya sampai saat ini, kami berempat hanya sempat menemukan pasangan mesum di sebuah rumah kosong yang katanya angker. Sayang, kami ga sempat mengabadikannya, karena mereka keburu kabur. Yang tersisa Cuma kardus yang di pakai alas, sama celana dalem perempuan. BHnya sendiri gue cari ga ketemu. Padahal lumayan kalo dapet sepaket. Katanya bisa di jadiin jimat.

“Oh gitu.. Yo wes.. Kalo gitu pada hati hati aja. Kalo bisa, kalo mau kesana jangan sampe keburu gelap.” Sahut Mas masnya lagi.

“Yah mas.. Kalo tengah hari kesananya ga seru dong.. Kuntilanak juga masih pada tidur jam segitu.. Haha..” Sahut Shendi ngasal. Si mas masnya Cuma diem sambil ngelapin piring.

“Ya udah kalo gitu.. Kita cabut yuk.. belanja bekel buat tar malem. Udah sore nih” Sahut Andri. Gue liat jam tangan gue, waktu udah hampir menunjukan jam 5 sore.

“Berapa mas? Tadi kopi empat sama gorengan 10..” Tanya gue ke mas masnya.

“Semua sembilan ribu..” Jawab mas masnya.

“Ini mas, kembaliannya ambil aja..” Ujar Gue menyerahkan selembar sepuluh ribuan. Si masnya Cuma diem sambil menerima uangnya. Dan kami pun beranjak keluar.

“Mas, nanti kalo di sana ada yang manggil, diemin aja.. Ga usah nengok..” Teriak mas masnya dari kejauhan.

“Emang kenapa mas?” Tanya Aldi penasaran.

“Udah, turutin aja kata saya..” Sahutnya lagi sambil membereskan gelas kopi.

“Lah.. kocak..” Gumam Shendi. Dan kami pun bergegas menuju mobil.

“Kayanya bakalan seru nih..” Ujar Andri sambil nyetir.

“Ya.. Moga moga aja ga mengecewakan..” Sahut gue yang duduk di sebelah Andri.

“Feeling gue ngapa jadi ga enak ya?” Sahut Aldi di belakang.

“Mules kali lu? Kebanyakan makan tempe..” Sahut Shendi ngasal.

“Kaga.. Gue serius..” Sambung Aldi. Mukanya emang keliatan serius. Dan dia emang orang yang paling serius dan paling over thinking diantara kami berempat.

“Ah.. itu kan hanya perasaan dek Aldi saja.” Gue mencoba berkelakar. Yang lain pada ketawa, sementara Aldi Cuma diam, sambil membuang pandangannya ke luar mobil. Entah apa yang ada di pikirannya waktu itu.





Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

AWAL SEBUAH LANGKAH


Selesai membeli perbekalan di pasar Giriceto, kami kembali menuju ke arah Alas Wagu. Jaraknya lumayan jauh dari pasar Giriceto. Dengan kecepatan sedang saja harus di tempuh sekitar hampir satu jam. Padahal jalannanya relatif sepi. Di kiri kanan Cuma terlihat pepohonan, pegunungan, hutan dan sangat sedikit terlihat ada rumah warga di daerah situ.

Kami pun tiba di pinggiran jalan utama masuk ke area Alas Wagu. Warung Kopi yang tadi terlihat sudah tutup. Ga ada siapapun di sana, kecuali sbuah gerobak nasi goreng, yang enggak ada abang abangnya.

“Abangnya mana nih?” Sahut Andri sambil ngelongok ngelongok.

“Iya yak.. Enak kali nih mi rebus dulu kita..” Sahut gue lagi..

“Iyak.. Pas abangnya nongol, palanya kaga ada..Hahaha..” Sahut Shendi ngawur.

“Pala saya masi ada kok mas..” Sahut seorang mas mas yang keluar dari balik pohon..

“Egoblok.. Pala copot.. copot..” Sahut Shendi latah.

“Makan tuh pala copot..” Sahut gue sambil ngakak. Yang lain ikut ketawa..

“Mi rebus ada mas?” Tanya gue. Si masnya berjalan menghampiri gerobaknya.

“Ada mas.. Maaf, habis pipis saya tadi..” Sahutnya sambil cuci tangan di ember yang dia keluarkan dari dalem gerobaknya.

“Lu pada mau apaan?” Tanya gue ke yang lain.

“Gue mi goreng.” Sahut Shendi

“Gue mi rebus.” Sahut Andri.

“Gue goreng juga deh.”Sambung Aldi.

“Mi goreng dua, Rebus dua..” Ujar gue ke abangnya.

“Pedes semua nih?” Tanya abangnya.

“Iya bang.. Pedesin semua. Biar kaya lagi di nyinyirin ibu ibu komplek.” Sahut gue lagi.. Si abangnya cuman mesem.

Kami menikmati makanan itu sambil duduk di pinggiran jalan. Duduk santai sambil menikmati dinginnya malam di tepi Alas Wagu. Bulan purnama malam itu, menerangi suasana malam yang ramai dengan ocehan mulut kami berempat.

“Dah jam sepuluh nih.. Gas yuk..” Ujar Andri sambil menghisap sisa puntung rokoknya.

“Yok lah.. cus..” Sambut gue. Gue pun beranjak untuk membayar makanan tersebut.

“Berapa mas..” Tanya gue ke mas mas tukan nasi goreng itu.

“Semua tujuh belas ribu mas..” Jawabnya tanpa menoleh. Gue menyerahkan selembar dua puluh ribuan. Setelah menyerahkan kembaliannya yang berupa 6 keping logam lima ratusan, si mas masnya langsung buru buru pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Makasih mas..” Sahut gue agak kesel.

“Ya.. sama sama..” Sahut Shendy sambil setengah berteriak. Sementara si masnya udah makin jauh berjalan dan menghilang di kegelapan malam.

“Mobil parkir disini aman kali ya?” Ujar Andri sambil mengeluarkan tasnya dari bagasi.

“Gapapa kayanya.. Udah di pinggir ini..” Jawab gue sambil ikut ngeluarin back pack gue dari bagasi.

Setelah memastikan semuanya aman, kami pun beranjak pergi menelusuri jalan masuk Alas Wagu. Jalan yang makin lama makin terasa kecil. Bahkan kami mulai melewati jalan berbatu yang kadang terasa terjal. Sensasinya udah mulai mirip naik gunung.

Hawa dingin malam itu membuat suasana terasa makin menarik. Sesekali Lolongan burung hantu ikut mengiringi perjalanan kami malam itu. Terasa sangat syahdu. Tapi entah kenapa beberapa kali bulu tengkuk gue suka berasa merinding sendiri. Gue ga terlalu mempedulikan itu karena masih asyik menikmati debaran jantung di perjalanan kali ini.







Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

MENEMBUS BATAS


Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk kami akhirnya sampai di sebuah persimpangan yang di pisahkan oleh sebuah pohon besar yang keliatannya sudah tua. Gue sendiri ga tau berapa persisnya umur pohon tersebut. Karena pas pohon ini di lahirkan, gue ga di kabarin sama sekali.

Salah satu jalan yang ke arah timur tampak seolah di tutupi oleh ranting ranting yang sengaja di susun hingga menyerupai pagar. Seolah sebagai tanda untuk siapapun tidak melintas ke area yang lebih dalam. Dan kamipun membongkar dan menyingkirkan ranting ranting itu agar bisa melewati jalan tersebut.

Entah kenapa sejakmelewati persimpangan itu kami jadi lebih banyak diam. Mungkin karena makin kedalam, suasana tempat itu semakin kerasa mencekam. Udara terasa lebih lembab disini. Pohon pohon juga terasa lebih rimbun dan tinggi, hingga menyulitkan cahaya rembulan yang sedang penuh itu masuk menyinari jalan kami.

“Anjir.. Kaki gue.. lepasin.. Lepasin!!” Gue berteriak di tengah kesunyian malam itu. Gue mencengkeram bahu aldiyang berjalan di depan gue. Dia seketika ikutan panik. Shendi dan aAndri buru buru menghampiri gue dari arah depan.

“Si baik! Becanda aja Anjing!..” Seru Shendy setelah mengetahui bahwa kaki gue sengaja gue sangkutin di akar pohon. Seketika gue ngakak, ngeliat muka mereka yang panik. Muka Aldi kelihatan pyas.

“Monyet emang.. Anak setan!” Gerutu Aldi.

“Srimulat!” Sambung Shendi.

“Becanda mulu.. kapan sampenya su!” Seru Andri sambil kembali berjalan. Sementara gue masih asik menertawakan mereka.

Hampir satu jam kami menyusuri jalan kecil berbatuan itu. Hingga kami akhirnya menemukan sebuah batu besar yang hampir menutupi jalan itu. Entah dari mana asal batu besar itu hingga bisa berada disitu. Seolah batu itu sengaja di letakkan untuk menutup jalan akses kami untuk melangkah lebih jauh. Tekstur batunya lebih mirip batu kali di bandingkan batu pegunungan. Sementara hutan ini masih berada di area pegunungan kapur. Yang tentunya memiliki tekstur yang berbeda dengan batu kali.

Kami berusaha melewati batu besar tersebut dengan memanjat dari sisi lainnya dengan hati hati. Karena terlihat di sekitaran bebatuan disitu tampak di tumbuhi lumut yang membuat jalurnya bakal terasa lebih licin.

“Udah ga jauh berati ini cuy..” Ujar gue sambil menuruni bebatuan itu.

“Iya.. Kayanya sih dikit lagi..” Jawab Andri.

Dan sekitar sepuluh menit kemudian kami pun sampai di sebuah pelataran rumah yang penuh dengan ilalang. Rumah besar bergaya eropa itu, temboknya terlihat masih sangat kokoh meskipun banyak bagian rumahnya yang terlihat hancur. Tumbuhan menjalar tampak menghiasi sekeliling tembok bangunan itu.

Gue bisa bayangin betapa mewahnya rumah ini dulu sebelum hancur. Rumah dua lantai yang luasnya gue taksir sekitar seribu meteran ini, bener bener keliatan kaya sarang demit. Mungkin kalo gue di hibahkan rumah ini, gue bakal kelola rumah ini buat di jadikan tempat hiburan para setan. Diskotik, perjudian dan prostitusi. Gue rasa bakal aman jaya.






Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG





Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

MELANGKAH LEBIH DALAM


Kami pun mulai memasuki halaman teras rumah itu. Tiang penyangganya tampak sudah berlumut. Pintu masuknya sendiri sudah roboh. Tapi kayu kayunya terlihat masih bagus. Sepertinya yang di pake kayu jati pilihan. Pasti yang punya rumah ini bukan orang sembarangan. Yang jelas bukan orang miskin.

Senter kami mulai menyapu sudut sudut ruang utama di pintu masuk. Meskipun suasananya terasa mencekam, tapi gue belum melihat apapun yang terasa aneh. Beberapa perabotan yang sudah hancur di makan waktu tampak menghiasi ruangan itu. Cuma kalo gue perhatiin, kayanya ga ada tanda tanda bahwa rumah ini pernah punya peralatan elektronik. Secara gue enggak liat satupun stop kontak di sana. Dan kayanya rumah ini emang ga memiliki akses kabel listrik sama sekali.

Dari situ gue bisa berasumsi, bahwa rumah ini kemungkinan besar, di bangun sebelum Nyonya Meneer berdiri. Gue sendiri kurang tau kapan nyonya Meneer berdiri. Tapi pada umumnya orang mulai bisa berdiri sekitar usia 8 sampai 14 bulan.

“Cek kamarnya cuy. Kali ada yang mesum kaya waktu itu.” Seru Shendi sambil melangkah ke salah satu kamar besar yang ada di dekat ruangan utama.

“Gila kali.. Effort banget orang mau ngemprut disini..” Sahut Andri.

“Keburu ngencrit di jalan..Hahaha..” Timpal gue sambil berjalan menuju arah kamar yg sama. Rupanya itu adalah ruangan perpustakaan. Keliatannya sih gitu. Ada beberapa lemari yang keliatannya udah ancur disitu. Kelihatan ada lumayan banyak buku buku yang kayaknya udah mulai mengeras dan pastinya ga bisa di baca lagi.

Beberapa buku yang sempet gue liat sekilas, kelihatan kalo di tulis dengan bahasa belanda. Gue sendiri ga ngerti. Gue cuma berharap bisa menemukan majalah playboy versi belanda. Cuma kayanya enggak ada.

Mata gue tiba tiba terhenti pada sebuah benda yang tergeletak di dalam lemari buku itu. Sebuah bingkai penuh debu yang sudah terlihat sangat usang. Sebagian fotonya tampak memudar. Hanya menyisakan jelas sesosok wanita cantik Walau sudah terlihat luntur, wanita di dalam foto itu tampak terasa jelas kecantikannya di mata gue. Bukan orang belanda asli seperti yang gue pikirkan. Lebih mirip blasteran. Usianya mungkin sebaya gue saat itu. Atau mungkin lebih tua sedikit.

“Foto apaan?” Tanya Shendi sambil menyinari bingkai dengan senternya.

“Ga tau.. Mungkin pemilik rumah ini dulunya.” Sahut gue sambil meletakkan kembali bingkai itu di tempatnya. Beberapa tempat lilin dari besi tampak berserakan di lantai. Ini bener bener menguatkan dugaan gue tantang ga adanya aliran listrik di rumah itu sama sekali.

“Lanjut yuk, ke atas.” Ujar Andri sambil meletakkan kembali buku yang dia pegang. Kami pun bergegas keluar dari kamar itu dan menuju tangga di ruangan utama.

Plafon rumah itu udah hampir ga ada yang kesisa. Tata ruang di lantai atas juga ga terlalu kliatan banyak yang berbeda dari yang di bawah. Setelah ruang utama atas, terlihat ada beberapa kamar yang terlihat disana.

“Disini mulai agak panas ya hawanya.” Ujar Shendi.

“Iya nih.. Mulai kerasa beda.” Jawab gue sambil nyenterin sudut sudut ruangan utama itu. Beberapa sisa sisa perabotan terlihat disana. Meja, kursi yang terbuat dari kayu jati masih tampak utuh. Hanya terlihat usang dan berdebu. Mungkin ga sempet di bawa waktu pindahan karena kelihatannya bakal berat banget ngangkat meja yang cukup besar itu.




Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

MELANGKAH TERLALU DALAM


Mata gue menyapu seluruh ruangan itu. Tapi ga satupun ada yang aneh di mata gue. Semua tampak seperti rumah tua sebelum sebelumnya. Cuma entah kenapa, tekanan disini kerasa lebih berat di banding tempat tempat sebelumnya yang pernah gue datengin. Mungkin karena datarannya agak tinggi. Entahlah.

Kami mulai menyisir beberapa ruangan dan kamar yang ada di lantai atas. Beberapa perabotan seperti lemari dan tempat tidur juga masih berdiri disana. Sarang laba laba terlihat menghiasi setiap sudut rumah dan perabotan yang ada disana.

Bahkan di lemari kamar tidurnya, masih ada baju baju yang sudah terlihat sangat usang dimakan zaman. Gue mencoba memeriksa lemari pakaiannya dengan teliti. Cuma ada beberapa baju yang masih terlipat. Sisanya tampak berantakan di lantai.

Di atas meja cermin yang berdebu di kamar itu, gue menemukan sebuah bingkai yang berisi foto perempuan yang fotonya tadi gue liat dibawah. Kondisinya pun sudah mulai luntur. Tapi foto yang ini rasanya lebih menampilkan keanggunan perempuan itu. Entah kenapa gue seolah jatuh hati sama sosok ini. Seandainya di kampus ada yang kaya gini, pasti udah gue pacarin. Itu pun kalo dia mau.

“Foto yang tadi lagi ya?” Shendi membuyarkan lamunan gue sambil nyenterin bingkai yang gue pegang.

“Iya.. Kayanya beneran yang punya rumah.” Sahut gue sambil meletakkan kembali foto itu di atas meja.

Sekilas gue melihat pantulan di cermin, bayangan perempuan tadi tampak berdiri tersenyum di belakang gue. Sontak gue menoleh kebelakang. Namun gue enggak mendapatkan apapun di sana.

“Kenapa cuy?” Tanya Shendi, seolah paham gue merasakan sesuatu.

“Ga papa.. Kaya ada orang tadi di belakang gue.” Sahut gue. Mungkin itu Cuma halusinasi gue, gara gara kepikiran perempuan itu. Enggak tau juga.

“Ga ada apa apaan dah asaan. Perasaan lu doang kali..” Sahut Shendi sambil nyenterin ke arah belakang gue.

“Iya kayanya.. Yuk ah..” Sahut gue sambil melangkah keluar. Aldi dan Shendi pun mengikuti gue. Sementara Andri tampak asyik memperhatikan salah satu kamar di bagian belakang dari luar.

“Kenapa Dri?” Tanya gue sambil nyenterin keadaan sekeliling.

“Gapapa.. Kamar ini keliatannya beda..” Sahut Andri sambil melangkah masuk ke kamar itu.

“ Tap.. Tap.. Tap..” Suara langkah kaki bersepatu itu terdengar menaiki tangga. Gue, Shendi dan Aldi seketika terdiam dan saling berpandangan. Suara itu terdengar seolah makin mendekat.

Gue memutuskan untuk melihat ke arah tangga, di ikuti Aldi dan Shendi. Gue senterin seujung ujung tangga. Tapi ga terlihat apapun disana. Dan suara itu menghilang. Gue coba melongok kebawah, tapi ga kelihatan ada apapun yang mencurigakan.

“Mulai seru nih..” Ujar Shendi seperti orang bersemangat.

“Seru palalu..” Sahut Aldi mencibir. Sementara gue masih nyenterin sekeliling, memantau keadaan.

“BRAAAAKK!!” Tiba tiba suara keras terdengar dari kamar belakang. Seperti suara pintu yang di banting. Kami langsung berlari ke arah sumber suara, yang ternyata berasal dari kamar yang di masuki Andri.

Entah kenapa, kamar itu pintunya tiba tiba tertutup. Padahal seinget gue. Pintu kamar itu udah ga terpasang.

Gue membuka pintu itu, dan langsung menyenteri setiap sudut ruangannya. Kosong, Cuma ada sebuah kursi kayu dan kasur usang di lantai. Ga ada Andri disana.







Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

LANGKAH YANG TAK SEJALAN


Gue senter ke langit langit yang udah hampir ga da plafonnya. Andri juga ga di sana. Dan kemudian gue tersadar, bahwa Andri ga mungkin nempel di atas sana, karena dia bukan spiderman atau bahkan cicakmen.

“Ndri.. Ndri..” Panggil gue. Ga ada sahutan. Shendi dan Aldi pun ikutan memanggil namanya. Tapi ga ada sama sekali tanda tanda jawaban. Padahal terakhir kali gue liat, dia masuk ke kamar ini.

“Ndri.. Jangan becandalah.. Ga lucu cuy!” Teriak gue. Aldi mulai keliatan gelisah. Shendi mulai keliatan panik. Gue sendiri bingung musti ngapain.

Dan kami memutuskan untuk menyusuri setiap ruangan yang ada di lantai itu. Dari mulai ruangan utama, sampai ke kamar belakang, sudah habis kami sisir. Dan lagi lagi kami ga berhasil menemukan keberadaan Andri.

“Si baik kemana si?” Gerutu Shendi.

“Apa mungkin dia kebawah?” Tanya Aldi.

“Ga mungkin..Mau lewat mana?” Kan tangganya Cuma yang tadi.” Jawab gue.

“Lompat jendela?” Sahut Aldi lagi ngawur.

“Ya ga mungkinlah. Bisa patah itu tulang, loncat segini tingginya.” Jawab gue lagi.

“Terus kemungkinannya apa?” Tanya Aldi lagi.

“Di emut kolong wewe!” Jawab Shendi ngasal.

“Kita cari sekali lagi. Kalo ga ada, baru kita cari kebawah.” Usul gue. Mereka pun mengiyakan.

Dan kami kembali berkeliling sambil memanggil namanya. Ga ada sahutan, dan ga ada tanda tanda keberadaanya. Gue cek sampe dalem lemari dan bawah tempat tidur, tapi hasilnya nihil. Bukan Andri yang gue temui, melainkan Cuma setumpuk debu dan sarang laba laba yang ada di sana. Dan akhirnya kami bertiga memutuskan untuk melanjutkan pencariannya di lantai bawah.

“Si goblok bener bener dah..” Gerutu gue sambil menuruni anak tangga dengan perlahan.

“Tau.. Malah main petak umpet di tempat beginian.” Sahut Shendi.

“Coba cek dari kamar depan.” Gue berjalan menuju ke kamar utama, sambil memeriksa tiap sudut ruangan dan perabotan. Shendi juga tampak sibuk memeriksa lemari lemari yang ada disana. Sementara Aldi..

“Cuy, Aldi kemana?” Tanya gue ke Shendi. Cahaya senter gue terus menyapu berbagai sudut ruangan yang gelap itu.

“Lah.. Tadi di belakang gue..” Jawab Shendi, sambil celingak celinguk.

“Aldi.. Di..” Teriak Shendi. Tapi ga ada jawaban di keheningan malam itu.

“Di.. Ayo di.. Kita main bola lagi..” Teriak gue menirukan sebuah iklan layanan masyarakat zaman dulu.

“Ah.. Si tolol, pake acara ikut ikutan maen petak umpet!” Gerutu Shendi.

Gue berdua pun beranjak berkeliling ruangan lagi mencari kedua teman kami yang hilang tiba tiba tanpa jejak. Beberapa kali kami mengelilingi seluruh ruangan itu, tapi ga ada tanda tanda keberadaan mereka disana.



Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG

Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

DIANTARA YANG DATANG DAN PERGI


“Kita coba cari di luar cuy?” Tanya gue ke Shendi. Karena gue sendiri udah ga ngerti musti nyari mereka kemana lagi.

“Yok dah..” Sahut Shendi sambil beranjak keluar. Gue menyisir halaman luar dengan cahaya senter.

“Coba cek kebalakang cuy.” Sahut gue, saat melihat ada jalan menuju arah ke belakang rumah. Kami melewati ranting ranting dan ilalang yang tumbuh liar disana.

“Lu nyium sesuatu ga?” Tanya gue.

“Anjing.. Kentut lu ya?!” Shendi buru buru menutup hidungnya.

“Bukan goblok! Kaya bau orang masak nasi!” Sahut gue. Bau itu terasa dekat sama hidung gue. Shendi mengendus ngendus.

“Iya cuy. Bau nasi.” Sahut Shendi pelan. Gue perlahan melanjutkan langkah gue menyusuri jalan menuju belakang rumah itu.

“Shen.. Liat!” Gue menunjuk sebuah bangunan dari kayu yang terletak di samping belakang rumah itu. Bangunan kayu bercat hijau itu, mirip seperti rumah adat jawa. Gue dan Shendi perlahan menghampiri rumah yang kelihatan masih utuh itu. Tampaknya bangunan ini juga terbuat dari jati pilihan.

“Kayanya baunya dari situ cuy.” Ujar gue sambil menunjuk bangunan itu pake mulut.

“Jangan jangan warteg cuy?!” Sahut Shendi

“Ya kali buka warteg di tempat kaya gini!? Siapa yang mau beli?” Sahut gue.

“Poconglah.. Masa putri duyung?!” Jawab Shendi makin ngawur.

“Goblok!” Umpat gue.

“Coba buka pintunya!” Sahut Shendi. Kami pun mendekat ke arah pintu yang berada di bagian depan bangunan itu.

Gue dorong pintu itu perlahan. Ga dikunci. Gue melangkah masuk perlahan sambil menyinari ruangan itu dengan senter. Gue melihat 3 gilingan padi manual yang berjejer rapi di bagian tengah ruangan. Bagian lantainya masih tanah. Di sisi sisi ruangan terlihat beberapa karung bekas yang berserakan. Sementara bagian pojok, terlihat ada beberapa tumpukan karung, yang entah isinya apa. Mungkin gabah kering. Gue berjalan mendekat untuk memastikannya.

“Astaghfirullah.. Apaan itu?!” Mata gue terbelalak ketika melihat sesosok perempuan yang duduk di pojokan sambil memeluk lututnya. Rambutnya panjang terurai. Wajahnya menunduk di balik lututnya. Ia mengenakan kemeja panjang terusan berwarna putih.

“Orang bukan cuy?” Bisisk Shendi.

“Mana gue tau!” Sungut gue.

“Cek coba..” Timpal Shendi. Gue berjalan mendekat sambil memfokuskan senter gue ke arah mahluk itu.

“Mbak.. Mbak orang bukan?” Gue mencoba memberanikan diri mendekati mahluk itu. Dia ga bergeming.

“Coba colek. Jangan jangan ga ada mukanya.” Sahut Shendi. Jantung gue makin berdegup kencang membayangkan kemungkinan kemungkinan yang mengerikan. Gimana kalo dia zombie? Kelar idup gue!

“Mbak.. Mbak ngapain disini?” Sahut gue lagi sambil mencoba menepuk lengannya.

“Mas.. Tolong saya.. Saya Mohon.. Tolong sayaa..” Sosok yang ternyata perempuan itu langsung mencengkeram lengan gue sambil minta tolong. Dan seketika itu jantung gue hampir aja loncat dari tempatnya. Perempuan itu mencengkeram dan menggoyang goyangkan lengan gue. Wajahnya mulai terlihat jelas. Bayangan setan muka rata pun pupus sudah. Wajah cantik itu tiba tiba membuat gue sedikit lega. Namun seketika gue kembali tercekat.

Wajah ini. Wajah cantik ini. Ini adalah perempuan yang ada di foto di dalam rumah itu tadi. Ga salah lagi. Gue bisa melihat aura kecantikannya dengan sangat jelas. Siapa dia sebenarnya? Sedang apa dia disini? Semua berkecamuk di dalam otak gue.

“Shen, ini perempuan yang tadi di foto!” Ujar gue ke Shendi. Sementara perempuan itu masih berusaha minta tolong ke gue. Shendi ga menjawab.

“Shen..” Gue pun menoleh ke belakang karena curiga. Senter gue kembali menyapu ruangan itu. Ga ada Shendi di sana. Anjing.. Apa lagi ini?!

Seketika itu juga tengkuk gue jadi makin berasa berat. Perempuan itu masih mencengkeram lengan gue dengan kuat sambil berusaha meminta tolong. Gue jadi ragu untuk kembali melihat wajahnya. Gimana kalo ntar begitu gue senter mukanya berubah menyeramkan? Gimana kalo ternyata dia bukan orang?! Gimana kalo ternyata dia siluman kutu beras? Gimana kalo ternyata.. Ah.. Semua bayangan itu, seketika meresap ke rongga rongga otak gue.







Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

ANTARA APA, SIAPA DAN MENGAPA


Gue memutuskan untuk memberanikan diri menatap wajah perempuan itu. Perlahan gue arahkan cahaya senter itu kewajahnya. Dan seketika gue bisa bernafas lega, wajah cantik yang tampak ketakutan itu masih terpampang jelas disitu. Perempuan itu masih mengiba minta untuk ditolong. Entah apa yang sebenernya terjadi.

“Tenang mbak. Mbaknya kenapa?” Tanya gue sambil berusaha menenangkannya.

“Tolong mas.. Tolong sayaa..” Ucapnya berulang ulang.

“Iya.. Saya tolongin.. Tapi mbaknya kenapa?” Tanya gue lagi.

“Saya di kejar kejar orang mas.. Tolongin saya.. Saya mau di bunuh..” Ujarnya panik. Seketika itu gue jadi ikutan panik. Urusan menyelamatkan orang dalam acara bunuh membunuh bukanlah bidang gue. Gue emang suka film thriller, tapi gue lebih suka film bokep. Ah.. Otak gue ga sanggup berfikir apapun kecuali lari.

“Tenang mbak. Ga ada orang disini! Mbaknya aman..” Sahut gue lagi berusaha menenangkan perempuan itu.

“RATIH!! Keluar kamu!!” Sayup sayup suara teriakan itu terdengar jelas di kejauhan. Seketika itu juga kami berdua makin panik.

“Mas itu.. Tolong saya mas. Tolong saya!” Perempuan itu makin panik. Dan kami pun panik berjamaah.

Gue mencoba mencari sesuatu yang bisa di pake buat melawan. Namun ga ada satupun AK47 ataupun KRISS SUPER V disana. Dan akhirnya, gue Cuma bisa memungut sebuah balok kayu yang gue rasa cukup buat sekedar di jadikan pegangan. Ga tau juga kalo buat ngelawan. Gue berharap, semoga si penjahat Cuma bawa jarum pentul buat senjata.

“RATIH!! Keluar kamu!!!” Suara itu makin mendekat. Perempuan itu keliatan makin panik megangin lengan gue.

“Tenang.. Kita sembunyi disini. Mbak ikutin saya ya.” Bisik gue ke perempuan itu. Kami pun bersembunyi di balik pintu masuk. Sebenernya gue juga takut. Tapi wajah cantik itu, seolah menyirnakan semua ketakutan gue. Gue harus jadi pahlawan. Pahlawan kemaleman. Enggak tau, jam berapa sekarang. Gue sendiri dari tadi ga sempet ngeliat jam, karena terlalu banyak kejadian absurd yang menyita waktu gue.

“Ratih.. Mau sembunyi di mana lagi kamu.. Kamu sekarang ga bisa lari lagi!” Teriakan itu semakin mendekat ke arah pintu masuk. Gue mencoba memasang telinga baik baik. Memastikan jumlah orang yang datang. Kalo Cuma satu, mungkin gue masih bisa atasi. Tapi kalo rame, rasanya gue lebih memilih untuk menekan tombol surender di pengaturan.

“Keluar kamu!! Kamu pasti di dalam sini kan!” Teriak laki laki itu dari luar sambil melangkah masuk. Gue mengumpulkan seluruh keberanian dan seluruh sisa tenaga gue untuk menghantamkan balok kayu yang gue pegang ke kepalanya. Pria itu seketika tersungkur. Enggak tau pingsan, enggak tau mati. Yang jelas dia terjatuh dan tidak sadarkan diri.

“Ayo pergi dari sini.. Udah aman..” Ujar gue ke permepuan yang kayanya namanya Ratih. Ia kembali mendekat.

“Masih ada yang lainnya. Dia tidak sendirian..” Sahut perempuan itu parau.






Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

KEMBALI LEBIH DALAM



“Kalo gitu kita pergi dulu dari sini.” Sahut gue lagi. Perempuan itu mengangguk. Kami pun menelusuri jalan setapak menuju ke bagian depan rumah itu.

Kami berjalan menjauhi rumah itu. Gue harus keluar dari tempat ini secepatnya dan meminta bantuan ke desa terdekat. Cuma itu yang bisa gue pikirin saat ini.

Namun, belum juga lima menit kami berjalan, hujan deras tiba tiba saja turun tanpa pertanda apapun. Angin dan petir seolah bersahutan dengan tiba tiba. Perjalanan jadi makin berat kalo gue paksain. Secara track yang harus kami lalui cukup licin walaupun dalam keadaan kering. Bagaimana kalo hujan. Belum lagi kabut yang mulai membatasi jarak pandang gue. Bisa nyemplung jurang, kalo gue paksain jalan.

“Kita balik lagi ke rumah, gimana? Mumpung belum terlalu jauh!” Usul gue ke perempuan itu. Perempuan itu hanya mengangguk pasrah. Dan kami pun balik lagi ke rumah sialan itu.

Kami berteduh di pelataran rumah itu. Tapi tampaknya tak ada tanda tanda kalo hujan ini bakal berhenti dalam waktu dekat. Bahkan angin dan petir malah terasa makin kencang. Kami pun memutuskan untuk menunggu di dalam.

“Di sini kamu rupanya Ratihhh! Sekarang, ga bisa lari lagi kamu!” Suara besar dari dalam rumah itu bener bener bikin jantung gue geser dari tempatnya. Reflek gue ambil balok yang dari tadi masih gue bawa bawa buat jaga jaga.

Sesosok pria berbadan tegap itu melemparkan rokoknya seraya berjalan cepat ke arah kami. Gue mendorong perempuan itu menjauh agar terhindar dari bahaya. Pria itu mengayunkan golok yang ia pegang. Beruntung gue masih bisa menghindari serangannya dan membalas menyabetkan balok ke tangannya. Berhasil.. golok yang ia pegang pun terjatuh.

Namun Pria itu berusaha menyerang gue dengan membabi buta. Bahkan dia berhasil membuat gue terpojok dan memukuli wajah gue dengan beringas. Gue mencoba menghiraukan rasa sakit yang gue alami. Sekuat tenaga gue mencoba berontak dan mengambil alih situasi disana. Pria itu sempat terhuyung setelah menerima tendangan di kepalanya.

Kesempatan itu ga gue sia siain. Gue langsung menghantam kepalanya dengan balok yang tadi sempat terjatuh. Entah kenapa kali ini gue ngerasa ga cukup buat mukul sekali. Gue hantam kepala itu berkali kali dengan sekuat tenaga. Untuk memastikan ia ga akan bangun dalam waktu yang lama. Pria itu langsung tersungkur. Darah segar tampak mengalir dari kepalanya. Gue bener bener ga ngerti sama apa yang barusan gue lakuin. Mata gue gelap. Mungkin karena senternya gue matiin.

Ratih tampak meringkuk di pojok ruangan. Gue menghampirinya setelah memastikan pria itu ga bergerak lagi.

“Tenang, udah aman sekarang..” Ujar gue sambil menepuk pundaknya.

“Mereka ga akan berhenti..” Ujarnya parau.

“Mereka itu siapa?” Tanya gue penasaran.

“Mereka.. Mereka..” Matanya tampak berkaca kaca.. Pandangannya tiba tiba menerawang.

“Ya udah ga papa. Sementara ini, kita sembunyi dulu disini. Setelah hujan reda, kita keluar cari bantuan ya.” Gue berusaha menenangkan dirinya yang kelihatan shock berat.

“Kalo gitu lebih baik kita sembunyi di bawah..” Ujarnya sambil bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke arah kamar bagian belakang rumah itu. Ruangan yang berada di pojokan rumah yang sepertinya juga bekas tempat penyimpanan beras. Terlihat dari beberapa bekas karung kosong yang berserakan di sana.

Ratih mengangkat papan papan kayu yang numpuk di pojokan. Gue pun membantunya. Hingga terlihatlah cor coran besar yang bisa diangkat. Kelihatannya cukup butuh tenaga besar buat mengangkatnya.







Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG






Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

RUANG TERDALAM


“Bisa angkat ini?” Sahut Ratih. Gue mencoba mengangkatnya. Namun hanya terangkat sedikit. Dan penutup itu kembali ke tempatnya semula.

“Berat banget!” Sahut gue.

“Di bawah, ada ruangan. Tempat penyimpanan beras. Ga ada yang tau keberadaan ruangan itu. Kita bisa aman disitu.” Sahut Ratih kelihatan bersemangat.

“Mbak bisa bantu angkat?” Tanya gue. Ratih Cuma mengangguk dan sedikit tersenyum. Entah mengapa senyum itu seolah meluluhkan hati gue, dan serasa mengumpulkan kembali seluruh tenaga gue yang sudah hampir di ujung batas itu.

“Satu.. Dua.. Tiga..” Penutup lubang itu pun terangkat sempurna. Entah kenapa, percobaan kali ini terasa jauh lebih mudah. Mungkin karena ngangkatnya berdua.

Ratih masuk lubang itu terlebih dahulu melewati tangga yang tersedia. Gue pun menyusul setelah memastikan lubangnya kembali tertutup setelah gue masuk. Pintu masuknya menuju sebuah lorong yang ga terlalu besar. Disitu juga terdapat banyak tumpukan karung berisi beras di kedua sisinya.

Sementara di ujung lorong, tampak sebuah pintu. Ratih membuka pintunya. Dan ternyata itu adalah sebuah ruangan dengan perabotan yang masih utuh. Ada lemari, meja, kursi, sofa bahkan tempat tidur di dalamnya. Semua masih tertata rapih. Bahkan, gue enggak liat debu sedikitpun disana, apalagi sarang laba laba. Semua masih tampak bersih. Agak terasa aneh mengingat bangunan ini sendiri sudah tidak terawat. Tapi mungkin aja kalo perempuan itu sering datang kesini dan merawatnya. Entahlah, otak gue rasanya terlalu lelah buat menganalisa sesuatu saat ini.

Ratih mengunci pintu itu dari dalam. Ia kemudian seperti mencari sesuatu di laci meja. Rupanya korek api. Yang kemudian ia gunakan untuk menyalakan lampu minyak yang ada di tiap sisi dindingnya. Sangat membantu. Karena memang mau ga mau, gue harus menghemat daya batre senter gue yang mungkin umurnya ga akan lama lagi.

Seandainya ada api unggun pasti jauh lebih membantu. Secara baju gue udah basah semua karena hujan. Dan baju ganti gue, semuanya ada di mobil. Fix bisa masuk angin kalo begini caranya.

Setelah memastikan semuanya aman gue melepaskan sepatu dan jaket dan celana panjang gue yang basah, dan menggantungkannya pada sebuah tempat gantungan di dekat pintu. Sementara tas yang gue bawa, gue geletakin di dekat tempat tidur. Untung di balik celana panjang, gue masih pake celana kolor olah raga. Jadi masih aman.

Ratih tampak mencari sesuatu di bagian atas lemari rak. Ia bahkan sampai menaiki kursi untuk membantunya mengambil sesuatu dari atas sana. Jantung gue tiba tiba berdesir melihat pemandangan itu. Kemeja putih terusannya terlihat menerawang terkena cahaya lampu dinding. Gue buru buru mengalihkan pandangan, karena takut ga kuat.

“Ga ada baju salin disini, tapi mungkin ini bisa sedikit menghangatkan badan.” Ujar Ratih sambil menyodorkan sebotol minuman. Entah minuman apa. Yang gue tebak pasti bukan wedang jahe. Karena meski fungsinya sama sama menghangatkan badan, rasanya gue enggak pernah liat wedang jahe warnanya bening.






Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG





Quote:

Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?


Quote:

Quote:

TERBUAI SEMAKIN DALAM


“Apaan itu?” Tanya gue ragu.

“Minum aja..” Ujar Ratih sambil menyodorkan botol itu. Gue masih keliatan ragu untuk meraihnya. Mungkin karena ga tau isinya apa. Kalo Cuma aer biasa, gue juga masih ada sedikit di tas.

“Takut banget beracun ya? Nih aku minum..” Ratih menenggak minuman tersebut di depan gue masih dalam posisi berdiri. Sementara gue duduk nyender di bawah ranjang karena lelah.

“Nih..” Ratih kembali menyodorkan botol itu ke gue. Gue pun menerimanya. Gue liat botol itu sekilas. Semuanya tertulis dalam bahasa belanda. Aroma alkohol terasa menyengat begitu mulut gue mendekati mulut botol itu. Mungkin dengan minum ini bisa sedikit meredakan dingin yang udah mulai berasa sampe ke tulang tulang ini. Gue pun meminumnya beberapa teguk. Hfaahh.. Terasa begitu hangat di tenggorokan.

“Enak kan?” Ujar Ratih sambil tersenyum. Gue Cuma manggut manggut. Gue menyerahkan botol itu kembali ke Ratih. Ratih mengambilnya sambil duduk di pinggiran tempat tidur. Kakinya yang jenjang menjuntai ke bawah, tepat di samping gue. Gue buru buru mengalihkan pandangan gue.

“Duduk sini.. Jangan di bawah.” Sahut Ratih sambil menepuk pinggiran ranjang. Otak nakal gue seraya bertanya tanya.. Apakah ini kode?.. Pikiran pikiran tolol gue mulai berkecamuk di otak gue yang notabene isinya Cuma pikiran kotor semua.

“Sini..” Ulang Ratih.

“Baju saya basah..” Sahut gue mencoba beralasan.

“Gapapa. Ntar juga kering.. Sini..” Sahutnya setengah memaksa. Gue pun menurutinya. Gue duduk di sebelahnya di pinggiran tempat tidur itu.

“Oh iya.. Dari tadi kita belum saling kenal.. Saya Sive..” Ujar gue sambil mengulurkan tangan. Kelihatan kikuk.. Tapi Cuma itu yang gue bisa lakukan saat itu. Entah mengapa, setiap melihat wajahnya yang cantik itu, seolah gue seperti kehilangan kata kata.

“Ratih..” Ia membalas jabatan tangan gue dengah hangat sambil tersenyum. Ah.. Senyuman itu lagi lagi begitu mempesonakan hati gue. Seandainya dia mau, maka gue akan membawanya pulang ke Jakarta. Dan bakal gue nikahin dia. Hmm.. Tapi nunggu gue lulus kuliah dulu deh.. Terus kerja.. Terus sukses.. Baru nikah.. Kelamaan ya? Yaudah kimpoi siri dulu gapapa kali. kimpoi pake daun sirih.. Biar keset.. Eh..

“Ngomong ngomong, mbaknya kenapa bisa ada disini?” Tanya gue.

“Aku emang tadinya tinggal disini..” Ucapannya terhenti. Matanya menerawang. Ia menghela nafas, kemudian kembali menenggak kembali botol yang ia pegang. Dari caranya minum, kayanya dia terbiasa sama minuman ini.

“Tapi banyak kejadian, yang akhirnya mengharuskanku melanjutkan hidup dengan cara seperti ini..” Sambungnya sambil kembali menenggak botol itu lagi. Gue rasa dia haus.

“Sudahlah.. Ga penting.. Nanti kamu juga tau sendiri..” Sahutnya sambil tersenyum seolah menutupi kesedihan yang ia rasakan. Entah apa maksudnya. Gue juga gangerti. Seolah banyak hal yang dia sembunyikan saat itu.

Ia menyodorkan botol itu kembali ke gue. Gue menerimanya, dan kembali meminumnya. Kepala gue berasa makin enteng. Saking enteng, gue serasa melayang layang. Dingin yang gue rasain gara gara basah, udah lumayan mereda karena minuman ini.






Kenapa setiap bangun tidur badan rasanya sakit semua?

BERSAMBUNG