Jelaskan hal yang menarik dari penderita kusta yang disembuhkan oleh Yesus

Rasul Matius mengisahkan penyembuhan seorang kusta (Mat 8:1-4, bdk. Mrk 1:40-45; Luk 5:12-16), setelah Yesus turun dari bukit dan mengajarkan banyak hal, termasuk tentang Delapan Sabda Bahagia. Karena itu, penyembuhan orang kusta merupakan bagian akhir dari ajaran Yesus. Yesus  menunjukkan bahwa Ia pun menghormati hukum Taurat (lih. Mat 5:17); karena Ia  menyuruh orang kusta yang telah disembuhkan-Nya itu untuk pergi memperlihatkan diri kepada imam dan mempersembahkan kurban syukur sebagaimana disyaratkan oleh hukum Taurat.

Kusta adalah penyakit kulit dalam berbagai tingkatan. Pada tingkatan tertentu dapat sembuh, walaupun harus dinyatakan sembuh oleh imam (lih. Im 13). Namun kusta pada umumnya dimengerti sebagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dimana penyakit tersebut akan menyebabkan seluruh tubuh bengkak atau luka, sampai akhirnya dagingnya membusuk. Kemungkinan, inilah yang dialami orang kusta itu, sehingga dalam Injil Lukas disebut “seorang yang penuh kusta” (Luk 5:12). Padahal menurut hukum Taurat, penderita kusta tidak diperbolehkan mendekat ke kota, ia harusnya tinggal terpisah di luar kota, dan tidak boleh tampil di muka umum tanpa berseru-seru “Najis! Najis” untuk memberitahukan orang-orang di sekitarnya bahwa ia sakit kusta (lih. Im 13:45-46).

Namun Tuhan Yesus berbelas kasihan kepada orang kusta tersebut. Yesus tergerak oleh iman orang itu, yang percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan dia. Yesus menjamah tubuh orang kusta itu, yang dianggap najis karena mengeluarkan nanah. Yesus sadar akan kuasa-Nya yang mengatasi segalanya. Yesus tidak takut menjadi najis (lih. Im 5:3), baik secara hukum Taurat maupun secara fisik, sebab Ia memang tak mungkin menjadi najis.

Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Ia tidak menyembuhkan sebagai pelayan Tuhan, namun sebagai Tuhan sendiri yang menyembuhkan dan menjamah.

St. Yohanes Krisostomus mengatakan, “[Yesus] dapat mentahirkan orang itu dengan sepatah kata, atau bahkan hanya dengan kehendak-Nya, tetapi Ia mengulurkan tangan-Nya dan menjamah orang itu, untuk menunjukkan bahwa Ia tidak berada di bawah hukum Taurat, dan bahwa bagi Ia yang kudus, tak ada yang tidak kudus. Nabi Elisa melaksanakan hukum Taurat dengan ketat, dan ia tidak menjumpai dan menjamah Naaman (lih. 2Raj 5:1-19), tapi menyuruhnya mandi di sungai Yordan. Namun Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Ia tidak menyembuhkan sebagai pelayan Tuhan, namun sebagai Tuhan sendiri yang menyembuhkan dan menjamah. Tangan-Nya tidak menjadi najis karena penyakit kusta, tetapi tubuh yang terkena kusta itu yang dijadikan tahir oleh tangan-Nya yang kudus. Sebab Ia tidak hanya datang untuk menyembuhkan tubuh, tetapi untuk memimpin jiwa kepada kebijaksanaan sejati…. Maka di sini Ia mengajarkan kita bahwa kita hanya harus membenci penyakit kusta pada jiwa, yaitu dosa, sedangkan penyakit kusta pada tubuh bukanlah suatu halangan bagi kebajikan.”[1]

Yesus menyembuhkan kusta pada jiwa, yaitu dosa.

Dengan demikian mukjizat penyembuhan orang kusta ini, tidak hanya untuk diartikan terbatas sebagai penyembuhan seorang dari penyakit kulit. Memang peristiwa tersebut secara literal terjadi, bahwa Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta, atau juga dalam kesempatan lain, sepuluh orang kusta (lih. Luk 17:11-19). Namun arti yang lebih mendalam adalah bahwa Yesus menyembuhkan kusta pada jiwa, yaitu dosa. Sebab dikatakan bahwa Yesus datang ke dunia untuk “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45).

[1]St. John Chrysostom, dikutip oleh St. Thomas Aquinas, Catena Aurea, Mat 8:1-4.

SEPULUH ORANG KUSTA YANG DISEMBUHKAN OLEH YESUS

(Bacaan Injil Misa Kudus, HARI MINGGU BIASA XXVIII [Tahun C] – 9 Oktober 2016)

Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui-Nya. Mereka berdiri agak jauh dan berteriak, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi sembuh. Salah seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu orang Samaria. Lalu Yesus berkata, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah sembuh? Di manakah yang sembilan orang itu?” Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17:11-19) 

Bacaan Pertama: 2Raj 5:14-17; Mazmur Tanggapan: Mzm 98:1-4; Bacaan Kedua: 2Tim 2:8-13

Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem … Kita tidak pernah boleh melupakan konteks ini. Yesus sedang berada dalam perjalanan-Nya yang terakhir … ke Yerusalem, di mana para nabi telah dibunuh: “Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu!” (Luk 13:34). Sebelumnya Dia juga mengatakan: “… tidak semestinya seorang nabi dibunuh di luar Yerusalem” (Luk 13:33). Jalan Yesus adalah jalan salib, dan jalan salib ini sudah dimulai sekitar 2.000 tahun lalu. Yesus melakukan perjalanan ke Yerusalem itu secara bebas, penuh kesadaran, dengan sukarela … meskipun Ia tahu apa yang menunggu-Nya di sana.

Ketika rombongan Yesus memasuki sebuah desa, datanglah sepuluh orang kusta menemui-Nya. Apa yang dikatakan oleh Hukum Taurat dalam hal orang kusta? “Orang yang sakit kusta harus berpakaian yang cabik-cabik, rambutnya terurai dan lagi ia harus menutupi mukanya sambil berseru-seru: Najis! Najis! Selama ia kena penyakit itu, ia tetap najis; memang ia najis; ia harus tinggal terasing, di luar perkemahan itulah tempat kediamannya (Im 13:45-46). Sebagai poorest of the poor, biasanya mereka menghormati Hukum. Oleh karena itu mereka berseru-seru dari kejauhan: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Seruan ini adalah ungkapan doa seorang yang sungguh miskin. Kita sendiri selalu mengucapkannya dalam awal Misa; “Tuhan, kasihanilah kami. Kristus, kasihanilah kami. Tuhan, kasihanilah kami.” Janganlah takut dinilai bodoh kalau kita menyerukan doa sederhana ini.

Dalam Kitab Suci, penyakit kusta seringkali merupakan sebuah simbol dosa – kejahatan yang merusak manusia. Bayangkanlah apa arti dosa di mata Allah. Allah membenci dosa, … namun Dia tidak membenci para pendosa. Maka ketika Yesus melihat kesepuluh orang kusta itu, Dia berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Perintah Yesus ini pun sesuai Hukum yang berlaku: “Inilah yang harus menjadi hukum tentang orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya: ia harus dibawa kepada imam , dan imam harus pergi ke luar perkemahan; kalau menurut pemeriksaan imam penyakit kusta itu telah sembuh dari padanya, maka imam harus memerintahkan, supaya bagi orang yang akan ditahirkan itu diambil dua ekor burung yang hidup dan yang tidak haram, juga kayu aras, kain kirmizi dan hisop …” (Im 14:2-4; lengkapnya Im 14:1-32). Di tengah jalan mereka disembuhkan.

Mukjizat kesembuhan yang menyangkut sepuluh orang kusta ini menggambarkan bagaimana Yesus ingin menyembuhkan kita semua, baik secara spritual maupun fisik. Kesepuluh orang kusta itu disembuhkan, namun hanya hanya ada seorang yang kembali kepada Dia yang telah menyembuhkannya sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu sujud di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya (Luk 17:15-16). Satu orang saja yang kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, tanpa rasa malu sedikit pun, karena dia menyadari bahwa ini adalah kesembuhan ilahi. Kalau kita membaca apa yang dikatakan Yesus selanjutnya, maka kita dapat mengatakan bahwa hanya yang satu inilah yang menerima kesembuhan yang lebih mendalam – dalam hatinya (Luk 17:19).

Orang yang satu ini menunjukkan satu sikap hakiki dari seseorang yang diselamatkan: mengucap syukur kepada Allah! Sikap ini juga diminta dari setiap orang yang mengambil bagian dalam Ekaristi (Yunani: Eucharistia) yang artinya adalah pengucapan syukur.  Oleh karena itu marilah kita semua datang ke perayaan Ekaristi dengan hati yang penuh sukacita, penuh kegembiraan sejati karena sangat sadar akan karya-karya Allah yang agung di tengah-tengah umat manusia, di tengah-tengah kita. Sikap penuh syukur memang harus ada dalam hidup sehari-hari seorang Kristiani. Ada sebuah buku bagus dalam rak buku saya dengan judul 10,000 THINGS TO PRAISE GOD FOR. Dalam buku itu dipaparkan contoh contoh mengenai hal-hal untuk mana kita patut mengucap syukur kepada Allah, dari hal-hal yang besar sampai hal-hal yang biasanya kita anggap memang harus begitu, taken for granted, yang terasa tidak ada ‘istimewa-nya’. Satu hal lagi yang perlu kita perhatikan dalam perikop ini. Orang yang tahu berterima kasih itu adalah seorang Samaria, mereka yang nista di mata orang Yahudi, tidak murni, tidak asli, non-pribumi! Terima kasih Bapa surgawi, Engkau adalah Khalik langit dan bumi. Dan, Engkau adalah Allah yang sejati karena tidak membatasi bangsa mana yang akan Kauselamatkan.

DOA: Tuhan Yesus, tolonglah aku untuk dapat mengakui berkat-berkat-Mu atas diriku dan orang-orang lain. Tolonglah aku agar mampu dengan penuh sukacita mensyukuri segala rahmat yang kuterima dari-Mu. Ingatkanlah aku agar setiap malam dapat merenungkan hari yang baru kulalui dan melihat karya-karya tangan-Mu atas diriku pada hari itu, dengan demikian membuat aku dengan penuh sukacita mengucap syukur kepada-Mu seperti orang kusta yang Kausembuhkan dalam perjalanan ke Yerusalem dulu. Amin. 

Catatan: Untuk mendalami Bacaan Injil hari ini (Luk 17:11-19), bacalah tulisan yang berjudul “IMANMU TELAH MENYELAMATKAN ENGKAU” (bacaan tanggal  9-10-13) dalam situs/blog PAX ET BONUM //catatanseorangofs.wordpress.com; kategori: 16-10 PERMENUNGAN ALKITABIAH OKTOBER 2016. 

(Tulisan ini bersumberkan sebuah tulisan saya di tahun 2009) 

Cilandak, 5 Oktober 2016 

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA