Berkurangnya daerah resapan di perkotaan adalah salah satu faktor utama terjadinya

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Air hujan melapukkan dan menghasilkan erosi pada permukaan bumi dalam bentuk padatan dan larutan, sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian lagi mengalir masuk ke aliran sungai menuju ke laut. Padatan dan larutan yang meresap ke dalam tanah sebagian terjerat partikel tanah, sebagian meresap semakin dalam, sebagian mengalir di antara butir tanah.

Jumlah air tanah sangat tergantung luasan dan kondisi lingkungan daerah resapan. Sebagai contoh daerah resapan luas dengan hutan lebat akan menghasilkan air tanah dengan jumlah yang besar. Atau daerah resapan yang luas dengan bentuk cekungan seperti Kaldera Bromo dapat menyebabkan air yang meresap mencapai 100%.

Sebagian air tanah keluar sebagai mata air, sebagian mengalir di bawah tanah sebagai air tanah dangkal dan air tanah dalam (artesis) menuju ke laut. Padatan dan larutan yang terbawa aliran sungai sebagian akan mengandap di sepanjang sungai, sebagian mengendap di bantaran sungai, sebagian masuk ke tubuh air laut. Siklus air ini berlangsung jutaan tahun lalu sebelum manusia ada.

Setelah semua sistem berjalan baik dan comfortable maka manusia didatangkan atau dengan tugas utama mengelola dan menyayangi apa-apa yang sudah disediakan. Pada kenyataannya “tugas” itu menjadi menjadi berantakan setelah terjadi peningkatan jumlah penduduk yang diikuti peningkatan kebutuhan sandang, pangan, air dan papan.

Pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan intelektual manusia sehingga kemajuan teknologi dan informasi luar biasa berkembang. Secara alamiah terjadi pemanfatan sumber daya yang melebihi kapasitasnya, seperti kebutuhan sandang  dan  papan. Demikian pula terjadi peningkatan kebutuhan air bersih dan dikembalikan ke alam dalam keadaan tercemar.

Kebutuhan akan sumber daya alam semakin meningkat. Kebutuhan papan menjadi sangat krusial karena semakin merambah kawasan-kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni. Seperti kawasan rawan bencana, kawasan resapan air, kawasan mata air dan sebagainya. Kawasan resapan air kian terganggu, menyebabkan perubahan siklus air dan lambat laun akan terjadi seleksi alam yang bisa memusnahkan umat manusia tanpa kecuali.

Saat ini, sungguh memprihatinkan karena banyak gunung yang gundul tanpa hutan sama sekali dan dirubah menjadi persawahan, kebun, sayur-sayuran dan lain-lain.  Kita tahu penebangan hutan besar-besaran menyebabkan air hujan tidak akan meresap tapi lebih banyak mengalir sebagai air pemukaan dan tanah tidak terlindungi.

Tidak adanya air yang meresap akan menyebabkan tidak adanya air tanah dan air kapiler dalam tubuh tanah. Air tanah dan air kapiler inilah yang mengatur lengas tanah dan bila tidak ada akan terjadi kekeringan, kebakaran hutan dan akan mengundang angin puting beliung. Hilangnya air tanah akan diikuti pula pengurangan jumlah mata air yang keluar di sekeliling gunung, selanjutnya akan diikuti oleh kekurangan debit sungai.

Sedangkan aliran air permukaan meningkat, yang juga akan diikuti oleh peningkatan intensitas erosi tanah permukaan yang bisa mencapai ribuan kali lipat. Ibarat kepala manusia yang awalnya berambut kemudian dipotong gundul sehingga air semuanya mengalir tanpa ada yang tersimpan di sela-sela rambut.

Aliran air permukaan akan menyebabkan erosi tanah, membawanya masuk ke badan sungai sehingga terjadi sedimentasi yang akan mendangkalkan sungai. Saat turun hujan berikutnya, alur sungai tidak muat dan air akan meluap sebagai banjir. Bila erosi ini dibiarkan maka tanah di pegunungan akan habis dan tersisa batuan dasar yang akan tidak bisa ditanami lagi. Dampak lain penggundulan hutan yang paling mengerikan adalah longsor dan diikuti banjir bandang.

Sebetulnya kerusakan hutan juga akan berakibat pada ekosistem. Tanda-tanda itu sudah ada, di antaranya adalah serangan ulat bulu, serangan kelelawar, serangan gajah dan lain-lain di pemukiman penduduk. Mereka menyerang karena habitat mereka terganggu atau sudah tidak ada. Yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya serangan virus.

Penggundulan hutan sudah dimulai sejak lama, bermula dari kebijakan pengembangan kawasan wisata dan pemukiman di daerah pegunungan sehingga terjadi pengurangan kawasan hutan. Memasuki tahun 1997 kegiatan ini diikuti oleh pengambilalihan hutan oleh rakyat atas nama keadilan, atas nama kemiskinan dan atas nama kerakusan, sehingga hutan di gunung jadi gundul ndul.

Tahun 2002 saat terjadi hujan lebat di seluruh Indonesaia terjadi erosi dan longsor diikuti banjir di banyak tempat. Korban, kerusakan serta kerugian terjadi dimana-mana.  Tahun-tahun berikutnya Indonesia memanen bencana seperti berkurangnya lebih dari separuh jumlah sumber air (mata air), kekeringan, kebakaran hutan. Hal ini disertai oleh peningkatan intensitas bencana erosi, longsor, banjir, banjir bandang dan angin puting beliung.

Salah satunya pesan bijak para leluhur adalah bahwa sebaik-baik manusia diantara kita adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Untuk itu, Komunitas Peduli Kawasan Resapan Air digagas dengan tujuan merubah ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan dengan harapan dapat menyelamatkan kawasan resapan air. Selamatkan kawasan resapan air sekarang!

Ir Amien Widodo MS
Dosen jurusan Teknik Sipil ITS

*)Bagi semua yang tertarik dan ingin berkonstribusi ide/pemikiran/teknologi/inovasi/energi mengenai daerah resapan air silahkan mengirim email ke .

Peningkatan jumlah penduduk umumnya diikuti dengan perkembangan kota seperti perluasan daerah permukiman, areal bisnis seperti pertokoan, perkantoran, jalan, dan sarana prasarana pendukung lainnya. Namun, karena keterbatasan lahan di pusat kota menyebabkan perkembangan kota tersebut meluas ke arah daerah pinggiran sehingga luasan areal terbangun semakin bertambah. Areal perbukitan, bantaran sungai, daerah banjir, serta areal pertanian perkotaan yang seharusnya tetap hijau, mulai dirambah menjadi areal permukiman dan perdagangan. Kawasan – kawasan terbuka tersebut sebenarnya dapat digunakan sebagai kawasan resapan air yang memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan siklus hidrologi sebuah wilayah. Kondisi hidrologi yang seimbang harapannya agar tidak mengganggu dan menimbulkan dampak buruk (bencana) bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan permukiman yang saat ini terjadi dapat mengancam keberadaan dan luasan area kawasan yang seharusnya difungsikan untuk menjadi resapan air.

Perubahan fungsi lahan akan sangat berpengaruh pada siklus hidrologi terutama proses peresapan air ke dalam tanah. Pendirian suatu bangunan menyebabkan lahan tersebut menjadi lebih kedap air dibanding keadaan semula. Jumlah air yang meresap ke dalam tanah akan menurun dengan drastis atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga aliran air permukaan akan meningkat. Kepadatan bangunan yang makin meningkat mengakibatkan kualitas keseimbangan lingkungan semakin menurun. Berkurangnya kawasan resapan air dapat mengurangi kemampuan dalam fungsinya sebagai kawasan penyangga lingkungan. Berkurangnya kawasan resapan air akan berakibat run – off air yang semakin besar. Hal tersebut akan berdampak pada timbulnya bencana banjir di kawasan setempat atau bahkan di kawasan lain diluar kawasan penyangga.

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan solusi sekaligus memberikan batasan – batasan terhadap pemanfaatan tanah akibat perkembangan zaman adalah dengan membuat Peraturan Pemerintah (PP Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 serta Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini dilakukan agar penggunaan tanah yang dilakukan oleh masyarakat (khususnya untuk permukiman) dapat memperhatikan fungsi kawasan sesuai pada aturan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) masing-masing provinsi, daya dukung tanah, serta fungsi tanah sehingga tidak mengganggu keseimbangan lingkungan setempat maupun lingkungan sekitarnya

Webinar Perkim Seri 16 “ Permukiman Di Kawasan Resapan Air “ pada Kamis 22 Oktober 2020 menghadirkan dua orang pembicara yaitu Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc (Dosen Fakultas Geografi UGM dan Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup) serta M. Nurrochmawardi, ST., MM (Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPUPKP Kabupaten Sleman).

Berikut merupakan ulasan sesi diskusi webinar :

Bagi masyarakat umum, bagaimana mendeteksi kawasan – kawasan yang ternyata dijadikan sebagai resapan air tanah? Apakah bisa dideteksi berdasarkan ciri – cirinya atau harus ditanyakan ke dinas?

Jika kita membahas konteks jenis tanah, sebenarnya tidak hanya tentang lapisan tanah di bagian atas saja, tetapi juga sampai pada batuan yang ada di bawahnya. Terkadang masyarakat itu menilai karakteristik tanah hanya dengan melihat lapisan luarnya saja, tanpa mendeteksi jenis lapisan yang ada di bawahnya. Hal itu biasanya akan disadari saat mereka menggali tanah untuk membuat sumur, di awal pengerjaan mereka yakin bahwa tanah tersebut memiliki sumber air tanah yang banyak untuk bisa dimanfaatkan. Namun, setelah proses pengerjaan terjadi jenis lapisan di bawahnya adalah tanah padas (sifat tanah ini keras dan sulit untuk menyerap air) sehingga mereka tidak menemukan sumber air dalam sumur. Hal – hal semacam ini sebenarnya sulit untuk dijelaskan kepada masyarakat. Langkah yang paling baik sebenarnya adalah mendata lapisan – lapisan tanah yang ada di permukimaan saat ada salah seorang warganya sedang menggali tanah / sumur. Jika data ini dapat tersistem dan dipetakan dengan baik maka pemerintah dapat membuat kebijakan yang berhubungan dengan pemanfaatan tanah. (Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc Dosen Fakultas Geografi UGM, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup)

Bagaimana konsep pembangunan permukiman di wilayah darat pada pulau-pulau kecil (Provinsi Kepri) dengan jenis tanah padsolik merah kuning dan kondisinya rawan air (kekuragan air)?

Karakteristik tanah padsolik merah kuning : daya simpan airnya sangat rendah sehingga mudah mengalami kekeringan karena tidak dapat menyimpan air ke dalam tanah. Hal ini menyebabkan wilayah di sekitarnya memiliki kondisi rawan (kekurangan) air tanah.

Saya beri contoh  kasus di Gunung Kidul. Gunung Kidul itu daerah yang miskin air tetapi hujannya cukup deras. Sejak tahun 70-an, di sana sudah dilakukan upaya untuk pembuatan PAH (Penampungan Air Hujan), namun biaya kegiatan ini cukup mahal. Masyarakat juga masih mengira bahwa pembuatan PAH ini menyita space (ruang) karena harus diletakkan di dalam atau di luar rumah pribadi masyarakat (di atas permukaan tanah). Padahal sebenarnya, pembuatan PAH ini boleh diletakkan di bawah rumah agar tidak menyita ruang yang cukup banyak, namun hal ini harus memperhatikan struktur penampungan air hujannya. Kemudian untuk di daerah Riau atau di daerah kepulauan (pulau – pulau kecil) lainnya, di sana memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan wilayah di dataran lainnya. Untuk di wilayah pesisir atau pulau – pulau kecil sebenarnya juga bisa membuat konsep permukiman dengan menambahkan sistem tampungan air hujan seperti di Kabupaten Gunungkidul. Selain dapat melindungi fungsi tanah, konsep ini sebenarnya juga bisa bermanfaat untuk menyediakan sumber air bagi masyarakat. Jika langkah ini bisa dilakukan, maka pada saat terjadi hujan, airnya tidak langsung terbuang ke luat. Air tawar dari hujan ini masih sangat esensi atau bermanfaat untuk masyarakat di sekitarnya. Air dari tampungan hujan ini juga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik lainnya. (Dr. Mohammad Pramono Hadi, M.Sc (Dosen Fakultas Geografi UGM, Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup))

Alokasi ruang untuk KDB perumahan di kawasan sehingga dapat digunakan untuk ruang terbuka?

KDB adalah Koefisien Dasar Bangunan. KDB ini berfungsi untuk menciptakan keseimbangan ruang yang tertata dan terkendali. Keseimbangan ini untuk menjaga jumlah lahan terbangun dan jumlah ruang area terbuka hijau. Jika keseimbangan ruang ini dapat tercipta maka dapat meminimalisir bencana banjir yang disebabkan oleh kurangnya area resapan air.

Kita ambil contoh di daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah yang memiliki tanggungjawab terhadap fungsi konservasi air karena letaknya yang berada di Hulu DIY. Aturan di Kabupaten Sleman terkait dengan perumahan yang dibuat oleh pengembang, mereka harus menyediakan sekitar 50 – 60% dari total luas area untuk menjadi fasilitas umum dan ruang terbuka. Sedangkan untuk perumahan yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat aturannya hanya menyediakan ruang sekitar 4 meter saja (dapat digunakan untuk fasilitas jalan). Namun di lingkup yang lebih luas lagi, penentuan KDB ini sudah melibatkan area zona, seperti zona pertanian dan zona resapan air. Jika aturan untuk ruang terbuka ini dapat diterapkan (baik dalam bentuk KDB maupun zona) maka keseimbangan ruang akan tercipta untuk konservasi air tanah. (M. Nurrochmawardi, ST., MM (Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman Kabupaten Sleman))

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA