Apa alasan pihak yang pro terhadap gagasan Full day school

Oleh: Dhilla Nuraeni Az-zuhri
Potret dunia pendidikan kita dari tahun ketahun selalu saja diwarnai dengan perubahan kebijakan. Ada saja kebijakan baru pemerintah yang menyangkut dunia pendidikan. Mulai dari perubahan kurikulum hingga perubahan sistem pembelajaran, sering dilakukan pemerintah khususnya oleh kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.Untuk perubahan kurikulum, sejak Indonesia merdeka tercatat sudah  11 kali terjadi pergantian kurikulum. Seringnya terjadi pergantian sistim pendidikan di negeri ini, sering membuat masyarakat bingung, bahkan terkadang memunculkan pernyataan yang bernada sinis, seperti, setiap ganti menteri pasti berganti pula  sistem belajar atau kurikulumnya.   Di awal tahun pelajaran 2017/2018 ini polemik dunia pendidikan kita kembali mencuat  kepermukaan, menyusul adanya rencana penerapan full day school atau lima hari sekolah oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.Rencana penerapan FDS tersebut mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang pro mengatakan, dengan FDS dapat membantu orang tua yang bekerja. Artinya, orang tua dapat fokus bekerja, sementara kegiatan anak dapat terkontrol oleh sekolah. Saat ini memang banyak sekolah menawarkan kurikulum FDS bahkan dalam bentuk sekolah berasrama (boarding school). Kegiatan siswa selama 24 jam dipantau pihak sekolah. Dan faktanya, banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anak ke boarding school walau harus membayar mahal. Sejalan dengan pihak yang pro, Kemendikbud menjawab kritikan terhadap rencana penerapan FDS dengan memberikan alasan dan pertimbangan. Pertama, kebijakan lima hari sekolah merupakan implementasi dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Kedua, akan mengintegrasikan nilai utama yaitu religius, nasionalis, gotong-royong, mandiri, dan integritas. Ketiga, siswa tidak harus belajar selama 8 jam penuh di kelas, tetapi diisi kegiatan variatif dengan proporsi pengetahuan 30% dan pembentukan karakter 70% Keempat, guru diminta mengurangi ceramah di kelas, diganti aktivitas-aktivitas yang terkait pembentukan karakter.Pihak yang kontra berpandangan, kegiatan FDS akan menambah beban guru dan siswa. Guru bukan hanya mengurus murid-muridnya di sekolah, tapi juga memiliki suami, istri, atau anak yang harus diurus alias perlu diperhatikan. Kalau guru harus stand by di sekolah sampai sore, tentunya suami, istri, anak mereka akan protes. Selain guru, siswa juga berpotensi mengalami kebosanan atau stres karena dikurung sepanjang hari di sekolah. Apalagi jika program yang dilaksanakan sekolah kurang menarik atau kurang variatif. Waktu bermain anak juga menjadi berkurang, termasuk untuk mengisi kegiatan belajar pasca belajar sekolah, anak juga belajar atau mengaji pada sore hari di TKA/TPA/ Madrasah Diniyah Takmiliyah.Dalam konteks kemasyarakatan, FDS dinilai menjauhkan siswa dari lingkungan bermainnya atau bersosialisasi dengan tetangganya. Hal ini dapat menimbulkan siswa merasa asing dengan lingkungan tempat tinggalnya, merasa minder, tidak mau bergaul, dan tertutup terhadap tetangganya walau di sekolah anak tersebut mungkin memiliki banyak teman. Bagi sekolah yang memberlakukan sistem dua shift (belajar pagi dan siang), penerapan FDS tentunya akan menjadi kendala karena mereka mengalami keterbatasan tempat dan guru. Siswa yang jarak dari rumah ke sekolahnya jauh tentunya juga akan mengalami kendala karena dia sampai rumah pada saat magrib.

Para pakar pendidikan yang kontra dengan kebijakan ini menilai, penerapan FDS ini bentuk kekeliruan menyikapi pendidikan dan persekolahan. Seolah-olah pendidikan identik persekolahan, padahal pendidikan maknanya jauh lebih luas. Pendidikan dapat dilakukan di rumah, sekolah, dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, sekolah hanya salah satu unsur dalam pendidikan. Banyak bukti empirik menunjukkan, orang-orang sukses bukan hanya orang yang berprestasi seacara akademik yang baik di sekolah, tetapi yang memiliki life skill yang bagus.

Penulis adalah mahasiswi Sekolah Pascasarjana UNINUS Bandung

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

37 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Hal ini dirasa Kemendikbud akan menguntungkan bagi peserta didik karena mereka bisa mendapatkan waktu yang lebih banyak untuk memahami materi tersebut. Terutama pada mata pelajaran eksak seperti matematika, fisika, kimia, atau pun bahasa asing.

Para guru juga bisa punya waktu lebih untuk membuka sesi tanya jawab dengan siswanya demi memastikan semua betul-betul memahami materi pelajaran.

2. Orangtua tidak perlu cemas

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, salah satu tujuan sekolah satu hari penuh adalah untuk menjamin anak-anak terhindar dari kegiatan-kegiatan di luar sekolah yang berbau negatif. Terlebih tidak semua orangtua punya waktu untuk mengawasi anaknya sehabis pulang sekolah.

Setelah jam sekolah usai, kemungkinan anak akan tetap menghabiskan waktunya untuk ikut ekskul di lingkungan sekolah dan juga tetap di bawah pengawasan guru sehingga ortu tak perlu cemas lagi anaknya keluyuran sampai malam.

3. Anak bisa berakhir pekan dengan orangtua

Saat anak dan orangtua sama-sama sibuk belajar dan bekerja, di akhir pekan bakal menjadi hari yang ditunggu-tunggu.

Dengan full day school, jadwal KBM dipadatkan untuk 5 hari saja (Senin-Jumat) sehingga sekolah tidak perlu lagi mewajibkan siswa masuk sekolah pada hari Sabtu.

Menurut Ari Santoso, anak bisa bisa menjadikan hari Sabtu dan Minggu sebagai hari khusus bersama keluarga.

Tapi, ini konsekuensinya sistem full day school

1. Anak tidak makan dan tidur teratur

Di luar belajar, makan dan tidur adalah kebutuhan utama anak yang tidak bisa diganggu gugat.

Tidur memperkuat proses otak menyimpan informasi baru sebagai memori jangka panjang sehingga semua materi yang mereka pelajari di sekolah tadi dapat mudah mereka ingat kembali di waktu akan datang. Sementara itu, makan menyediakan energi bagi otak untuk bekerja menyerap, mengolah, dan menyimpan informasi.

Ironisnya, sistem sekolah seharian penuh dirasa menomorsekiankan dua kebutuhan utama anak ini. Waktu masuk sekolah yang kepagian (umumnya mulai 06.30 pagi) riskan membuat anak mau tidak mau jadi melewatkan sarapan, atau hanya makan seadanya. Akhirnya mereka jadi tidak memiliki cadangan energi yang cukup untuk memproses materi pelajaran di sekolah. Terlebih, tidak semua sekolah memiliki fasilitas katering makan siang atau kantin dengan pilihan makanan padat gizi dan bervariasi sehingga anak cenderung tetap jajan sembarangan.

Di sisi lain, sekolah sampai sore artinya siswa jadi kehilangan waktu berharga untuk istirahat dan tidur. Tidak sedikit pula siswa sekolah yang lanjut mengikuti les atau bimbel di tempat lain setelah pulang sekolah sampai malam hari. Anak pun jadi tidak punya waktu untuk tidur malam yang cukup, padahal esok harinya harus kembali bangun pagi-pagi buta untuk berangkat sekolah.

2. Anak lebih gampang sakit

Jadwal tidur dan makan yang berantakan berbahaya untuk mental dan fisik anak ke depannya. Anak sekolah yang kurang tidur terbukti cenderung tidak menonjol dalam bidang akademis. Mereka juga lebih mungkin untuk tertidur di kelas selama pelajaran berlangsung.

Kurang makan dan tidur juga meningkatkan risiko anak lebih gampang sakit maag atau flu sehingga tidak bisa masuk sekolah, sampai risiko masalah kesehatan serius seperti kolesterol tinggi dan obesitas.

3. Anak rentan stress

Capek belajar sama halnya dengan capek bekerja bagi orang dewasa. Seluruh tenaga habis dikerahkan untuk bisa memahami “serbuan” informasi baru tanpa henti. Anak juga dipaksa untuk menjalani rutinitas panjang ditambah beban PR dan ulangan tiap beberapa bulan, sampai adanya ancaman tidak bisa naik kelas apabila mereka tidak mendapatkan nilai bagus.

Terlebih anak juga jadi mendapatkan waktu istirahat dan bermain yang minim karena diharuskan mengikuti berbagai kegiatan tambahan di luar sekolah, termasuk ekskul dan les bimbel.

Hal ini lambat laun akan membuat otak kewalahan dan sangat kelelahan sehingga membuat anak rentan stres. Stres buruk dampaknya untuk anak. Sudah banyak studi ilmiah yang melaporkan bahwa anak sekolah yang tidur kurang dari enam jam per malam dilaporkan tiga kali lebih mungkin untuk menderita depresi.

Gangguan psikologis seperti ini dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko masalah perilaku anak di sekolah, seperti membolos dan coba-coba narkoba atau miras, sampai pemikiran atau upaya bunuh diri.

4. Belum jaminan prestasi akademis pasti meningkat

Gagasan full day school berpatokan dari teori yang menyatakan bahwa waktu belajar yang paling optimal buat anak adalah 3-4 jam sehari dalam suasana formal dan 7-8 jam sehari dalam suasana informal.

Meski begitu, data lapangan yang ada justru menyatakan sebaliknya. Durasi KBM di sekolah-sekolah Indonesia termasuk yang paling panjang di dunia, bahkan setelah dibandingkan dengan negara lain yang terobsesi dengan pendidikan seperti Singapura atau Jepang. Di Singapura misalnya, lama durasi 1 mata pelajaran rata-rata hanya 45 menit per sesi sementara di Indonesia bisa sampai 90-120 menit.

Kenyataannya, durasi sekolah yang lama belum tentu mencerminkan hasil akademis yang sejalan lurus sama baiknya. Nilai rata-rata yang ditunjukkan pelajar Indonesia setelah belajar nonstop 8 jam lebih tetap lebih rendah daripada pelajar Singapura yang notabene hanya belajar 5 jam.

Jadi harus bagaimana?

Kelebihan dan kekurangan di atas bisa menjadi pertimbangan Anda dalam memilih sekolah untuk anak Anda. Mungkin Anda bisa membantu mencarikan sekolah full day yang sekaligus mencakup kegiatan ekstrakurikuler seru sehingga anak masih dapat berkembang dengan bermain dan melakukan hobinya sekaligus mengurangi stres saat belajar.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA