Beberapa kasus pelanggaran ham berat belum dapat diputuskan perkaranya karena

KOMPAS.com - Sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia dan masih menyisakan duka mendalam.

Bahkan, beberapa kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia belum terselesaikan hingga kini.

Menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM, sedikitnya ada 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum terselesaikan, yaitu:

  • Peristiwa 1965-1966
  • Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  • Peristiwa Talangsari 1989
  • Peristiwa Trisakti
  • Peristiwa Semanggi I dan II
  • Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  • Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998
  • Peristiwa Wasior Wamena
  • Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998
  • Peristiwa Simpang KAA 1999
  • Peristiwa Jambu Keupok 2003
  • Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998
  • Kasus Paniai 2014

Baca juga: Faktor Eksternal Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, sebagian besar terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.

Berikut ini ulasan dua kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum terselesaikan hingga kini.

Peristiwa 1965-1966

Peristiwa 1965-1966 adalah sebuah tragedi kelam dalam sejarah Indonesia.

Berawal dari pecahnya Gerakan 30 September 1965 (G30S), lebih dari 2 juta orang di Indonesia telah ditangkap sewenang-wenang, dipenjara tanpa proses hukum, diculik, disiksa, diperkosa, dan dibantai karena tuduhan terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

PKI, kala itu, dituduh sebagai dalang peristiwa G30S yang mengakibatkan terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira militer Indonesia pada 30 September 1965 hingga 1 Oktober 1965.

Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), menudu PKI sebagai dalang G30S.

Ia kemudian menyusun rencana untuk membasmi orang-orang yang terkait dengan PKI.

Serangkaian peristiwa mengerikan pun terjadi selama beberapa bulan berikutnya, pada periode 1965-1966.

Orang-orang yang dianggap turut dalam PKI atau sekadar simpatisannya, ditangkap, disiksa, dan dibantai.

Pembantaian terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, jumlah orang hilang pada peristiwa 1965-1966, mencapai 32.774 orang.

Sementara itu, berbagai penelitian menyebutkan bahwa ada lebih dari 2 juta korban dalam tragedi 1965-1966.

Penderitaan karena peristiwa 1965-1966 tidak hanya menimpa para korban, tetapi juga keluarga mereka yang mengalami diskriminasi selama puluhan tahun karena tudingan sebagai keluarga PKI.

Pasca-runtuhnya Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto pada 1998, penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di peristiwa 1965-1966 mulai dibuka.

Pada 2008, Komnas HAM membentuk Tim Penyelidikan Pro Justisia untuk Peristiwa 1965-1966.

Setelah 4 tahun penyelidikan, Komnas HAM merekomendasikan dua hal untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965-1966.

Mereka meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan dan melalui mekanisme non yudisial (KKR).

Pada 2015, para korban dan keluarga peristiwa 1965-1966, membawa kasus pelanggaran HAM berat tersebut ke mekanisme internasional melalui International People Tribunal di Den Haag.

Putusan dalam International People Tribunal adalah meminta pemerintah Indonesia segera meminta maaf dan melakukan proses penyidikan dan mengadili semua kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia.

Baca juga: Kronologi Pembunuhan Munir: Diracun di Udara Saat Menuju Belanda

Namun, langkah yang ditunjukan pemerintah Indonesia justru sebaliknya.

Kala itu, pemerintah menggelar simposium nasional 65 di Hotel Arya Duta yang diinisiasi Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan.

Melalui simposium itu, Luhut menegaskan bahwa bahwa negara tidak perlu meminta maaf atas pelanggaran HAM yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966 karena menurutnya, banyak juga korban dari pihak tentara.

Hingga kini, proses hukum terkait peristiwa 1965-1966 pun mandek dan negara belum mampu memenuhi tanggung jawab memberi keadilan terhadap para korban dan keluarganya.

Peristiwa Semanggi I dan II

Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 dan menewaskan 17 warga sipil.

Tragedi ini bermula dari pergolakan mahasiswa yang tidak mau mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie karena masih diisi oleh orang-orang Orde Baru.

Mahasiswa berusaha menyingkirkan militer dari politik dan menuntut pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Puluhan ribu mahasiswa pun berkumpul dan menggelar unjuk rasa di kawasan Semanggi.

Aparat keamanan kemudian berdatangan dengan menggunakan kendaraan lapis baja untuk membubarkan aksi mahasiswa.

Namun, mahasiswa tetap bertahan dan akhirnya aparat melepaskan tembakan secara membabi buta hingga mengakibatkan mahasiswa dan masyarakat mengalami luka-luka dan meninggal dunia.

Penembakan terus berlangsung dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 02.00 dini hari keesokan harinya.

Aparat juga masuk ke kampus Atma Jaya sehingga membuat bertambahnya korban yang berjatuhan.

Hingga tragedi ini berakhir, sedikitnya ada 17 korban meninggal dunia, yang terdiri dari mahasiswa, masyarakat umum, dan ada juga anak berusia 6 tahun.

Sementara itu, Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999, ketika mahasiswa menggelar aksi untuk menolak Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang dinilai banyak memberikan kekuasaan militer untuk memuluskan kepentingan mereka.

Massa yang menggelar aksi penolakan UU PKB pun menerima kekerasan dari tentara hingga berakibat terbunuhnya satu orang mahasiswa bernama Universitas Indonesia bernama Yun Hap.

Sementara itu, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, terdapat 11 korban meninggal dunia dan 217 korban luka-luka karena Tragedi Semanggi II.

Meski telah puluhan tahun berlalu, pemerintah Indonesia juga belum memberikan pertanggungjawaban atau menghukum pelaku atas pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam Tragedi Semanggi I dan II.

Akibatnya, menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tragedi serupa Semanggi I dan II terus berulang di Indonesia, yakni aparat bertindak represif dan tidak memperhatikan HAM ketika menghadapi aksi-aksi massa di Indonesia.

Sumber:

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Asked by wiki @ 03/08/2021 in PPKn viewed by 40930 persons

Asked by wiki @ 30/07/2021 in PPKn viewed by 39672 persons

Asked by wiki @ 03/08/2021 in PPKn viewed by 36513 persons

Asked by wiki @ 30/07/2021 in PPKn viewed by 35187 persons

Asked by wiki @ 31/08/2021 in PPKn viewed by 34904 persons

Asked by wiki @ 31/08/2021 in PPKn viewed by 34900 persons

Asked by wiki @ 03/08/2021 in PPKn viewed by 34731 persons

Asked by wiki @ 12/08/2021 in PPKn viewed by 20855 persons

Asked by wiki @ 14/08/2021 in PPKn viewed by 17901 persons

Asked by wiki @ 12/08/2021 in PPKn viewed by 9426 persons

Asked by wiki @ 10/08/2021 in PPKn viewed by 7722 persons

Asked by wiki @ 02/08/2021 in PPKn viewed by 7634 persons

Asked by wiki @ 08/08/2021 in PPKn viewed by 6207 persons

Asked by wiki @ 23/08/2021 in PPKn viewed by 4955 persons

Asked by wiki @ 16/08/2021 in PPKn viewed by 4900 persons