Bagaimana pdb dapat digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui kesejahteraan suatu negara?

Senin , 25 Apr 2016, 19:59 WIB

Red: operator

PDB sulit digunakan untuk menggambarkan kemajuan ekonomi.

Selama puluhan tahun, produk domestik bruto (PDB) menjadi indikator utama bagi segala sesuatu yang terkait dengan ekonomi. Bebe rapa negara, seperti Cina, masih ter obsesi mengejar PDB dan menggunakannya sebagai target pertumbuhan ekonomi.

Meski sudah banyak ekonom yang mera gukan kevalidan PDB sebagai ukuran kuantitas dan kualitas ekonomi, tetap saja hingga kini PDB masih digunakan untuk mendeteksi kekuatan ekonomi negara. Dua lembaga internasional yang masih dipercaya hingga kini, yaitu Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), juga masih memanfaatkan PDB sebagai alat prediksi dan ukuran pertumbuhan ekonomi.

Mengapa demikian? Jawabnya juga se der hana. Karena hingga kini belum ada stan dar atau metode baru yang bisa menggantikan PDB untuk melihat potensi dan hasil pro ses produksi barang dan jasa dari sebuah negara.

Belum ada pembicaraan serius mengenai alternatif metode baru untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi domestik dan dunia. Dalam pertemuan dua lembaga keuangan internasional IMF dan Bank Dunia di Washington DC, Amerika Serikat, pada 15-17 April lalu, para pengambil kebijakan dari kedua lembaga dan perwakilan dari seluruh negara anggota juga tak membahasnya. Bahkan, bisa dibilang tak ada hasil yang signifikan dari pertemuan tahunan tersebut. Tidak ada solusi jitu untuk mengurai kekusutan ekonomi global.

Gelombang krisis ekonomi memang sudah menjalar hampir ke seluruh jagat. Meski demikian, ada yang bisa cepat menghadapi dan menuntaskannya. Akan tetapi, tak sedikit yang masih kelabakan karena tak menemukan resep yang sesuai dengan masalah yang mereka hadapi sekarang.

Bila ukurannya masih pada PDB, Myan mar menjadi negara yang paling pintar terlepas dari jeratan krisis ekonomi. Myan mar ternyata menjadi negara yang mampu mencatat pertumbuhan ekonomi tercepat di du nia. Berdasarkan analisis World Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi negara yang terkenal tertutup terhadap dunia luar ini diperkirakan akan menembus 8,6 persen pada 2016.

Bank Dunia menilai, reformasi politik dan ekonomi yang dilakukan Myanmar menjadi kunci utama negara ini mampu meraih pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata negara berkembang lainnya. Perubahan tersebut mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dan investor. Artinya, daya beli masyarakat meningkat, sementara investor asing makin melirik negara ini sebagai tempat untuk menanamkan modal meski masih banyak hambatan dan rintangan yang mereka hadapi.

Selain itu, nilai ekspor Myanmar juga terus membaik. Kenaikan nilai ekspor tentu berkorelasi positif dengan laju pertumbuhan produk domestik bruto. Kinerja investasi dan ekspor yang cemerlang jelas menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Meski demikian, Bank Dunia memberi kan beberapa catatan negatif bagi Myanmar. Di antaranya, negara ini masih menghadapi kesenjangan sosial yang tinggi serta masalah kemiskinan yang tersebar di seluruh kawasan negara itu.

Fakta tersebut tentu tak mengejutkan. Laju pertumbuhan ekonomi yang cepat memang menjadi ciri bagi kebanyakan negara berkembang. Sulit sekali menemukan negara maju bisa meraih angka pertumbuhan yang signifikan, seperti yang diraih oleh Myanmar. Karena itu, negara-negara berkembang bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi global yang sedang lesu hingga saat ini. IMF dan Bank Dunia mencatat, kawasan Asia dan Afrika yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi terbesar dibandingkan kawasan lainnya.

Pantai Gading menjadi negara kedua yang mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah Myanmar, diperkirakan akan menem bus angka 8,5 persen. Bhutan menyusul pada posisi ketiga dengan angka perkiraan sebesar 8,4 persen. Negara lain yang juga diprediksi bisa meraih pertumbuhan ekonomi tinggi, di antaranya India, Laos, serta Tanzania.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju kemungkinan besar hanya akan mencapai 2,0 persen tahun ini. Angka pertumbuhan tahun depan diperkirakan akan sama dengan tahun ini. Jadi, terjadi stagnasi laju ekonomi di negara-negara maju.

Jepang tak termasuk dalam perkiraan negara maju yang bisa meraih pertumbuhan ekonomi signifikan. Hingga April ini, IMF dan Bank Dunia hanya berani memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Jepang maksimal akan menyentuh angka 1,0 persen. Bahkan, pada 2017 mendatang ekonomi "Negara Matahari Terbit" ini diperkirakan akan tumbuh negatif. IMF dan Bank Dunia sejak Januari lalu melihat tanda-tanda ekonomi Jepang makin lesu.

Negara-negara emerging economies tetap menjadi pendorong kekuatan ekonomi internasional. India menjadi pendorong utama laju pertumbuhannya, dengan perkiraan angka sebesar 7,0 persen pada 2016. Cina yang selama ini menjadi pemimpin global dalam daftar negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kemungkin an besar hanya akan menyumbang pertumbuhan sebesar 6,0 persen. Ini tentu jauh dari target pemerintah yang mematok angka pertumbuhan sebesar 6,5 persen hingga 7,0 persen pada 2016.

Brasil dan Rusia tak seberuntung India dan Cina. IMF dan Bank Dunia memperkirakan Brasil dan Rusia akan mengalami tekanan ekonomi yang sangat berat, mencatat pertumbuhan ekonomi negatif.

Perkembangan ekonomi dunia pada beberapa tahun ini sering meleset dari perkiraan para ekonom. Beberapa tahun lalu Brasil, Rusia, India, dan Cina atau sering disebut dengan kelompok BRIC dianggap bakal meleset sebagai kekuatan ekonomi baru dunia. Bahkan, Afrika Selatan pun dimasukkan dalam kelompok tersebut karena menunjukkan karakteristik yang nyaris sama dengan keempat negara tersebut. Jadilah BRICS, bukan lagi BRIC.

Akan tetapi, faktanya tak semua anggota BRICS mampu menunjukkan kinerja ekono mi yang signifikan. Rusia sekian lama menghadapi masalah. Cina pun tak lagi mampu menggenjot roda ekonominya sekencang beberapa dekade lalu.

Bila ukurannya masih pada PBD, bebe rapa anggota BRICS memang sedang lunglai. Tapi, sejatinya kondisi mereka tak separah yang diperkirakan bila mengacu pada ukuran lainnya. Masih banyak indikator yang bisa menempatkan mereka tak pada posisi krisis parah.

Karena itulah, tiga ekonom kelas dunia, yaitu Christine Lagarde, Joseph Stiglitz, dan Profesor Erik Brynjolfsson, berpendapat perlu ada alat ukur alternatif selain produk domestik bruto untuk melihat pertumbuhan serta kemajuan ekonomi suatu negara. Ketiga ekonom tersebut mengakui perkiraan ber dasark an PDB mampu memberikan informasi yang sangat bermanfaat untuk melihat kinerja ekonomi di seluruh dunia. Akan tetapi, mereka menilai perlu memasukkan faktor-faktor lainnya dalam melihat perubahan ekonomi dalam situasi perubahan dunia yang berbeda saat ini. Faktor yang bisa dimasukkan, di antaranya tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup.

Lagarde, Stiglitz, dan Brynjolfsson me nilai, PDB tak selalu bisa menjadi alat ukur yang baik untuk melihat tingkat kinerja ekonomi. Selama ini, PDB mampu mengukur nilai produksi akhir dari barang dan jasa suatu negara. Simon Kuznets, ekonom Ame rika Serikat yang pertama kali memperkenalkan konsep PDB modern pada 1934, juga pernah mengingatkan PDB tak bisa secara sempurna mengukur kualitas pertumbuhan ekonomi negara.

"Dia mengerti PDB bukan alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan, bukan alat untuk mendeteksi seberapa baik kinerja yang sudah kita lakukan," ungkap Brynjolfsson, seperti dilaporkan laman World Economic Forum, beberapa waktu lalu. "PDB hanya menghitung semua yang kita beli dan kita jual. Bahkan, sangat mungkin PDB ini justru berseberangan dengan kesejahteraan yang sudah kita capai."

Dengan perubahan yang terjadi saat ini akibat munculnya "Revolusi Industri Ke empat", PDB sedikit saja merefleksikan hasil yang sudah dicapai sebuah negara. "Kita perlu model baru untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Sama seperti kita menciptakan kem bali bisnis, kita perlu menemukan kem bali cara untuk mengukur ekonomi." Lagarde juga mempunyai argumen yang nyaris sama dengan Brynjolfsson. Menurut dia, penggunaan PDB sebagai satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi perlu ditinjau kembali.

Menurut Stiglitz, PDB di Amerika Serikat naik setiap tahun, kecuali pada 2009. Namun, tingkat kesejahteraan kebanyakan orang Amerika lebih buruk dibandingkan sepertiga abad yang lalu. Manfaat ekonomi lebih banyak dinikmati oleh kelompok paling atas. Pada tingkat bawah, upah riil pada saat ini jelas lebih rendah daripada yang mereka terima pada 60 tahun lalu. "Jadi, ini adalah sistem ekonomi yang tidak bisa bekerja bagi kebanyakan orang," katanya.

Meski demikian, menurut Stiglitz, orang tak perlu bingung dan mempertanyakan gagasan ini. Ekonom lain dan terutama pada pengambil keputusan juga tak perlu khawatir. Intinya, selama tak ada alat ukur baru yang bisa disepakati, cara lama bisa dipakai sebagai standar bersama. Tapi, dia kembali meng ingatkan, "Apa yang kita ukur memberikan informasi apa yang kita lakukan. Dan bila kita mengukur sesuatu yang salah, kita akan melakukan sesuatu yang salah."

"Jika kita ingin ekonomi 1,0 persen, PDB akan sangat berguna. PDB memberitahu kita semua yang perlu kita ketahui. Akan tetapi, bila kita ingin ekonomi yang bisa bekerja bagi kita semua, kita harus memperhatikan sesuatu yang tak memberitahukan kepada kita," ungkap Winnie Byanyima, direktur eksekutif Oxfam International, seperti dilansir laman Bank Dunia, beberapa waktu lalu.

Byanyima menyadari, PDB bukan segalan ya saat ini karena tak mampu secara sempurna memberikan gambaran menyeluruh terhadap perkembangan pembangunan suatu negara. Saat terjadi krisis ketimpangan kesejahteraan, PDB tak mampu memberikan gambaran distribusi pertumbuhan ekonomi. Ketika ada fakta 62 orang ternyata mampu meraih kekayaan dan kesejahteraan sama dengan setengah penduduk dunia, PDB menjadi tak berarti apa-apa.

Ketika ekonomi sebuah negara, seperti Zambia, bisa tumbuh cepat dilihat dari kacamata PDB, hakikatnya pertumbuhan PDB menyembunyikan kemiskinan. Menurut Byanyima, PDB tak mampu menjelaskan harga riil yang harus dibayar untuk mencapai pertumbuhan tersebut. Sebagai contoh, menebang pohon di hutan lalu dijual, tentu bisa menambah PDB. "Akan tetapi, kita tak mencatat kerugian akibat sumber daya alam yang punah," jelasnya.

Wajar PDB tak bisa menjadi satu-satunya indikator kemajuan ekonomi. Tapi, masingmasing negara perlu juga mencari solusi agar PDB bisa menjadi alat bantu untuk mening kat kan kesejahteraan rakyatnya.    Oleh Rakhmat Hadi Sucipto

  • republika
  • koran
  • ketika indikator pdb diragukan

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA