Jika ibunya sudah menikah lagi dengan laki laki lain maka hak asuh anak beralih kepada?

Written by Super User on 18 October 2021. Hits: 1687

Hadhanah Pasca Perceraian;

Kajian Perundang-Undangan Perkawinan Islam Kontemporer

Oleh: GUSHAIRI[1]

Abstract: Hadhanah Pasca Perceraian; Kajian Perundang-Undangan Perkawinan Islam Kontemporer. Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan kelebihan konsep shared parenting dalam pengasuhan anak pasca perceraian, dengan metode deskriptif dan telaah terhadap peraturan perundang-undangan. Dari hasil kajian yang dilakukan, perlunya pembaharuan dalam pengasuhan anak pasca perceraian dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dengan sebuah tawaran konsep yaitu shared parenting/ joint parenting, yaitu pengasuhan secara bersama demi kepentingan terbaik bagi anak.

Kata Kunci: Hadhanah, Shared Parenting, Indonesia.

Pendahuluan

Islam merupakan agama yang paling sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia yang sebelum Islam datang kehidupan sosial masyarakat tidak beradab, sehingga Islam datang membawa perubahan dengan merubah dan mengatur berbagai aspek kehidupan baik dalam kekeluargaan, sosio politik, ekonomi dan juga muamalah sesama manusia. Sebagai agama yang sempurna (kaffah), Islam telah mengatur cara untuk melanjutkan kehidupan manusia dengan membuat peraturan yang sempurna melalui pernikahan.

Namun sayang sekali, tidak semua rumah tangga yang dijalani manusia selamanya indah, hidup bahagia, karena setiap rumah tangga itu sama-sama menghadapi masalah walaupun permasalahan yang dihadapi masing-masing keluarga bisa saja berbeda.

Abdul Ghofar Anshori berpendapat bahwa dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di antara keduanya tersebut. tidak mustahil dari perselisihan itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian.)[2]

Dengan demikian, bagi pasangan yang tidak mampu mempertahankan rumah tangganya, makanya Islam memberi satu jalan yang namanya bercerai/berpisah. Fenomena perceraian di Indonesia yang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan secara signifikan.[3] Bagi sebagian pasangan dengan berakhirnya kehidupan rumah tangga mereka dengan bercerai telah berhasil menyelesaikan masalah mereka masing-masing, akan tetapi banyak juga sebuah pasangan pasca perceraian menghadapi masalah baru yakni masalah pemeliharaan anak (hadhanah) yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.

Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.[4]

Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibangun dengan susah payah, pada akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya menanggung derita yang berkepanjangan, yang bisa saja disebabkan adanya perbedaan keinginan dari kedua orang tua anak tersebut.[5]

Islam memberikan hak asuh kepada ibu jika anak tersebut masih kecil atau belum mencapai batas umur 12 tahun, hal senada yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Fiqh konvensional lebih memperhatikan kondisi seorang ibu dalam memberikan hak asuh anak, begitu juga yang teradapat dalam Kompilasi Hukum Islam, bukan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pembahasan hadhanah ini sudah banyak ditulis/diteliti oleh akademisi/ilmuan, seperti Faridaziah Syahrain dalam sebuah tulisannya di Jurnal Lex et Societatis, tahun 2017, Pemeliharaan anak (hadhanah) pasca perceraian ini, perlu menjadi perhatian yang serius karena harus dilihat dari kepentingan yang terbaik bagi anaknya, karena ketentuan normative hak asuh anak sudah tidak berjalan selaras lagi dengan perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini sehingga harus dilakukan pembaharuan hukum atas ketentuan hukum hak asuh anak tersebut.[6]

Hal senada yang ditulis oleh Ahmad Zaenal Fanani dalam sebuat jurnal yang berjudul sengketa hak asuh anak dalam hukum keluarga perspektif keadilan jender, yang ditulis pada tahun 2017. Beliau menyebutkan bahwa aturan hak asuh anak yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tidak responsive gender, dan bukan berdasarkan aspek moralitas, kesehatan, kemampuan mendidik dan memelihara anak yang ujungnya adalah terwujudnya kepentingan terbaik anak.

Tulisan ini bertujuan adalah memberikan sebuah konsep baru yang disebut shared parenting dalam pengasuhan anak pasca perceraian sehingga dalam memberikan pengasuhan anak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, hal-hal yang sangat menentukan demi masa depan anak melibatkan kedua orang tuanya bukan saja yang diberi hak asuh saja. Sistematika bahasan diawali dengan latar belakang untuk menunjukkan focus dan originalitas tulisan. Bahasan berikutnya adalah deskripsi hadhanah dalam Hukum Islam dengan melihat dasar-dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, hadis dan pendapat para ulama. Bahasan selanjutnya adalah menjelaskan dan mentelaah aturan-aturan hak asuh anak di Indonesia termasuk putusan-putusan Pengadilan agama. Tulisan ini memberikan solusi dari permasalahan yang ada dengan konsep shared parenting (pengasuhan secara bersama). Akhirnya tulisan ini ditutup dengan catatan kesimpulan.

Konsep hadhanah dalam hukum Islam

Rumah tangga yang sakinah dalam artian yang lengkap (sempurna) tidak akan terwujud tanpa dilengkapi dengan anak di rumah tangga. Anak adalah perhiasan rumah tangga yang akan turut atau bahkan menentukan bahagia tidaknya sebuah keluarga. Begitu pentingnya kedudukan anak di dalam sebuah keluarga, maka tidaklah heran jika hukum Islam memberikan aturan khusus tentang cara-cara penanganan terhadap anak yang biasa disebut dengan hadhanah.[7]

Dalam bahasa Arab, istilah pengasuhan anak disebut dengan al-hadhanah yang artinya sisi, samping arah (dari sesuatu).[8] Adapun secara syara’ hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak untuk memeliharanya, atau bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu mengurus kebutuhannya sendiri karena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi gila. Pemeliharaan di sini mencakup urusan makanan, pakaian, urusan tidur, membersihkan, memandikan, mencuci pakaian dan lainnya.[9]

Pengertian ini hampir sama yang disampaikan oleh Sayid Sabiq didalam kitabnya Fikih Sunnah, yang menjelaskan bahwa memelihara anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau belum mampu untuk mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu karena belum dapat memilah mana yang baik untuknya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akalnya agar sanggup memikul tanggung jawab.[10]

Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak tersebut. Sehingga kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai, anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. Banyak ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad Saw yang menjelaskan kewajiban orang tua terhadap anaknya, diantaranya adalah QS Al-Baqarah ayat 233;

وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

            Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban bagi seorang ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya. Wanita yang ditalak kadang punya anak yang masih bayi, anak ini mungkin menjadi terlantar lantaran si ibu tidak mau menyusui bayinya demi membalas dendam kepada si ayah yang telah menalaknya. Dengan adanya kewajiban ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik.

Di dalam Hukum Islam, pemeliharaan anak setelah bercerai antara suami dan isteri, merupakan prioritas yang jatuh kepada seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud;

عن عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت: يارسول الله، كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني واراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به مالم تنكحي رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم

Artinya: “Bahwa seorang wanita berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan susu sayalah yang telah menjadi minumannya dan pangkuanku lah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikanku dan hendak menjauhkan anakku pula dari sisiku”. Maka Rasulullah bersabda, Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum menikah dengan orang lain.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan disahihkan oleh imam Alhakim)

Hadis tersebut merupakan dalil bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya. Wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri. Bahkan Nabi Muhammad Saw menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginan si ibu tersebut. Hal ini mengingatkan bahwa alasan dan tujuan-tujuan utama dipertimbangkan dalam menetapkan hukum, karena lahir dari fitrah manusia.

Para ulama tidak ada yang berbeda pendapat dalam menetapkan hukum berkaitan dengan hadits ini. Abu Bakar dan Umar memutuskan perkara berdasarkan hadis ini. Ibnu Abbas berkata, “Udara, kasur, kebebasan yang diberikan seorang Ibu lebih baik daripada bapak sampai anaknya dewasa (baligh) dan memilih diantara keduanya”.

Jika anak tersebut masih bayi, kecil atau belum mumayyiz, hak asuhnya jatuh kepada ibunya, maka anak yang sudah mumayyiz atau telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Oleh sebab itu, terhadap anak tersebut disuruh untuk memilih antara ayah atau ibunya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw;


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq dan Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad,dari Hilaal bin Usaamah : Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].

Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang anak ketika bisa mandiri atau sudah tamyiz mempunyai hak kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya, karena dalam usia tersebut, anak sudah mempunyai kecendrungan untuk memilih siapa yang ia lebih senangi.

Akan tetapi jika dilihat dari dalil-dali ayat al-Qur’an maupun hadis ini tidak menerangkan secara jelas batas usia Hadhanah hanya menjelaskan bahwa anak tersebut mumayyiz, mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat tentang rentang waktu Hadhanah.

Menurut mazhab Hanafi, saat anak laki-laki tidak memerlukan penjagaan dan telah mampu mengurus keperluannya sehari-hari, dengan itu batas usia hadhanah berakhir, dan bagi anak perempuan apabila telah menstruasi pada hari pertama ia haid, artinya masa hadhanah bagi anak laki-laki berumur 7 tahun dan perempuan 9 tahun.[11]

Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah berakhir ketika laki-laki sudah Ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadhanah bagi perempuan setelah ia mencapai usia menikah, namun ketika ibunya sedang lagi masa Iddah, maka lebih berhak terhadap anak perempuanya sampai ia menikah lagi, jika tidak maka sebaiknya putrinya dititipkan kepada bapak/saudara bapak bibi menjadi walinya.[12]

Sedangkan menurut Mazhab Syafi’iy usia Hadhanah baik laki-laki dan perempuan sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun, maka ia berhak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal.[13]

Di sisi lain, Islam juga telah mengatur tentang gugurnya Hak Hadhanah, bahwa seorang ibu akan gugur hak asuhnya apabila menikah lagi, sebagaimana hadis Nabi saw,

عن عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت: يارسول الله، كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني واراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به مالم تنكحي رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم

Artinya: “Bahwa seorang wanita berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan susu sayalah yang telah menjadi minumannya dan pangkuanku lah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikanku dan hendak menjauhkan anakku pula dari sisiku”. Maka Rasulullah bersabda, Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum menikah dengan orang lain.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan disahihkan oleh imam Alhakim)

Imam al Mawardi berpendapat bahwa pernikahan hendak menggugurkan ibu sebagai hak hadhanah dan kafalah terhadap perkataan hadis tersebut di atas.[14] Sementara, Kitab Al-Muhalla Ibn Hazm menjelaskan bahwa ibu tidaklah gugur dalam hadhanah sebab pernikahan ketika ibu dapat dipercaya hal ini berdasarkan nash yang diutarakan oleh Nabi Saw, bahwa tidak mengkhususkan menikahnya si Ibu atau tidak.[15]

Dari hadis ini juga, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa apabila ibunya menikah maka praktis hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya, alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya.

Namun, penulis belum menemukan dalil bahwa jika seorang ayah kembali menikah dengan perempuan lain, maka hak asuh nya jatuh kepada yang lain. Hal ini sejalan dengan para ulama belum ada yang memberikan syarat ini bagi suami yang menikah lagi. Hal ini bisa diindikasikan bahwa bapak adalah sebagai kepala keluarga dalam keluarga sehingga mempunyai otoritas yang lebih dari perempuan. Begitu juga nash tidak ada yang tegas menyampaikan demikian, tidak seperti nash perempuan yang menikah lagi maka gugurlah hak asuhnya.[16]

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa dalam hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, dalam kasus pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz diserahkan kepada ibunya selama ibunya tersebut belum melaksanakan pernikahan, jika sudah mumayyiz diberikan kepada anak tersebut untuk memilih untuk hidup bersama siapa, apakah dengan ibunya atau dengan ayahnya.

Hadhanah dalam peraturan Perundang-undangan Hukum Keluarga di Indonesia

Pemeliharaan anak yang menjadi kewajiban orang tua harus dipenuhi karena kegagalan memelihara anak dalam membekali kebutuhan mereka, terutama bekal keagamaan, bukan saja merugikan diri si anak yang bersangkutan, namun kedua orang tuanya pun akan menderita kerugian yang tidak kecil.[17]

Ketentuan hukum tentang hak asuh anak dalam hukum keluarga di Indonesia bisa dilihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Pasal 45 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa kedua orang tua sama-sama memiliki kewajiban dalam memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban kedua orang tua tersebut menurut ayat 2 berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Penegasan hak asuh anak bagi kedua orang tua pasca perceraian juga dicantumkan dalam pasal 41 huruf (a) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, maka pengadilan memberi keputusan. Akan tetapi, tanggung jawab atas biaya yang timbul dari pemeliharaan dan pendidikan tersebut, menurut huruf (b), menjadi tanggung jawab bapak, jika bapak tidak mampu memenuhi tanggungjawab tersebut maka ibu dapat dibebani tanggung jawab untuk memikul biaya tersebut.

Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut tidak memberikan uraian yang tegas jika terjadi perebutan hak asuh anak apakah diberikan kepada bapak atau ibu. Adapun KHI memberikan uraian yang lebih detail tentang hal itu. Dalam KHI setidaknya ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156. Sebagaimana terdapat pada pasal 105 dan 156 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut;

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharannya.
  3. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya

Sementara itu pasal 106 KHI menyebutkan;

  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
    1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
    2. Ayah
    3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
    4. saudara perempuan dari anak bersangkutan;
    5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
    6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak;
  2. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
  3. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  4. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.
  5. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
  6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya;

Jika dilihat dari pasal 105 KHI di atas menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz atau kurang dari 12 tahun pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya.

Menurut Rufia Wahyunign Pratiwi dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa alasan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, diberikan kepada ibu karena ibu dialah yang berhak untuk melakukan hadhanah dan menyusui serta ia lebih mengetahui dan lebih mampu untuk mendidiknya, juga karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melakukan tugas tersebut yang tidak dipunyai oleh seorang ayah serta ibu lebih punya waktu untuk mengasuh anaknya daripada ayah.[18]

Sementara itu, Pasal 156 KHI mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak, yaitu wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita-wanita sedarah menurut garis samping dari ibu, dan wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Berdasarkan pemaparan dalam bagian ini, terlihat bahwa peraturan tentang hak asuh anak di Indonesia telah memberikan batasan umur tentang anak tersebut, yakni jika anak belum berumur 12 tahun hak asuhnya diserahkan kepada ibunya dan jika lebih dari 12 tahun diserahkan kepada anak untuk memilih mau tinggal dengan siapa. Jika dibandingkan dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadits Nabi tidak menjelaskan secara detil dengan batasan umur, yang dijelaskan hanya anak telah mencapai mumayyiz, yang para ulama juga berbeda pendapat tentang mumayyiz tersebut berumur berapa, karena jika ukurannya adalah mimpi basah atau telah haidh (perempuan), maka setiap anak bisa saja berbeda.

Pembaharuan konsep hak asuh anak di Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya, ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih di asuh oleh ayah atau ibunya.

Pasal 105 dan 156 KHI tersebut jika dilihat memberikan hak asuh anak diprioritaskan kepada ibu, bukan berdasarkan aspek moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak yang ujungnya adalah terwujud kepentingan terbaik bagi anak. Pemegang hak asuh anak berkewajiban mengasuh, memelihara dan mendidik anak baik yang terkait dengan pendidikan, agama, kesehatan, moralitas dan integritas anak.

Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya. Hak pengasuhan tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal itu secara pasti akan membahayakan anak tersebut. karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya atau idiot. Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka.[19]

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mengasuh, merawat, dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan, karena menurutnya pihak perempuan lebih bisa mencurahkan kelembutan dan kasih sayang serta membimbing anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya punya kemampuan dan kewajiban menjaga, melindungi memberikan yang terbaik kepada anak secara fisik. Akan tetapi ulama Hanafiah mensyaratkan bahwa perempuan yang melakukan hadhanah adalah perempuan yang merupakan kerabat dari anak. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa hak hadlanah merupakan hak berserikat antara ibu, ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[20]

Mayoritas ulama fikih seperti mazhab Maliki, Hambali, Syafii dan Hanafi memberikan prioritas hak asuh anak kepada ibu daripada ayah. Argumen mereka adalah perempuan mempuyai naluri yang lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran mereka dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Apabila anak tersebut sudah mencapai usia tertentu maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat dan mendidik serta menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai pelindung. Atas dasar itu, dalam memberikan urutan hak asuh anak ulama fikih mendahulukan perempuan daripada laki-laki.[21]

Akan tetapi, pembaruan terkait hak asuh anak telah terjadi di Indonesia dalam ranah pengadilan, bahwa ada juga putusan-putusan hakim yang terkait hak asuh anak berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak yang perlu dilihat terlebih dahulu. Bahwa putusan-putusan Pengadilan Agama di Indonesia sekarang telah mengalami pembaruan yang cukup signifikan, seperti putusan hak asuh anak diserahkan kepada ibunya, ada juga putusan hak asuh anak diberikan kepada ayahnya dengan pertimbangan bahwa ibunya tersebut sibuk dengan bekerja, atau ada juga dua orang anak atau lebih dibagi antara ayah dan ibunya.

Dalam psikologi hukum, kebutuhan pemeliharaan anak dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama: legal custody, yakni kebutuhan pemeliharaan anak seutuhnya menurut hukum yang meliputi kebutuhan biaya penghidupan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan hukum pada umumnya yang hal ini menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya, namun demikian pada umumnya kebutuhan ini lebih dominan diperoleh dari ayahnya dan kedua: fisical custody, yakni kebutuhan pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya sendiri baik secara jasmani maupun rohani seperti kebutuhan menyusu pada ibu, mandi, memakai pakaian, merawat diri sendiri, memelihara kesehatan, pelayanan makan dan minum, belajar berkomunikasi, teman bermain dan belajar, kebutuhan tumbuh kembang anak dan lain sebagainya.

Dengan melihat teori psikologi hukum tersebut jika dihubungkan denga putusan Mahkamah Agung, maka adakalanya hak asuh anak tersebut diberikan kepada seorang ayah, hal ini dilihat dari Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110K/ AG/2007 tanggal 10 September 2007 yang menyatakan bahwa pengasuhan anak bukan semata-mata yang secara normative paling berhak, sekalipun si anak belum berumur 7 tahun atau 12 tahun/mumayyiz, karena si ibu sering berpergian ke luar negeri sehingga tidak jelas anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini terbukti bahwa telah hidup tenang dan tentram bersama ayahnya.

Dalam kasus ini, bahwa terjadi perebutan hak asuh anak antara ayah dan ibu, Mahkamah Agung memberikan hak asuh anak tersebut kepada ayah dengan pertimbangan hukum bahwa ibu tersebut seorang wanita karir yang sering bepergian keluar negeri sehingga tidak mempunyai waktu yang cukup terhadap anaknya dan memantau perkembangan psikologis anaknya tersebut.

Ijtihad dalam hukum Islam, disamping dilakukan dalam hal-hal yang ketentuan hukumnya jelas dalam nash, juga dilakukan dalam rangka mencari solusi atas persoalan baru yang tidak ditemukan secara jelas dan tegas. Ijtihad terhadap yang sudah ada ketentuan hukum nash-nya adalah dikarenakan ketentuan hukum yang ada dalam nash mengalami kendala dalam pengaplikasiannya jika dihadapkan pada kondisi sosial yang berubah. Dalam kondisi seperti ini, menurut Amir Syarifuddin, hakim dibolehkan menggali pemahaman lain yang berbeda dengan nash agar nash tersebut bisa kontekstual dan relevan dengan kondisi sosial yang ada.[22]

Secara umum bahwa pengasuhan anak diserahkan kepada salah satu pihak, maka saat ini juga perlu dikemukakan pengasuhan anak bersama (shared parenting, joint custody), dengan melatar belakangi bahwa pengasuhan anak itu berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Hal ini juga didasarkan bahwa paradigma masyarakat siapa yang memegang hak asuh anak maka itu menjadi tanggung jawab penuh dia untuk mengurus anak tersebut, maka sering didengar bahwa seorang ayah atau ibunya tidak bisa berjumpa dengan anaknya karena dihalang-halangi oleh pemegang hak asuh atau keluarganya. Oleh sebab itu, Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigm baru dalam tata laksana pengasuhan anak. Konsepsi ini telah jamak diimplementasikan di negara-negara Common law seperti Amerika Serikat dan Kanada.

Di Kanada misalnya, pengasuhan bersama di atur dalam undang-undang perceraian Kanada (1997 Federal Child Support Guidelines under the Divorce Act), shared custody (pengasuhan bersama) adalah pengaturan mengenai waktu bersama antara anak dengan masing-masing orang tuanya.

Menurut Edwark Kurk dalam bukunya: Child custody, access and parental responsibility: The search for a just and equitable standard, The University of British Columbia, 2008, menyatakan setidaknya ada beberapa kriteria dalam pengasuhan anak secara bersama, yaitu:

-       Legal presumption of shared parental responsibility

Pengasuhan bersama merupakan konsep yang didasarkan pada keinginan agar hubungan orang tua-anak tetap berlanjut setelah terjadi perceraian. Pengasuhan bersama dapat memberikan kesempatan bagi anak agar dapat hidup dan berkembang bersama kedua orang tuanya secara berimbang dan untuk kebaikan maupun kemaslahatan anak. Si anak tidak akan merasa kehilangan kedua orang tuanya dan dengan hal itu perkembangan si anak lebih terjamin. Konsep ini memungkinkan adanya kerjasama yang baik antara ayah dan ibu si anak.

-       Parenting plans, mediation, and support/intervention in high complicit cases

Pengasuhan bersama merupakan konsep yang komprehensif, mencakup upaya-upaya perencanaan pengasuhan anak sebelum, saat, dan setelah proses peradilan. Kedua orang tua diharapkan bersama-sama mengembangkan suatu model kerangka pengasuhan bersama sebelum proses persidangan dengan tujuan agar kedua orang tua telah mempunyai pilihan yang cukup mengenai model pengasuhan setelah terjadi perceraian.

-       Shared parenting education

Shared parenting education merupakan program pembinaan bagi orang tua dalam mengasuh anak. Dalam hal ini, orang tua pasca perceraian ditekankan agar menemukan peranannya dalam pengasuhan anak. Orang tua tidak fokus pada siapa yang lebih berhak mengasuh tetapi bagaimana penatalaksaanaan pengasuhan demi kemaslahatan si anak.

Konsepsi pengasuhan anak bersama jika dikaitkan dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak), dapat diketahui bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur untuk menjamin kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak sejatinya bukan hanya berkutat pada siapa mengasuh siapa, namun lebih dari itu bahwa penentuan pengasuhan anak diarahkan semaksimal mungkin memberi kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depan anak yang lebih baik.

Konsep Shared parenting (hak asuh bersama) ini juga bisa mendukung untuk memenuhi hak-hak anak yang mesti diberikan oleh orang tuanya yang disampaikan oleh Khoirudin Nasution dalam salah satu artikelnya tentang hak-hak anak, pertama, hak umum (mendapatkan nama yang baik, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan jaminan kesehatan), Kedua, hak pada masa pengasuhan (hak mendapatkan Air Susu Ibu, hak jaminan hidup, hak mendapatkan nafkah; sandang, pangan papan dan kesehatan, hak mendapatkan pendidikan dasar-dasar agama, hak mendapatkan pendidikan dasar keahlian, dan hak keamanan, ketiga, hak pasca pengasuhan (hak mendapat pendidikan untuk mempunyai keahlian/kompetensi; pedagogic/knowledge dan atau sejenisnya, kepribadian, sosial dan professional, hak mendapat perilaku baik, hak mendapat perlakuan adil tanpa memandang jenis kelamin, dan hak perkawinan kalau sudah dewasa.[23]

Pemenuhan hak-hak dasar anak ini merupakan bagian integral dari implementasi pemenuhan hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam, hak asasi anak merupakan pemberian Allah yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.[24]

Di sisi lain, konsep hak asuh bersama ini untuk menepis kalangan masyarakat berasumsi bahwa pemegang hak asuh anak berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya, sehingga melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh anak berhak mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orang tua lain yang tidak memegang hak asuh anak. Hal ini tidak selaras dengan upaya memberikan keluasan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya, bersosialisasi dengan kedua orang tuannya. Sebaliknya, anak seolah terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan tunduk pada aturan-aturan tidak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak asuhnya.

Kesimpulan

            Hukum Islam telah mengatur berbagai aspek dalam kehidupan manusia, termasuk tentang hak asuh anak. Di berbagai negara telah memasukkannyan ke dalam perundang-undangan dalam hukum keluarga termasuk di Indonesia. Seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi, telah terjadi pembaruan dalam perkembangan hak asuh anak ini, karena lebih memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak, maka lahirlah putusan-putusan pengadilan yang memberikan hak asuh anak kepada ayah. Selain itu, konsep pengasuhan bersama (Shared parenting), boleh juga menjadi perhatian segala pihak untuk diterapkan hak asuh bersama di Indonesia.

Dengan ditetapkannya hak asuh bersama maka kepentingan anak akan lebih terjamin terlebih lagi dalam mendapatkan hak-haknya sebagai seorang anak. Namun konsep hak asuh bersama ini belum diterapkan secara penuh di Indonesia, di Pengadilan Agama hanya ada beberapa putusan yang menetapkan hak asuh bersama. Oleh sebab itu, peraturan mengenai hak asuh anak di Indonesia menurut penulis perlu diperbaharui dengan memasukkan konsep shared parenting tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali, Abi al-Hasan bin Muhammad bin Habibal-Mawardi. 1994. al-Hawial- Kabir. Bairut: Daaral-Kitabal-Ilmiyah

Anshori, Abdul Ghofur. 2011. Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press

az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyi al-Kattani, Cet. Ke-1, jilid 10. Depok: Gema Insani

Ghazali, Abdul Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana,

Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir, Cet. Ke-4. Surabaya: Pustaka Progresif

M. Zein, Satria Effendi. 2004. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah. Jakarta: Prenada Media

Nasution, Khoiruddin. 2008 Smart dan Sukses. Yogyakarta: Tazzafa dan Academia

Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikih Sunnah, Jilid 8. Bandung:Al-Ma’arif

Summa, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group

Yanggo, Huzaemah Tahido. 2010. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia Indonesia,

Zuhaili, Wahbah. 1997. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X. Beirut: Dar al-Fikr

Jurnal

Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol. 8 No.1, Edisi: Januari-Juni 2014

Esti Kurniati, Perlindungan Hak Anak Pasca Perceraian Orang tua, Authentica Vol. No. 1 2018

Faridaziah Syahrain, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, Lex et Societatis, Vol. V/No.7/Sep/2017

HM. Budiyanto. Hak-hak Anak dalam Perspektif Islam, Jurnal IAIN Pontianak, Vol. 149

Juanda Wiranata, Perlindungan Hukum Anak Akibat Perceraian dari Perkawinan, Lex et Societatis, Vol.1/ No.3/ Juli/ 2013,

Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia, Al’Adalah Vol. XIII, No. 1 Juni 2016

Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara, Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016

Muchsin, Perlindungan Hukum terhadap anak pasca perceraian orang tuanya, Varia Peradilan: Majalah Hukum, Ikatan Hakin Indonesia, No. 301, Desember 2010

Muhammad Zaki. Perlindunan Anak Dalam Perspektif Islam. IAIN Raden Intan Lampung, ASAS, Vol. 6, No. 2, Juli 2014

Nurlaila Harun, Perlindungan Anak Perpektif Hukum Islam dan Perundangundangan, Jurnal Harkat: Media Komunikasi Gender, 14 (1), 2018.

Rufia Wahyunign Pratiwi, Perlindungan Hukum Terhadap Kelalaian Pemenuhan Pembayaran Nafkah Anak Pasca Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Blitar, Jurnal Negara dan Keadilan, Voluem 9 Nomor 1/ Februari 2020

Syafi‟ah Sukaimi, Peran Orang tua Dalam Pembentukan Kepribadian Anak: Tinjauan Psikologi Perkembangan Islam, jurnal Marwah Vol. XII No. 1 Juni Th. 2013

Tinuk Dwi Cahyani, Komariah, Upaya Hukum Permohonan Eksekusi Terhadap Putusan Nafkah Hadhanah, Legality, ISSN: 2549-4600. Vol. 25, Maret 2017-Agustus 2017

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam


[1] Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung

[2]Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 233

[3] Muchsin, Perlindungan Hukum terhadap anak pasca perceraian orang tuanya, Varia Peradilan: Majalah Hukum, Ikatan Hakin Indonesia, No. 301, Desember 2010, h.5

[4] Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia, Al’Adalah Vol. XIII, No. 1 Juni 2016, h. 1

[5]Tinuk Dwi Cahyani, Komariah, Upaya Hukum Permohonan Eksekusi Terhadap Putusan Nafkah Hadhanah, Legality, ISSN: 2549-4600. Vol. 25, Maret 2017-Agustus 2017, h. 119

[6] Faridaziah Syahrain, Penetapan Hak Asuh Anak di Bawah Umur Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam, Lex et Societatis, Vol. V/No.7/Sep/2017, h. 106

[7] Prof. Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Muslim, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 99

[8] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. Ke-4, h. 274

[9] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam wa adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyi al-Kattani, (Depok: Gema Insani, 2011), Cet. Ke-1, jilid 10, h. 60

[10] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, Jilid 8,(Bandung:Al-Ma’arif,1996),hlm.160

[11] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185

[12] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 186-187

[13] Ibid, h. 187

[14]Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habibal-Mawardi, al-Hawial- Kabir (Bairut:Daaral-Kitabal-Ilmiyah,1994),h.510

[15] Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin hazm, Al-Muhalla (Mesir: IdarahThiba’ahal Muniriyah),h.146

[16] Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 171

[17] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 195

[18] Rufia Wahyunign Pratiwi, Perlindungan Hukum Terhadap Kelalaian Pemenuhan Pembayaran Nafkah Anak Pasca Perceraian Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Blitar, Jurnal Negara dan Keadilan, Voluem 9 Nomor 1/ Februari 2020, h. 101

[19] Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h. 80

[20]Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 7297

[21] Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan, 118

[22] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2001), h. 243

[23]Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, (Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008), h. 140-142

[24] Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol. 8 No.1, Edisi: Januari-Juni 2014, h. 290

Apabila ibu yang menyusui telah menikah lagi dengan laki laki lain hak asuh anak berpindah kepada?

Pengasuhan itu bisa beralih kepada anggota keluarga terdekat atau pihak lain.

Istri Selingkuh hak asuh anak jatuh ke siapa?

Jika dalam hubungan pernikahan pihak istri terbukti selingkuh, maka hak asuh akan jatuh ke tangan suami. Ketika istri melakukan perselingkuhan, maka dirinya sudah dinyatakan gagal menjadi seorang ibu. Hal ini tertuang dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Mengenai Perkawinan.

Hak asuh anak laki2 jatuh kepada siapa?

Dasar hukum diberikannya hak asuh pada ayah dibandingkan pada ibu saat anak masih di bawah umur yaitu Putusan Mahkamah Agung RI No.102 K/Sip/1973. Keputusan ini di antaranya menyatakan bahwa perwalian anak akan jatuh ke ibu, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tak wajar dalam memelihara anaknya.

Bisakah hak asuh anak pindah ke ayah?

Jika Ibu ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhan dan hak anak, maka sang ayah dapat mengajukan permohonan peralihan hak asuh dari ibu kepada sang ayah meskipun misalnya sang anak belum berusia 12 tahun.