Jumlah batu yang diperlukan untuk melontar semua jamarat pada hari tasrik sebanyak

Jakarta, CNN Indonesia --

Salah satu rangkaian ibadah haji yang wajib dilakukan umat Muslim adalah melempar jumrah. Ini dilakukan jemaah setelah wukuf di Arafah dan mabit atau menginap di Muzdalifah.

Melempar jumrah dilakukan pada 10 Zulhijah hingga hari tasyrik yakni 11, 12, dan 13 Zulhijah di Mina. Di masing-masing hari tersebut, jemaah wajib melontar Jumroh Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah dengan tujuh batu kerikil.

Batu kerikil yang akan dilempar saat jumrah ini dikumpulkan saat menginap di Muzdalifah. Jumlah batu yang dikumpulkan sebanyak 70 atau 49 butir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jika jamaah berencana menginap selama tiga hari, maka dipersilakan mengambil 70 butir kerikil. Jika berencana menginap selama dua hari, maka kerikil yang diambil berjumlah 49 butir.

Batu-batu kerikil itu akan dilempar di tiga tiang yang diberi nama Kompleks Jembatan Jumrah di Kota Mina yang terletak di sebelah timur Makkah.

Ada tujuh butir batu yang harus dilempar di masing-masing tiang. Kenapa harus tujuh butir batu yang dilempar?

Ketua PBNU Kyai Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur mengatakan, aturan melempar tujuh butir batu kerikil ini merupakan hal yang dilakukan Nabi Muhammad SAW di masa lalu.

"Dan semua amalan haji mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, termasuk lempar jumrah ini," kata Gus Fahrur saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (8/7).

Dia menjelaskan, lempar jumrah atau ramyul jumrah adalah melemparkan batu kerikil pada waktu, tempat, dan jumlah yang sudah ditentukan. Ini juga menjadi simbol melempar setan.

"Setan ini dijelmakan dalam tiga bagian, yaitu jumrah ula [pertama] atau jumrah sughra, jumrah wustha [tengah], dan jumrah 'aqabah [terakhir]," jelasnya.

Jumlah batu yang diperlukan untuk melontar semua jamarat pada hari tasrik sebanyak
Ilustrasi. Jemaah haji akan melakukan lempar jumrah di Mina, Arab Saudi. (AP/Ministry of Media)

Iblis atau setan ini dianggap sebagai musuh manusia yang nyata. Melempar jumrah dilakukan sebagai bentuk memerangi iblis agar godaan mereka tidak bisa menembus diri manusia.

"Sampai kiamat, iblis tidak akan pernah mati. Jadi, percuma saja kalau kita ingin membunuhnya. Maka, yang harus kita bunuh adalah sifat-sifat iblis dan setan yang ada dalam diri kita," jelasnya.

Gus Fahrur juga menjelaskan, tujuh batu kerikil yang harus dilempar saat jumrah tidak boleh dilontarkan sekaligus. Ini adalah salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan umat Islam.

Sebaiknya, setiap batu dilempar satu per satu yang juga dilakukan sambil mengucapkan lafal takbir (Allahu Akbar).

"Melempar jumrah merupakan perintah Allah. Melakukan keduanya [sambil membaca takbir] merupakan bentuk ketaatan yang akan membuat setan kesal dan menjauh dari manusia," kata dia.

(tst/asr)

[Gambas:Video CNN]

Kemarin, Jumat 31 Juli 2020 kita semua merayakan Idul Adha, bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijah 1441 H, di akhir Juli 2020. Saya jadi teringat, 4 tahun lalu tepatnya Senin pagi 12 September 2016 atau 10 Dzulhijjah 1437 H saya berada di Mina untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji terberat berupa melempar jumrah. Dimana sehari sebelumnya seperti pada tulisan saya kemarin, saya melaksanakan wukuf di Arafah dari tanggal 9 Dzulhijjah 1437 H dari siang hingga petang hari. Kemudian kami bergerak di malam hari melalui Muzdalifah menuju Mina.

Saat sampai di Muzdalifah, kita diwajibkan melaksanakan mabits bagi yang mampu, yaitu bermalam minimal telah melewati tengah malam, yang lebih utama mabit dilakukan sampai selesai shalat Subuh sebelum kemudian berangkat ke Mina untuk melakukan Jumrah Aqabah.

Jika dianalogikan, peranan mabit di Muzdalifah sebagai simbol perbekalan yang ikut menentukan keberhasilan perang di Mina dapatlah disebut sebagai momentum untuk melawan musuh yang dianalogikan seperti melawan setan yang akan dilempar secara simbolik oleh batu kerikil di Jamarat Mina selanjutnya.

Di Muzdalifah kita mengambil kerikil untuk melaksanakan jumrah aqabah, kita cukup mengambil tujuh batu kerikil saja, karena untuk melontar jumrah pada hari-hari Tasyrik boleh diambil memungut di Mina. Boleh juga diambil di Muzdalifah sebanyak yang diperlukan yaitu 49 butir kerikil bagi yang nafar awal atau 70 butir bagi yang akan nafar tsani. Saat itu, kerikil sudah tersedia banyak ditempatkan pada beberapa area, sehingga memudahkan jamaah. Jika sebelumnya Mama saya bercerita perjalanan haji beliau di tahun 2012, batu-batu tersebut masih bertebaran dan jamaah harus memungut mencari dan membelahnya menjadi batu kerikil. Pelayanan di tahun 2016 semakin baik, area mabit pun sudah beralaskan karpet merah, sehingga kita jamaah tidur atau bermalam sejenak di Muzdalifah dibawah langit indah beralaskan karpet, tidak seperti ketika Mama di tahun 2012 katanya.

Saat itu, karena kejadian kecelakaan di Mina pada tahun sebelumnya, maka untuk ritual lempar jumrah pada musim haji tahun 2016, pemerintah Arab Saudi mengeluarkan aturan baru dalam pengaturan waktu lempar jumrah untuk menghindari berdesak-desakan jamaah saat melempar jumrah dan menghindari terjadinya kembali kecelakaan saat melempar jumrah. Aturan larangan melempar jumrah tersebut diantaranya;

1. Pada hari pertama, 10 Dzulhijah jamaah dilarang untuk melempar jumrah pada pukul 06.00-10.30 waktu setempat.

2. Pada hari kedua, 11 Dzulhijjah larangan berlaku pada pukul 14.00-18.00 waktu setempat

3. Pada hari ketiga, 12 Dzulhijjah pada pukul 10.30-14.00 waktu setempat.

Rangkaian ibadah haji melempar jumrah dilaksanakan pada Tanggal 10,11,12,13 Dzulhijjah yaitu melempar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah. Kegiatan melempar jumrah merupakan paling menguras tenaga karena perkemahan Jemaah dari Indonesia termasuk jauh dari jamarat, saat itu sekitar 7 Km dan harus ditempuh dengan berjalan kaki bolak balik selama tiga hari.

Disana, ada hal yang saya ingat, ada saatnya dimana saya melakukan ibadah melempar jumrah dengan pergi sendiri disaat kawan-kawan rombongan lainnya beristirahat di tenda. Saya menikmati berjalan kaki sendirian sejauh 7 km, di kiri kanan jalan banyak yang berjualan. Kebiasaan saya pergi kemana pun sendirian di Indonesia, terbawa saat disana, kadang disela rangkaian ibahad haji, kemana pun saya menikmati pergi sendiri. Seperti saat di Mekah beberapa kali saya melaksanakan pergi umroh sendirian naik taksi. Alhamdulillah, Allah selalu menjaga dan melindungi, yang terpenting niat dan komunikasi yang baik.

Selesai rangkaian ibadah haji melempar jumrah, Jamaah Haji Indonesia kloter pertama yang dijadwal kembali ke tanah air lebih awal umumnya mengambil nafar awal, langsung tawaf ifadhah dan sa’i, tahallul dan bersiap tawaf wada’ untuk kemudian terbang ke tanah air.

Teringat saat itu, saya dan rombongan, melakukan nafar tsani, sehingga saat jamaah lain banyak yang pulang, kita masih menginap di tenda di Mina yang sudah lebih nyaman dengan adanya pendingin ruangan dan karpet yang tebal serta fasilitas toilet yang cukup banyak dan memadai sehingga tidak terlalu mengantri. Juga makanan yang disediakan bergizi dan tercukupi saat di Mina.

Saat melakukan nafar tsani, ada hal yang tidak akan saya lupakan, dimana ada satu rombongan yang ketua rombongannya kurang komunikasi dengan Petugas Haji, melakukan nafar tsani tanpa konfirmasi terlebih dahulu. Sehingga, beliau dengan rombongannya atas nama bendera KBIHnya yang berjumlah 17 orang, tiba-tiba sudah duduk manis didalam bus yang sedianya untuk rombongan kami hasil koordinasi dan konsolidasi sebelumnya antara ketua rombingan dan Petugas Haji. Alhasil, banyak dari kami yang harus berdiri di bus selama perjalanan dari Mina ke penginapan di Mekah. Termasuk saya, karena merasa yang paling muda dan kebanyakan jamaah sudah usia tua, saya mengalah berdiri dan kadang duduk sebentar diatas tumpukan koper jamaah. Itulah pentingnya komunikasi, koordinasi dan konsolidasi. Semoga beliau sebagai ketua rombongannya tersebut yang membawa bendera KBIHnya, yang duduk manis di kursi depan diberikan hidayah jika suatu saat berkesempatan lagi pergi haji jangan seperti saat itu lagi, kasihan jamaah lain dimana sebelumnya sudah prepare koordinasi dengan Petugas Haji, harus ada yang berdiri selama perjalanan, untung jaraknya tidak terlalu jauh.

Terima kasih para Petigas Haji yang baik hati, khususnya Petugas Haji dari Provinsi yang hingga saat ini terjalin komunikasi yang baik, khususnya; Bapak H. Ade dari Bandung, Bapak H. Ade dari Karawang dan Teteh cantik Perawat baik hati Teteh Hj. Rika dari Purwakarta. Barokalloh.

Catatan ini spesial untuk dua kawan sekamar yang keduanya Ibu Kepala SD yang hebat menghebatkan.

Berikut ini foto-foto saat itu;

Persiapan keberangkatan dari Padang Arafah menuju Muzdalifah

Foto suasana mabit di Muzadalifah.

Foto suasana melempar jumrah di Mina.

Foto kebersamaan di tenda saat di Mina.

SALAM LITERASI

#Tantangan_Hari_Ke_24/H56/H111

#Tulisan_Ke_195

#Tantangan_365_Hari_Menulis

#Sabtu_1_Agustus _2020